Beberapa bulan lalu, saya membeli buku “Karya Lengkap Bung Hatta”. Buku yang berisi tulisan Hatta sejak ia mulai menulis hingga akhir hayatnya. Buku “Karya Lengkap Bung Hata” ini terdiri dari sembilan jilid, tetapi saya hanya dapat membeli dua jilid pertama. Setelah mencium aroma kertas buku, saya membuka halaman sambul dan menemukan sebuah pesan Hatta yang disematkan tim penyusun di halaman awal.
Pesan itu saya baca dengan tempo pelan dan saya ulang beberapa kali. Pada pembacaan saya yang entah keberapa, saya membayangkan diri saya di dalam ruangan. Ruangan yang penuh sesak karena diisi anak muda yang seusia saya. Dari antara banyaknya anak muda yang memenuhi ruangan, saya melihat seorang tua yang berdiri di hadapan kami.
Orang tua itu berdiri di atas mimbar yang telah disiapkan di panggung utama. Saya terperanjak ketika melihat wajah orang tua itu. Orang tua yang ada di hadapan kami adalah Mohammad Hatta, persis seperti foto masa tuanya yang saya lihat beberapa kali di internet.
Hatta berdiri tegak dan menyampaikan sebuah pidato berisi pesan singkat. Begini isi pesan tersebut: “Kepada pemuda Indonesia, yang ingat akan sumpah dan janjinya: Indonesia tanah pusaka. Pusaka kita semuanya. Marilah kita mendoa: Indonesia bahagia! Marilah kita berjanji: Indonesia abadi!” Pesan Hatta tersebut, ditutup dengan sebuah kalimat, “Kusampaikan isi buku ini, agar jadi pendorong baginya untuk serta membangun Indonesia yang adil dan makmur, dengan perasaan berbakti kepada tanah air.”
Seusai menyampaikan isi pesan tersebut, Hatta turun dari mimbar dan berjalan keluar ruangan. Ia terus berjalan menjauh, hingga punggungnya tidak lagi terlihat.
Tepatkah Harapan Hatta?
Mungkin tidak berlebihan jika Hatta dalam pesan pendeknya meminta supaya setiap gagasan yang ditulisnya menjadi pendorong dalam upaya membangun bangsa menjadi negara yang adil dan makmur. Terlebih lagi bagi kaum muda.
Jika membaca sejarah hidupnya, kita akan mengetahui bahwa perjuangannya telah dimulai semasa ia masih sangat muda. Bahkan tulisan pertamanya, cerpen berjudul “Nasib Hindania” telah berusaha menggambarkan nasib sebagai negara terjajah. Tak ayal kemudian, Hatta menaruh harap kepada kaum muda untuk melanjutkan perjuangannya laiknya yang telah Ia lakukan di usia muda.
Tetapi, di balik harapan Hatta tersebut saya agak ragu mengenai kemungkinan anak muda seperti kami dapat mewujudkan impian Hatta tersebut. Keraguan ini muncul setelah memperhatikan dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi.
Pendidikan tidak dapat dipungkiri merupakan instrumen penting dalam upaya memajukan suatu negara, terkhusus adalah perguruan tinggi. Bagi Muhammad Hatta, perguruan tinggi memiliki kewajiban melakukan penyelidikan dan usaha kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan hidup kemasyarakatan.
Selain itu, perguruan tinggi memiliki kewajiban membentuk manusia susila yang memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia. Sehingga menurut Hatta, untuk dapat mencapai tujuan ini, titik berat pendidikan terletak pada pembentukan karakter. (Hatta: 2000).
Terhadap fungsi yang disebut Hatta itu, saya sampai hari ini jarang menemukan adanya manusia susila dan demokratis yang dapat dihasilkan oleh dunia perguruan tinggi. Setidaknya penilaian ini saya dapatkan ketika melihat lingkungan sekitar saya.
Bagaimana perguruan tinggi dapat memajukan ilmu pengetahuan ketika mahasiswa yang dididik sering kali melakukan praktik joki tugas dalam menyelesaikan tugas yang diberikan? Bahkan joki tugas ini sering kali digunakan untuk menambah uang jajan beberapa kawan. Bukan hanya mahasiswa, tidak jarang pula saya melihat oknum dosen yang mengambil tulisan mahasiswanya dan menjadikannya sebagai hasil tulisannya.
