Sabtu, Oktober 12, 2024

Keluarga, Faktor Penghambat Terciptanya Populasi Pengusaha

Karina Yuanita
Karina Yuanita
Pelaku UKM

Unggahan foto selebgram Rachel Venya yang memakai tas bermerek seharga 50 jutaan pada akun instagramnya, membuat saya kagum sekaligus penasaran, apa yang dia lakukan di usia muda agar bisa mencapai gaya hidup wah seperti itu?

Rachel Venya mulai mencicipi dunia usaha sejak usia belia. Pada awalnya, ia berjualan jamu pelangsing yang kemudian mendapat respon positif dari pelanggannya. Diketahui, jamu yang resepnya didapat dari ibunya tersebut, sangat efektif untuk menurunkan berat badan.

Perlahan ia mulai menekuni bidang bisnis lain. Rachel mulai merambah ke dunia kuliner. Sate Taichan, Ngikan dan restoran Rumah Sedep menjadi ikon kesuksesan Rachell Venya di bidang kuliner. Dari berbagai sumber, diketahui penghasilan yang ia peroleh mencapai ratusan juta rupiah perbulannya. Angka yang sangat mengejutkan untuk seorang perempuan muda berusia dibawah 30 tahun.

Rachel Venya adalah satu dari sekian banyak sosok yang menginspirasi kaum muda berusia produktif, bahwa jalan kesuksesan tidak selalu harus dicapai dengan menjadi karyawan. Ia membuktikan kegigihan mengantarkannya menjadi pengusaha muda yang sukses berbisnis.

Menjadi pengusaha sendiri bukan perkara yang mudah. Ada beberapa faktor yang harus dimiliki seorang pengusaha. Faktor tersebut antara lain gigih, disiplin, berani mengambil risiko, berjiwa pemimpin, percaya diri, inovatif dan kreatif.

Faktor lain yang menentukan kesiapan seseorang menjadi pengusaha adalah pendidikan karakter pengusaha di dalam keluarga. Pendidikan keluarga dalam masyarakat kita masih banyak mempersiapkan fokus anak agar menjadi pegawai. Bersekolah agar mendapat nilai bagus, kuliah di perguruan tinggi ternama, lulus dan kemudian diterima bekerja di perusahaan besar. Mental pegawai diwariskan para orangtua kepada anak-anak secara turun temurun, dari generasi ke generasi.

Kebanyakan orangtua menganggap kepastian dalam hal pendapatan adalah harga mati. Seorang pegawai dengan pendapatan UMR lebih baik ketimbang perintis usaha sendiri yang tidak terjamin pendapatannya. Kekhawatiran orangtua ini sangat berdasar, mengingat waktu dan upaya yang dikerahkan agar membentuk seseorang menjadi pengusaha akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan mencetak seorang pegawai.

Angan-angan kehidupan mapan tanpa risiko, penghasilan tetap hingga jaminan pensiun makin mengubur dalam-dalam keinginan orangtua untuk mengarahkan anak mereka ke jalan bisnis yang penuh risiko, terjal, dan tanpa jaminan.

Menjadi pengusaha berarti mengekspos diri terhadap risiko. Mengenalkan konsep risiko baiknya dilakukan orangtua sejak dini kepada anak-anaknya. Di Tiongkok, adalah hal yang umum mendapati anak- anak membantu keluarga mereka menjaga toko sepulang sekolah. Dunia yang mereka jalani adalah proses belajar.

Melayani pembeli berarti mempelajari psikologi konsumen. Menjaga kasir berarti belajar keuangan. Datang ke toko setiap hari untuk mengajarkan anak tentang disiplin dan kerja keras. Tak mengherankan jika kemudian Tiongkok menjadi negara di Asia yang mengalami perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terutama perekonomian.

Sedangkan yang terjadi pada kebanyakan masyarakat kita, orangtua menjamin kenyamanan hidup anak sedang kecil. Yang berpenghasilan sedikit menyewa jasa pengasuh anak, yang berpenghasilan lebih besar bahkan mengirim anak-anak mereka ke tempat kursus belajar di luar jam sekolah. Di rumah mereka, ada asisten rumah tangga yang makin meminimalisir keterlibatan anak dalam pekerjaan rumah sehari-hari. Saya kasihan melihat anak-anak yang hidupnya begitu dimanjakan.

Tradisi orangtua Indonesia kebanyakan masih turut campur dalam banyak hal yang mestinya sudah dapat diputuskan sendiri oleh anak. Bahkan ketika mereka berusia 18 tahun, banyak orangtua turut campur memilihkan pacar, memilih jurusan kuliah, dan tidak diijinkan hidup terpisah dengan keluarga. Ada baiknya mereka diberi sedikit keleluasaan memilih, melepas ketergantungan, agar jika mereka salah langkah, mereka bertanggung jawab atas pilihannya, dan itu mengenalkan mereka pada keberanian menghadapi risiko. Salah satu faktor  yang mendasari seseorang dalam berwirausaha.

Apabila pendidikan keluarga seperti itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin anak hanya akan terperangkap dalam zona nyaman, tidak siap menghadapi dunia luar, menjadi autopilot, tidak punya inisiatif dan takut mengeluarkan pendapat. Ketika anak muda hanya dibiarkan pasif dan hanya mengikuti arahan, mereka tidak berbeda dengan generasi tua yang lamban, statis dan hanya bergerak dalam lingkungan yang pasti-pasti. Padahal dunia kita sekarang adalah dunia yang kompetitif, dinamis dan bergerak serba cepat.

Sosiolog David McClelland mengungkap bahwa setidaknya diperlukan pengusaha sebanyak 3 persen dari total populasi agar suatu negara bisa dikatakan sebagai negara makmur. Teori ini cukup umum digunakan sebagai acuan dalam mengukur tingkat kemajuan suatu negara. Ini membuktikan bahwa profesi pengusaha banyak memberikan kontribusi memakmurkan sebuah bangsa.

Angka 3 persen tersebut tidak dengan mudah dicapai tanpa adanya kesadaran orangtua akan pentingnya menanamkan nilai-nilai kemandirian, manajemen resiko dan berwirausaha di dalam keluarga. Membentuk karakter pengusaha harus dimulai sejak dini.

Jadi, sudah siapkah kita?

Karina Yuanita
Karina Yuanita
Pelaku UKM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.