Kegagalan beberapa perusahaan menangkap fenomena kelas menengah muslim Indonesia terbukti memberikan beberapa dampak negatif terhadap aktivitas bisnis perusahaan. Pasca kehebohan aksi seputar penistaan agama November tahun lalu, Sari Roti adalah salah satu perusahaan yang mendapatkan kecaman dari publik dan netizen atas pernyataan sikap resmi perusahaan yang dinilai tendensius terhadap kelompok tertentu, seruan boikot Sari Roti pun bergema di dunia maya.
Memasuki Kuartal pertama tahun 2017 menjadi ajang pembuktian apakah seruan boikot Sari Roti benar-benar berdampak? Sebagain pakar, entah itu politik atau pemasaran yang mengatakan, konsumen Jakarta dan kawasan sekitarnya berkarakter rasional. Keputusan pembeliannya tidak akan terpengaruh oleh sentimen agama. Bagaimana untuk kasus kampanye boikot netizen terhadap Sari Roti pada kuartal pertama tahun ini? Ternyata pengaruh itu ada dan cukup signifikan. Wilayah Jabodetabek berkontribusi besar terhadap penurunan omset maupun laba Sari Roti, paling tinggi penurunan di wilayah bekasi, hal ini dapat dibaca dari laporan keuangan perusahaan di kuartal pertama 2017 yang sudah dirilis. Sari Roti memiliki 9 wilayah penjualan Bekasi, Pasuruan, Semarang, Medan, Palembang, Makassar, Purwakarta, Cikande dan Filipina.
Kuartal pertama 2017 menunjukkan 4 wilayah mengalami penurunan penjualan. Nominal penurunan terbesar terjadi di bekasi, sedangkan kalau dilihat dari prosentase maka penurunan terbesar di Purwakarta. Di Bekasi Sendiri lama menunjukkan penurunan sebesar 39 M. Secara umum penjualan Sari Roti di kuartal pertama ini sebesar Rp 602 M, turun 1,5 % dari kuartal pertama tahun 2016 sebesar Rp 611. Meksipun Penjualan bruto naik 7,6 % tapi nilai ini tergerus oleh naiknya retur sebesar 75 % dari tahun sebelumnya. Hal ini berdampak pada turunnya nilai laba sebesar 67 % alias Rp 28 M ( 5 % dari omzet)dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 86 M (14 % dari omzet).
Menghadapi semua fakta dan fenomena diatas perusahaan dengan kode emiten ROTI di BEI ini pasti sudah menyiapkan planning baru untuk mengatasi problem ini, salah satunya penerbitan Right Issue dan akuisi perusahaan Roti lain di Filipina. Kita tak akan terlalu jauh membahas soal aspek manajemen, mari berfokus lagi pada fenomena kelas menegah muslim lagi tadi. Sektor pasar muslim terutama yang dikenal sebagai Generation M tak bisa diremehkan, pendekatan pasar muslim harus memahami karakternya dengan baik, salah-salah bisa kehilangan customer, kasus Sari Roti diatas adalah salah satu contoh kecil.
Kelas menengah muslim lekat dengan fakta tingginya semangat religius dalam aktivitas sosial, keluarga maupun aktivitas ekonomi. Selain itu gaya hidup muslim seperti makanan halal, hijab serta travel umrah adalah khas lain yang menjadi perhatian kelompok ini. Bagi sbagian orang yang phobia terhadap hal ini dan mengatakan fenomena ini sebagai kekuatan konservatif berbasis sentimen agama akan muncul gambaran yang kurang nyaman, kalau tidak boleh dibilang mengerikan.
Padahal faktanya tidak demikian, memahami kelas menegah muslim ini menarik untuk menengok definisi yang digambarkan oleh Yuswohady dalam bukunya Marketing to Middle Class Muslim ataupun GenM, Pertama, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam. Kedua, mereka modern, berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global. Ketiga, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia.
Keempat, mereka makmur dengan daya beli memadai, kemampuan berinvestasi lumayan, dan jiwa memberi atau filantropis berupa kebiasaan zakat dan sedekah yang cukup tinggi. Beberapa perusahaan consumer goods pun telah memahami fenomena ini dan melakukan penyesuain strategi agar tidak kehilangan ceruk pasar. Dulu orang tak begitu peduli dengan makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli. Survei dari Yuswohady mendapati 95 persen konsumen kosmetik mengecek label halal saat membeli produk. Dulu kaum muslim kita juga tak begitu fokus dengan praktek riba dalam perbankan, kini mereka mulai peduli untuk menghindari riba. Buktinya bank syariah tumbuh hingga mencapai 40 persen pertahunnya. Begitu pula kaum wanita muslim kini semakin konsen untuk menutup auratnya, terbukti dengan munculnya fenomena revolusi hijab.
Inilah fenomena yang terjadi, Pilkada DKI, terlepas dari segala kegaduhan dan kontroversi yang muncul, menjadi ajang pembuktian sekali lagi bahwa pasar muslim ini memegang peranan penting, ketika aspek keyakinan mereka terusik dan menjadi marah maka merekapun bereaksi. Bukan dalam aksi kemarahan yang menciptakan kerusuhan atau cheos di masyarakat tapi mengelola dalam sebuah aksi elektoral, datang ke TPS dan tidak memberikan suara pada calon yang mengusik keyakinan mereka.
Sebagian kalangan menyayangkan ketika agama menjadi komoditi dalam kontestasi politik, mencap konservatif dan fundamentalis atau intoleran, padahal bisa jadi karena gagal membaca fenomena pasar muslim yang ada. Masyarakat muslim terutama kelas menengah tadi adalah perwujudan lain dari refleksi tingginya semangat beragama yang rasional. Mereka semakin mencari manfaat spiritual (spiritual value) dari produk yang mereka beli dan konsumsi. Yaitu produk-produk yang menjalankan kepatuhan (compliance) pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Ini berbeda dengan di dunia Barat misalnya, dimana ketika mereka beranjak maju, masyaraktnya justru semakin sekuler bahkan banyak yang tak memercayai lagi keberadaan Tuhan.
Agama memang kadang bisa jadi komoditi, tapi yang terjadi saat ini di Indonesia bukan dagang komoditi bermodalkan sentimen, tapi memang tumbuhnya semangat beragama dan rasional dalam bersosialisasi. Jangan bersikap denial menyalahkan pihak lain, Sudahkah anda menyesuikan diri dengan fenomena ini ?
Seumber foto :
https://cdn.brilio.net/news/2016/12/02/109054/525037-artis-aksi-212.jpg
Penulis : Dwi Putro Utomo Usman, Head Of Strategic Communication Dompet Dhuafa