Bagaimana perguruan tinggi dapat membentuk karakter mahasiswa jika kejujuran akademik masih saja menjadi masalah? Bukan hanya di lingkungan saya, bahkan mungkin secara nasional ketidakjujuran akademik masih menjadi soal. Bahkan Indonesia bertengger di peringkat dua sebagai negara dengan tingkat ketidakjujuran akademik tertinggi.
Selain persoalan ketidakjujuran akademik, sering kali para lulusan perguruan tinggi memiliki cara pikir yang pragmatis dan oportunis yang menghalalkan segala cara untuk mendapat keuntungan. Bahkan tidak jarang pula saya menemukan orang yang masih menjadi mahasiswa memiliki pikiran yang pragamatis dan ikut andil dalam kerja-kerja mengatasnamakan rakyat tetepi dibaliknya menginginkan keuntungan pribadi.
Bahkan, jika kita melihat pemberitaan di media massa, orang-orang yang ditangkap karena korupsi merupakan lulusan dari perguruan tinggi. Baik orang-orang yang berada di kursi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Hal ini membuat saya menjadi agak ragu. Mampukah memang kami sebagai kaum muda dapat mewujudkan impian Hatta itu? Sudah banyak pemuda sebelum kami dan mereka belum dapat mewujudkan impian Hatta tersebut. Bahkan mungkin ikut berkubang lumpur dalam merusak tatanan masyarakat. Saya malah menjadi psimis dan beranggapan bahwa kami kaum muda mungkin lebih dekat menjadi orang-orang yang berkubang lumpur tersebut jika melihat lingkungan dan situasi yang terjadi.
Menjadikan Hatta sebagai Kemudi
Banyaknya permasalahan yang terjadi di lingkungan akademik menyadarkan saya bahwa berpangku tangan hanya pada dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, mungkin tidak sepenuhnya tepat. Kaum muda, termasuk saya harus mencoba mencari kemudi lain di luar dunia akademik hari ini.
Jawaban alternatif yang saya dapatkan adalah sejarah, karena sejarah memiliki khazanah luas tentang sifat manusia, mulai dari sifat buruk hingga sifat teladan yang mungkin hinga hari ini belum ada tandingannya.
Salah satu dari banyaknya tokoh sejarah yang dapat kita jadikan kemudi mungkin adalah Muhammad Hatta. Seperti perkataannya, bahwa gagasannya adalah pendorong, tetapi di balik itu semua, sosok Hatta adalah pribadi jujur, berintegritas dan kompeten yang dapat kita jadikan kemudi.
Meminjam pernyataan dari Riki Dhamparan Putra, bahwa tugas kaum muda adalah menunjukkan kemudi untuk membawa arah dan pedoman. Walaupun dalam hal ini, yang Riki Dhamparan Putra maksud sebagai kemudi adalah Buya Syafii, yang telah menghasilkan “kemudi untuk membetuli jalan tempat berpindah, agar terbebas dai kemunduran” (Putra: 2021). Tetapi tidak ada salahnya mencari alternatif kemudi yang lain dan dalam hal ini adalah Bung Hatta.
Toh, Buya Syafii juga mengidolakan sosok kenegarawan Hatta. Bahkan pengakuan Buya Syafii, bahwa dari banyaknya tokoh bangsa yang dihormati dan kagumi, Hatta adalah puncaknya. Bahkan menurut Buya Syafii “jika bangsa ini masih ingin punya masa depan yang cerah, Hatta wajib dijadikan sebagai rujukanpertama dan utama” (Maarif: 2019).
Tentu mempelajari gagasan dan meneladani sifat Hatta mungkin tidak dapat menyelesaikan semua masalah nasional yang kita alami. Tetapi dengan mempelajari Hatta kita akan tetap waras dan setidaknya memiliki sosok yang dapat kita gugu dan tiru ketika langkanya sosok yang dapat kita teladani hari ini.