Pawang hujan merupakan seseorang yang diyakini oleh masyarakat mampu memindahkan hujan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Masyarakat Indonesia secara umum masih mempercayai kemampuan pawang hujan karena sebagian besar perkembangannya masih berada dalam tahap teologis, yaitu masyarakat masih mengaitkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh alam pikirannya dengan hal-hal mistis dan bersifat religio magis dan tahap metafisik atau fase transisi antara tahap teologis menuju ke tahap positifistik sehingga disebut dengan masa remaja intelegensia manusia.
Semua itu diungkapkan oleh Sosiolog Auguste Comte dalam hukum tiga tahap perkembangan masyarakat. Masyarakat satu dengan yang lainnya dapat juga berbeda tahap perkembangannya, misalnya daerah A masih berada dalam tahapan teologis, sedangkan daerah B sudah menuju pada tahapan metafisik yang semuanya belum dapat pisah sepenuhnya dari hal-hal berbau religio-magis.
Sejatinya pawang hujan jarang yang menolak hujan karena dianggap bertentangan dengan kodrat alam semesta. Hal ini juga didukung oleh berbagai ajaran keagamaan yang diyakini masyarakat bahwa hujan itu berkah, rahmat, dan anugerah dari Tuhan semesta alam.
Pelaku pawang hujan sendiri juga menerapkan konsep tersebut karena mereka juga percaya kepada hal-hal diluar ilmiah atau yang bersifat mistis untuk menjaga keseimbangan alam. Mereka juga harus melakukan tata cara mistik untuk mendapatkan dan memperdalam ilmunya. Heru S.P. dalam karyanya yang berjudul “Memuja Mantera” yang terbit tahun 2007 oleh LKiS Yogyakarta mengatakan bahwa ritual atau laku mistik adalah proses ritual yang dilakukan untuk mendapatkan kekuatan gaib.
Pawang hujan konvensional menurut artikel “Tradisi “Nyarang Hujan” Masyarakat Muslim Banten” karya Eneng Purwanti (2013) memiliki cara yang berbeda-beda untuk memindahkan hujan, seperti: menyiapkan kaleng bir yang konon diggunakan untuk minum makhluk halus penggeser hujan, meminta keluarga pelanggan untuk membaca mantra, menggunakan perangkat rantang nasi dan payung hitam, memakai sapu lidi yang ditancapkan bawang merah dan cabai merah, ada juga yang puasa ngebleng, dan ada juga yang berziarah ke makam-makam leluhur terlebih dahulu.
Menurut jenisnya metode kerja pawang hujan ada 3, yaitu; pawang hujan yang penuh meminta doa kepada Tuhan untuk memindahkan hujan, pawang hujan yang meminta bantuan kepada makhluk halus yang konon dipercaya membantu pekerjaannya, dan pawang hujan yang menggabungkan kedua metode sebelumnya.
Pada masa kontemporer ini keberadaan seorang pawang hujan memang mengundang berbagai persepsi, ada yang mendukung sebagai bagian dari pelestarian kebudayaan yang diwujudkan sebagai sistem pengetahuan tradisional seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat seorang Antropolog kondang UGM dalam 7 unsur kebudayaan.
Terdapat juga persepsi negatif yang mengatakan profesi ini musyrik, syirik, memalukan, dan berbagai umpatan lainnya yang sering dilontrakan. Pendapat masyarakat yang negatif terhadap adanya pawang hujan ini mungkin disebabkan oleh atribut atau perlengkapan ritual yang mereka pakai, seperti sesajen, benda pusaka, sapu lidi bekas, bawang merah dan cabai yang ditusuk menggunakan lidi, abu bakaran kemenyan yang menimbulkan asap, dupa (hio), dan lain sebagainya, yang sering dikonotasikan negatif untuk memberi makan jin atau roh penggeser hujan.
Selain itu, mungkin saja pendapat negatif itu muncul dari pakaian yang sering digunakan oleh pawang hujan dengan memakai kostum tradisional, seperti celana hitam, surjan (baju jas laki–laki khas Jawa), blangkon, udeng, atau ikat kepala tradisional sejenis yang sering dikonotasikan sebagai pakaian dukun.
Selain eksisnya pawang hujan yang serba menggunakan pakaian, metode, dan peralatan tradisional khas sukunya masing-masing, ternyata juga terdapat pawang hujan yang lebih agamis sebagai pembanding dan mungkin lebih dapat diterima oleh masyarakat menyebut hal-hal berbau klenik sebagai musyrik dan syirik. Samsul Munir dalam Karomah Para Kiai menyebutkan bahwa para kiai yang memiliki karomah juga dapat melakukan pekerjaan tersebut.
