Sabtu, April 27, 2024

Kematian Demokrasi Substantif di Indonesia

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze

Banyak pemimpin dan cendekiawan menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling canggih, serta mampu menciptakan keharmonisan antara pemerintah dan warganya.

Demokrasi memberdayakan warga negara dengan hak menilai dan memilih kandidat yang akan menjadi pemimpin terbaik mereka di masa depan. Dengan cara ini, rakyat mempertahankan pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah.

Namun, terkadang demokrasi berpengaruh terbalik, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung setelah gerakan reformasi dimulai pada tahun 1998. Rakyat Indonesia mengadakan unjuk rasa dan demonstrasi memprotes rezim Orde Baru yang kemudian menurunkan presiden Soeharto.

Setelah jatuhnya Soeharto, demokrasi Indonesia diterapkan tidak sesuai tujuannya. Yaitu mengarah ke salah tafsir bahwa demokrasi semata-mata demi kepentingan terbaik dari kelompok mayoritas, dan kurang peduli menegakkan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan sebagaimana yang tertuang di dalam konstitusi Negara.

Dan untuk menghindari bentuk demokrasi yang mengarah ke mobokrasi (pemerintahan oleh gerombolan banyak/mayoritas) yang cenderung merusak, tidak terkontrol dan tidak adil karena kecenderungan mengenyampingkan suara minoritas. John Locke menekankan pentingnya aspek hukum. Hukum menurut Locke bukanlah paksaan dari satu pihak yang berkuasa, tapi lahir dari kesepakatan/kontrak sosial yang setara (egaliter) dan secara sukarela serta penuh kesadaran oleh masyarakat tanpa tekanan/paksaan.

Dari kontrak sosial ini kemudian masyarakat bersepakat patuh dan taat pada kontrak (konstitusi) yang telah disepakati, yang kemudian menjadi landasan untuk membentuk yang namanya institusi (baca: pemerintahan) yang mengatur dan melindungi hak serta kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat tadi.

Namun berbeda pandangan dengan Hobbes yang menganggap pemerintahan itu harus tunggal. Locke menolaknya dengan anggapan bahwa ini bisa menjadi bentuk pemerintahan yang tiran (diktator), kemudian Locke menyarankan pemisahan (separation) pemerintahan, yaitu Legislatif dan Eksekutif agar tercipta mekanisme saling mengkoreksi dan menyeimbangkan.

Kemudian, bagaimana dengan konteks Indonesia. Indonesia yang menerapkan demokrasi langsung pasca orde-baru menghadapi tantangan yang semakin rumit dalam penerapan demokrasinya, silih berganti berita konflik baik horisontal dan vertikal terjadi di era penuh keterbukaan dan kebebasan ini.

Demokrasi Indonesia, meminjam terminologi Aristoteles adalah sistem masyarakat yang bukan demokrasi tapi mobokrasi/okhlokrasi. di mana pemerintahan terbentuk atas gerombolan banyak/mayoritas, yang kemudian menjadi landasan oleh pelaksana negara bahwa suara atau kepentingan mayoritas adalah kebenaran, dan pasti berdampak merugikan bagi minoritas.

Sistem mobokrasi berkonsekuensi pada rusaknya tatanan bernegara dan bermasyarakat, di mana masyarakat yang menganggap dirinya mayoritas dan banyak tadi adalah penguasa atas pihak diluarnya yang minoritas dan berhak bertindak sewenang-wenang, begitu pula negara/pemerintah akhirnya mengiyakan perbuatan demikian karena melindungi kepentingan kelompok/gerombolan mayoritas. Hubungan mayoritas yang dominan dan minoritas yang tertekan ini tidak hanya terjadi dalam bentuk SARA (suku, agama, ras dan antar golonga) tapi juga antara pusat pemerintahan dan daerah, antara pulau Jawa dan bukan dari pulau Jawa (core and periphery).

Mobokrasi lahir akibat tidak dipatuhinya konstitusi (kontak sosial) oleh masyarakat dan institusi negara pun tidak berusaha menjalankan dan menegakkannya.

Praktek kontra-produktif yang melibatkan politik uang dan mahar, menyebarkan desas-desus tidak benar/kampanye hitam, dan mempertahankan sistem patron-klien telah mengakibatkan pemilih memilih pemimpin mereka berdasarkan ikatan emosional (irasionalitas) daripada rasionalitas. Ikatan emosional berdasarkan agama, etnis, suku, budaya dan keluarga telah menjadi pertimbangan utama pemilih Indonesia.

Visi-misi dan platform kebijakan oleh kandidat menjadi kurang penting. Emosi telah mengalahkan meritokrasi. Begitu banyak calon pemimpin atau caleg telah menggunakan taktik kampanye negatif menarik perhatian pemilih. Cara ini biasanya menghasilkan pemimpin buruk dan akhirnya menghasilkan kebijakan yang buruk. Inilah hasil dari formalitas demokrasi yang lebih dipentingkan daripada substansi demokrasi itu sendiri.

Oligarki Politik Elite

Selain itu kekurangan demokrasi Indonesia ada pada aspek oligarki dan sentimen politik identitas. Tesa ini diawali oleh pendapat Huntington yang mengkritisi pandangan Fukuyama bahwa dunia akan disatukan oleh pandangan demokrasi-liberal pasca keruntuhan kekuatan utama blok timur (Komunis) Uni Sovyet, tapi menurut Huntingon pandangan itu keliru, karena konflik antar ideologi akan bergeser menjadi gesekan peradaban (identitas)(Clash of Civilization), misalnya antara dunia Barat dan dunia Islam.

Tapi pandangan Huntington ini dianggap tidak masuk akal oleh Edward Said, dan mengkritisinya dengan membuat artikel bertema gesekan kebodohan (Clash of Ignorance), bahwa tesa akan terjadi gesekan peradaban (identitas) dirasa tidak masuk akal, ditengah dunia yang semakin modern, rasional dan terintegral satu sama lain.

V Hadiz menganggap politik identitas tidak lebih dari upaya oligarki (kekuasaan oleh sekelompok orang) untuk mempertahankan hak istimewa ekonomi dan bisnis mereka, terutama menggunakan identitas sebagai legitimasi infrastruktur untuk menjaga kondisi privilege.

Hal ini senada dengan pemikiran Airlangga Pribadi, bahwa perjuangan meraih kekuasaan di era demokrasi seringkali terjadi peristiwa menggunakan identitas sebagai dalih pembenaran untuk memenangkan persaingan ekonomi antar kelompok oligarki. Pandangan politik identitas (rasial) menurut Slavoj Zizek (2011) tidak lebih dari usaha kapitalis untuk memperbesar pengaruhnya dengan menggunakan isu identitas untuk menguasai sumber daya alam dan ekonomi.

Menurut William Liddle (2009), demokrasi Indonesia sedang memasuki era kenaifan dan ketidakdewasaan, disaat semua orang menghargai demokrasi, namun tidak ada kritik apapun disaat demokrasi ini malah menaikkan terpilihnya partai politik dan pemimpin yang tidak memiliki akuntabilitas dan kredibilitas atas amanah para pemilih, yang malah sering diselewengkan untuk kepentingan sekelompok orang terpilih yang berkuasa (oligarki).

an ironisnya lagi, oligarki tidaklah menolak demokrasi, melainkan memanfaatkan demokrasi untuk melapangkan kepentingan kelompoknya (Jeffrey Winters, 2011), maka lengkaplah kondisi buruk demokrasi Indonesia ketika oligarki ditataran elit bergandengan tangan dengan mobokrasi di tataran akar rumput.

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.