Minggu, Desember 8, 2024

Kenaikan Suku Bunga Tak Normal

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
- Advertisement -

Dampak inflasi dari luar negeri (imported inflation) benar-benar mempengaruhi bangsa Indonesia. Kuartal pertama, Bank Indonesia (BI) menentukan kebijakan agar menaikan angka suku bunga sebesar 5,75 persen akhir pertengahan januari lalu. Kebijakan itu untuk meredam efek lanjut inflasi agar tak semakin melambung.

Inflasi ditandai dengan kenaikan harga barang di beberapa instrumen memberikan alarm bagi pemegang kebijakan untuk sigap mengatasi kemungkinan terburuk dalam perekonomian. Kenaikan harga ini pasalnya bebarengan dengan melemahnya kurs Rupiah. Bila tak segera menentukan aras langkah, bisa berimbas investor dan sejenisnya angkat kaki dari Indonesia, yang malah memperburuk situasi.

Keberadaan kebijakan ekonomi tidak bisa luput dari kondisi global yang melingkupinya. Beberapa bank dunia, salah satunya ialah The Fed (USA) menaikan suku bunga bank agar dapat mengamankan diri dari terpaan Inflasi dan krisis resesi yang tengah menghantui mereka. Kondisi itu menimbulkan efek domino, karena kurs dolar menjadi patokan nilai tukar dunia.

Tak hanya itu, benturan tak kunjung usai di Ukraina menambah pelik situasi, membuat kepercayaan global melemah, sehingga rantai pasok perekonomian juga kena imbasnya. Bangsa ini harus berjuang menghadapi gempuran ketidakpastian global, melalui kebijakan tepat guna menanggapi kondisi global kiwari.

Kenaikan suku bunga sering jadi langkah moneter untuk mengatasi letupan inflasi dan melemahnya kurs rupiah. April medio 1998, Indonesia pernah menaikan angka suku bunga begitu fantastis agar rupiah tak kesodot oleh dolar. Kurs rupiah yang melemah pada waktu itu, diatasi dengan iming-iming bunga begitu menggiurkan.

Majalah Gatra (04/04/1998) dengan kaver muka majalah berjudul Bunga Mencekik Bank, mewartakan Bank Indonesia sempat menaikan suku bunga hingga 45 persen. Masyarakat berbondong-bondong deposit uang mereka karena dapat meraih untung fantastis. Bank Dagang Negara (BDN) memulai perhelatan kenaikan suku bunga diatas rate batas BI dengan angka sebesar 67,5 persen.

Bagi nasabah kenaikan suku bunga membuat mereka sumringah, namun untuk para pengusaha yang rata-rata memanfaatkan pinjaman bank membuat mereka gigit jari, karena untuk mengembalikan angsuran terhitung tinggi untuk mengembalikan kredit bank.

Syahdan, kondisi di pada medio 1998 dengan hari ini memang berbeda. Namun, persitiwa kenaikan suku bunga menjadi pengingat kita, agar tak keblinger menentukan kebijakan. Jangan sampai terulang kembali, bagaimana inflasi yang berujung resesi membuat berguguran atau terlikuadasinya perbankan di Indonesia ditandai oleh semakian melambungnya kenaikan suku bunga.

Perbankan sebagai pelumas ekonomi

Buku tebal gubahan M.L Jhingan (Rajawali Press;1990) menyoal Ekonomi Pembanguan dan Perncanaan, meletakan perbankan sebagai aspek vital dalam kebijakan moneter. Keberadaan perbankan mampu memberikan wadah pendanaan untuk terjalinnya  gerak perekonomian suatu negara. Bank sentral sebagai aspek fiskal bagi pemerintah yang berurusan dengan obligasi dan mengorganisasikan saham efek. Sedangkan lembaga keuangan swasta berperan sebagai penyedia perkreditan untuk pemacu sirkulasi perekonomian.

Namun, Jhingan tak mendewakan perkreditan dalam perbankan sebagai dewa dalam ekonomi. Baginya ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu melibatkan analisa ekstrenal diluar perekonomian seperti kondisi sosial, politik hingga stabilitas sosial untuk juga dibaca kemungkinan terbaik hingga terburuk yang berakibat kepada perekonomian.

- Advertisement -

Menyadur Ekonom Guilermo Calvo dalam bukunya berjudul Emerging Capital Markets in Turmoil: Bad Luck or Bad Policy? Membeberkan bila bank mengalami sudden stop biasanya diikuti oleh anjloknya nilai tukar (contractionary devaluation). Peristiwa Tequilla Fever misalnya, yang menjangkit daratan Amerika Latin berimbas kepada anjloknya nilai tukar peso terhadap dolar, salah satu contoh devaluasi.

Tequilla Fever ditandai pada medio 1995 di Negara Meksiko. Tequilla fever merupakan titik kunci nilai tukar peso terdevaluasi oleh nilai tukar dolar. Penyebabnya ialah inflasi menukik tak bisa diatasi begitu baik oleh pemerintah Meksiko. Pada Majalah Gatra (28/01/ 1995) dengan judul Tequilla Fever mengingatkan kita, sudden stop terjadi di negeri meksiko karena nilai peso banyak dialihkan ke dolar oleh spekulan yang bermain atas nama nilai lebih ekonomi.

Belajar dari meksiko, kita perlu mempertegas kembali perbankan merupakan aspek penting dalam sirkulasi perekonomian di Indonesia. Inflasi ataupun hantaman krisis lainnya, perbankan dan kesadaran geopolitik menjadi kunci penting agar tak masuk dalam lubang kebangkrutan. Krisis yang diakibatkan oleh menejemen resiko yang buruk ditambah corporate governance yang tak stabil membuat muram kondisi ekonomi.

Opini Goei Siaw Hong (pengamat pasar modal dan konsultan pembiayaan perusahaan dan menejemen resiko) pada Tempo (29/07/2007) berjudul Guncangan Ekonomi Akankah Terulang Kembali menyinggungung pentingnya corporate governance yang baik ditambah menejemen resiko yang tepat sasaran perlu diimplementasikan.

Siaw membeberkan sebuah pelajaran krisis dua puluh tahun silam. Nasabah banyak menarik uangnya yang berada di perbankan karena faktor eksternal yang diluar kendali pemerintah. Fungsi pengawasan Bank Indonesia perlu ditekankan disini untuk mengatasi kemungkinan terburuk sudden stop yang beresiko bagi sektor perbankan.

Membaca kembali masa lalu sebagai media pembelajaran penting untuk dilakukan. Krisis demi krisis sudah dihadapi Indonesia dengan berani. Kumpulan esai dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia (YOI) berjudul Fundamen Konsep Pembangunan Inklsuif Berdaya Saing oleh Syarif Hidayat (2020) menawarkan ide segar bagaimana proper governance harus dicanangkan agar keberjalanan perekonomian itu dapat berlangsung dengan stabil dan terukur.

Kendati kondisi ekonomi medio 1990 lebih modern dibandingkan hari ini, selaiknya kita lebih melek dan bijak mengatas pelbagai kemungkinan terbaik dan terburuk dalam perekonomian.

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.