Persepsi menyumbangkan pengaruh besar terhadap eksistensi pawang hujan di masa kini. Pengalaman seseorang juga menjadi tahap untuk membentuk suatu persepsi individu pada suatu hal seperti yang diungkapkan oleh Tiato dan Titik Trowulan (2006).
Pengalaman suatu individu atau masyarakat dalam menyewa jasa pawang hujan dan ternyata berhasil menghalau hujan akan dipelajari, dipikir, dan dipersepsikan oleh mereka bahwa keberadaan pawang hujan dan kelebihan kekuatannya memang benar adanya, sehingga hal ini menyebabkan timbulnya rasa percaya terhadap kekuatan pawang hujan yang konon turun-temurun.
Hal itu terlebih lagi jika keberhasilan pawang hujan memiliki intensitas yang lebih atau berkali-kali berhasil menghalau hujan. Kepercayaan tersebut yang pada akhirnya mendorong individu atau masyarakat memesan dan memesan lagi jasa dari pawang hujan dengan tujuan keberhasilan acara. Sebaliknya jika ternyata pawang tersebut gagal menghalau hujan, maka akan timbul persepsi negatif karena tidak sepenuhnya hujan dapat ditolak keberadaanya dan melahirkan persepsi negatif terhadap eksistensi pawang hujan di masyarakat.
Berdasarkandua persepsi tersebut maka persepsi yang pertama cenderung memiliki porsi lebih dalam menjaga eksistensi pawang hujan di masa kini di lingkungan masyarakat.
Eksistensi pawang hujan di masa kini tidak stagnan tetapi terus berkembang mengikuti arus zaman yang merupakan bentuk adaptasi mereka agar tidak termarjinalkan oleh zaman.
Tercatat pada masa kontemporer ini mulai muncul pawang-pawang hujan alternatif yang mengembangkan inovasi baru dengan menerapkan metode jasa jarak jauh atau daring. Beberapa diketahui akun Instagram bisnis yang bernama @pawanghujan_indo yang menonjolkan dirinya sebagai spesialis pawang hujan online.
Pemilik akun tersebut hanya berkomunikasi dengan pelanggannya melalui aplikasi WhatsApp dan google map untuk mengetahui lokasi acara berada yang selebihnya ritual memindahkan hujan dilakukan di rumah pribadi. Selain akun @pawanghujan_indo, juga terdapat pawang hujan online lainnya, yaitu akun Instagram @pesanpawang. Inovasi baru yang cukup unik karena dalam satu waktu dapat membantu 3 hingga 4 acara di tempat yang berbeda-beda.
Cara tersebut juga dinilai lebih efektif dalam merespon perkembangan zaman dan lebih menghemat tenaga fisik bagi pawang. Metode pawang hujan baru ini dinilai juga dapat menghemat pengeluaran biaya bagi pelanggan karena hanya membayar jasa saja tidak membayar uang bensin dan uang makan seperti pawang hujan konvensional yang harus datang langsung ke lokasi acara (luring).
Akhir kata, pawang hujan tetaplah manusia biasa yang menjadi bagian dalam masyarakat modern dewasa ini. Sejatinya kelompok masyarakat ini telah mewarnai kehidupan bangsa dari zaman pra-klasik hingga masa modern ini. Mereka menolak untuk punah dan tetap dapat berintegrasi dengan gertakan-gertakan globalisasi di masa kini.
Persepsi masing-masing terhadap eksistensi pawang hujan seharusnya tidak perlu diungkapkan secara terang-terangan, karena setiap orang memiliki jalan masing-masing untuk menikmati dan mencapai tujuan hidup. Marilah hidup saling menghargai di seluruh aspek kehidupan kita agar terciptanya keharmonisan yang sejati
Referensi:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Saputra, Heru Setya Puji. 2007. Memuja Mantera: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Chabibi, Muhammad. (2019). Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya Terhadap Kajian Sosiologi Dakwah. Jurnal Nalar, 3(1), 14 – 26.
Pertiwi, Mustika Cahyaning dkk. (-). Hubungan Organisasi dengan Mahasiswa dalam Menciptakan Leadership. Prosiding Seminar Nasional dan Call of Papers, ISBN: 987-602-70471-1-2.
Purwanti, Eneng. (2013). Tradisi “Nyarang Hujan” Masyarakat Muslim Banten (Studi di Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang)”. Jurnal AlQalam, 30(3), 540 – 562.
Isnaeni, Hendi F. (2022). Cerita Lama Pawang Hujan. Diakses pada 28 Februari 2023, dari https://historia.id/kultur/articles/cerita-lama-pawang-hujan-PNLrA/page/1