Kamis, April 25, 2024

“Kematian” Agama di Hadapan Bencana

Ahmad Natsir
Ahmad Natsir
Dosen IAIN Ponorogo, Fans FP Waskita Jawi, Member Institut Kajian Agama dan Sosial (IKAS)

Air mata kita seolah belum mengering karena duka bencana alam gempa bumi yang di alami NTB (Nusa Tenggara Barat) 8 September 2018 silam, kini Indonesia kembali menghadapi bencana alam serupa dengan tsunami yang mengiringinya.

Tepatnya di kota Palu, Sulawesi Tengah. Rumah, tempat ibadah, hingga bangunan pendidikan rusak parah, ratusan korban jiwa melayang, puluhan luka-luka hingga puluhan korban belum ditemukan. Kejadian ini sontak menjadikan masyarakat Indonesia mengalami duka mendalam. Hastag, pemberitaan, ungkapan duka mendalam, hingga bantuan kemanusian mulai mengalir.

Namun, ada sebagaian masyarakat Indonesia yang selalu mengaitkan sebuah bencana alam kepada sebuah dosa tertentu yang telah dilakukan. Pendapat tersebut bahkan banyak muncul dari pakar agama.

Semisal mengaitkan gempa NTB dengan beralihnya dukungan Gubernur kepada sosok politis, hingga gempa di Palu yang bahkan dikaitkan dengan status tersangka seorang tokoh agama, bahkan sempat viral di media sosial gempa ini dikarenakan sebuah struktur bangunan yang dilihat dari atas tampak sebagai ‘mata satu’ yang kemudian dihubungkan dengan kemunculan Dajjal.

Agama seyogyanya membawa ketenangan dalam situasi bencana ini, dengan lima prinsip jaminan keselamatannya (maqasid syariah), berupa keselamatan beragama, keselamatan jiwa, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan akal, keselamatan harta mestinya pendapat menyalahkan hingga menganggap bencana merupakan dosa dapat ditahan dan disimpan dalam-dalam. Di sinilah tampaknya ‘agama’ seakan mati berhadapan dengan bencana, agama tidak  lagi menghidupkan, malah sebaliknya, membawa ‘kematian’ dengan menyalahkan penduduk setempatnya.

Nalar kematian agama ini seakan terus menerus berlangsung, Mike Featherstone (1990) dalam bukunya Global Culture: Nationalism, Globalization, dan Modernity memberikan tiga tanda pergeseran budaya dalam masyarakat yaitu, dominasi nilai barang, nilai estetika barang, hingga lemahnya referensi tradisional. Dari kacamata ini, pemahaman agamaisasi bencana dapat dilihat dalam tiga tanda serupa.

Dominasi agama ditandai dengan menguatnya formalisasi religius dalam kehidupan masyarakat beragama Indonesia. Hal ini dalam satu hal menunjukkan hal yang positif bahwa negara ini memang benar-benar serius dalam melindungi hak beragama dan berkeyakinan penduduknya sesuai yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945.

Namun segala hal yang berlebihan tentu sering membawa sebaliknya. Nalar beragama yang terlalu mendominasi dalam masyarakat menjadikan apa pun fenomena yang ada di sekitarnya dikembalikan kepada ketentuan Yang Maha Kuasa, baik berupa ujian kehidupan hingga menganggap sebuah bencana merupakan azab.

Pada akhirnya nalar semacam ini bermuara pada berhentinya berpikir-berijtihad untuk memberikan solusi yang terbaik untuk mencegah, atau setidaknya mengantisipasi sebuah bencana. Sekalipun dalam agama memang demikian, namun setidaknya para cerdik cendikia agama juga harus berperan setidaknya dengan menerbitkan fatwa wajib mendalami pengetahuan antisipasi bencana alam pada daerah rawan misalnya hingga fikih bencana.

Dominasi nalar agamaisasi bencana didukung pula oleh estetisasi nilai bencana dalam kacamata agama. Estetisasi ini dapat berupa meme yang banyak beredar di media sosial yang berisi tentang mengapa bencana itu terjadi, apa sebenarnya maksud Tuhan dalam menurunkan bencana hingga pahala yang diperoleh para korban.

Tidak main-main, meme tersebut memetik ayat-ayat Alquran hingga pendapat para sahabat Nabi Muhammad saw. Tak ayal, meme ini melejitkan nalar agamaisasi bencana. Bahkan di wag yang saya ikuti, tidak sedikit yang menyebarkan dalil-dalil bencana dari Alquran, fatwa sahabat, hingga berita-berita miring mengenai hal ihwal masyarakat korban bencana yang bisa diartikan bahwa hal itulah penyebab bencana itu terjadi. Meskipun wag diisi oleh para cendekiawan muslim.

Namun, tidak ada satu pun yang berpendapat betapa pentingnya memperdalam pengetahuan dalam menghadapi hingga mengantisipasi bencana. Apa ini akan berlanjut hingga pada masa yang akan datang?

Lemahnya pengetahuan tentang struktur lempeng bumi yang dapat mengakibatkan gempa bumi, dan pengetahuan tentang antisipasi terhadap bencana. Menjadikan masyarakat memilih logika yang paling mudah dalam menghadapi fenomena bencana alam, antara takdir, cobaan, dan azab.

Lemahnya pengetahuan demikian dikarenakan semangat beragama yang tidak memberikan lampu semangat untuk hidup jauh ke depan. Agama hanya urusan hitam-putih, hingga persoalan ubudiyah yang bersifat pribadi, hingga menggebu-gebu dalam hal politik. Sementara wilayah sosial para pemuka agama enggan berbicara, enggan berfatwa, dan bervisi jauh ke depan.

Yang muncul adalah solusi-solusi yang bersifat insidentil dan sementara, sekalipun itu sangat penting. Namun membangun visi beragama yang ‘menghidupkan’ visi masa depan kehidupan sosial juga tidak boleh dilupakan. Peran pemuka agama dalam mendorong segenap individu untuk belajar juga harus diadakan.

Dengan begitu, agama akan mampu mengisi kekosongan yang dialami Indonesia dalam hal siaga bencana. Sudah saatnya menjadikan agama ‘hidup’ dan ‘menghidupkan’ sisi kemanusian serta visi masa depan.

Ahmad Natsir
Ahmad Natsir
Dosen IAIN Ponorogo, Fans FP Waskita Jawi, Member Institut Kajian Agama dan Sosial (IKAS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.