Sabtu, April 20, 2024

Kemampuan Film Mewujudkan Perubahan

Leo Bisma
Leo Bisma
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Sebuah film berjudul Silenced (2011) sempat menimbulkan perubahan besar bagi negara Korea Selatan beberapa waktu di saat peluncurannya. Isu yang dibawakan film ini berdampak hingga Parlemen Korea Selatan menyetujui dihapuskannya statue-of-limitation untuk kejahatan terhadap anak dibawah 13 tahun dan wanita disabilitas. Film ini diproduksi didanai dengan biaya yang minim, karena sebagai bentuk tanggung jawab sosial para pembuatnya, bukan demi kepentingan komersil.

Kejadian tersebut menjadi contoh bahwa sebuah karya film tidak bisa dikatakan murni hanya untuk dinikmati keindahan dan sisi menghiburnya saja. Film pun tidak bisa digeneralisasi hanya ada karena tujuan industrialisasi.

Beberapa jenis film ada karena keinginan pembuatnya untuk membawa perubahan bagi penonton dan masyarakat. Selain buku dan tulisan, film merupakan salah satu media yang karena kekuatan visualnya memiliki peluang besar untuk menyampaikan pesan secara akurat, dan para sineas menyadari hal tersebut. Oleh karena itu tak jarang berbagai cerita dan biografi yang telah dibukukan, diproduksi kembali dalam bentuk film.

Berbicara mengenai kekuatan film dalam mempengaruhi penonton, film yang baik seharusnya mengubah penontonnya menjadi pribadi yang berbeda saat meninggalkan  studio. Tidak secara harfiah, namun setidaknya memiliki andil dalam merubah pandangan seseorang.

Berkat kekuatannya, film pun mulai menjadi senjata untuk menyebarkan kritik sosial, sisi gelap, biografi, hingga isu sensitif yang dianggap tabu untuk dibicarakan.

Berdasarkan tujuannya, film-pun seakan  terbagi menjadi 2 kutub arah. Film industri, dan film Alternatif. Film di kelas industri cenderung bergerak kearah mencari profit sebesar-besarnya. Konten film lebih jarang mengekspresikan pandangan dari sutradara, lantaran mengedepankan keinginan pasar.

Namun kualitas dari film yang biasa tayang di bioskop ini  tidak main-main, digarap dengan profesional dan dari tangan-tangan ahli diberbagai bidangnya, semua untuk hasil yang nyaris sempurna dimata produser. Tak heran anggaran untuk produksi sebuah film industri cukup mencengangkan.

Sedangkan film alternatif seperti sebuah antitesis. Lahir dari sineas-sineas pemula yang umumnya masih muda, dan idealis dalam menggarap film layaknya sebuah karya seni. Oleh sebab itu pula film alternatif yang kemudian disebut pula film festival kerap meraih penghargaan kelas dunia karena estetika dan pesan dari film itu sendiri sangat dominan.

Film alternatif identik dengan ciri khas low-budget dalam produksinya, dan karena kualitasnya yang umumnya tak memenuhi standar industri perfilman, produk film tersebut jarang menembus bioskop dan hanya dapat dinikmati di media pemutaran alternatif.

Film yang dihasilkan dari rumah produksi skala grassroot  justru mencerminkan budaya  perfilman Indonesia. digarap dengan sederhana, oleh orang-orang yang terdampak langsung oleh permasalahan dalam filmnya, dan dinilai lebih “mampu” menjabarkan dan menghadirkan realitas yang valid tentang isu kedalam film.

Pigura (2010) dan Langka Receh (2012), sukses menjadi nominator dalam Festival Film Indonesia. Menariknya, dua film tersebut merupakan karya dari SMPN 4  Karangmoncol, sekolah yang berlokasi dibawah gunung dan menjadi tempat belajar bagi siswa yang berjumlah hanya 39 orang.

Suksesnya film mereka di festival film Indonesia menjadi bukti bahwa sekalipun karya tersebut datang dari kalangan low-profile dan pelajar, namun memiliki kepekaan yang baik pada masalah, lebih memenuhi syarat untuk menjadi film terbaik dibandingkan film-film mahal di bioskop.

Komunitas pecinta film mulai terbentuk. Mereka pada umumnya mengklaim tak hanya menjadi penonton, melainkan juga menjadi pemerhati film. Anak-anak muda yang dulu gemar menyebar propaganda melalui pamflet dan selebaran, kini beralih ke media audio visual. Kritik menggunakan film dianggap lebih elegan, dan mengena langsung pada permasalahan karena visual dianggap lebih “berbicara”.

Lebih-lebih, film dianggap menjadi media dokumentasi terbaik. Fungsinya dalam merawat ingatan memicu dibukanya layar-layar alternatif ditempat umum, di kampus, di rumah di kosan, di mana saja. Tak heran mengapa banyak pencekalan terhadap agenda-agenda propaganda yang dilakukan anak muda apalagi ketika menyangkut pemutaran film dokumenter.

The Day After Tomorrow (2004) sempat membuka mata dunia. Lewat gagasannya, secara tak langsung mengkampanyekan tentang perubahan iklim dan pencegahan krisis lingkungan. film dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat secara masif terhadap isu yang ada.

Ruang-ruang diskusi pun terbuka untuk membahas isu lebih dalam. Orang-orang mulai mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan melalui pandangan baru tersebut. bahkan film membuat membicarakan sebuah isu dengan cara yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya.

Leo Bisma
Leo Bisma
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.