Disadari atau tidak, status kelajangan seorang wanita masih sarat menjadi pusat dari isu-isu sosial yang tak jarang merugikan. Hal ini terutama dapat dijumpai di sebagian wilayah Asia yang masih menganggap bahwa kelajangan seorang perempuan merupakan sebuah aib.
Jelas sekali bahwa sekalipun manusia telah memasuki era modern dengan segala kecanggihan teknologi maupun pengetahuan dibaliknya, sebagian besar orang tanpa sadar masih melanggengkan budaya-budaya patriarki yang secara tak sadar melemahkan wanita, mengecilkan perannya dalam masyarakat dan melulu hanya menganggap bahwa seorang wanita hanya berkutat pada dua peran, menjadi istri maupun seorang ibu.
Sementara pilihan-pilihan lain yang berada di luar dari dua hal tersebut dianggap sebagai perilaku yang menyimpang secara sosial bahkan seringkali dikaitkan dengan sisi dogmatisme agama. Yang berujung membuat kaum wanita rentan diposisikan sebagai pihak yang bersalah maupun terkucil dalam satu komunitas masyarakat.
Namun, sikap yang ditunjukkan masyarakat ini terasa amat berbeda dengan kaum lelaki. Mereka jarang diposisikan sebagai pihak yang dideskreditkan dalam pilihan untuk menikah atau tak menikah. Mereka bahkan diberi keluwesan untuk mengejar karir alih-alih mendahulukan masalah berumah tangga.
Anggapan ini lahir semata-mata dari cara pandang masyarakat yang masih menitikberatkan pada pembagian peran yang sama sekali tak berimbang antara kaum lelaki dan perempuan. Faktor biologis, kepercayaan dan adat-istiadat juga memberi sumbangsih atas pelekatan-pelekatan stigmatisasi negatif pada kaum perempuan.
Secara medis, perempuan dianggap menghasilkan kualitas telur terbaik pada usia 20 hingga 30 tahun. Sedangkan pada usia 40 hingga 50-an, perempuan mulai memasuki masa menopause.
Menopause seringkali dianggap sebagai momok mengerikan bagi kaum perempuan sebab, ia bengaruh tak hanya pada aktivitas seksual, melainkan pula dalam proses kehamilan yang rentang dengan berbagai faktor resiko.
Kepercayaan akan hal ini mengakar dengan begitu kuat dalam diri masyarakat. Sehingga tanpa sadar para perempuan hanya dilekatkan dengan stigma ‘mesin anak’ yang pada satu waktu tertentu akan memasuki masa ‘kadaluawarsa’ secara biologis.
Laki-laki sebaliknya dalam kacamata masyarakat dianggap tak memiliki jam biologis layaknya wanita. Meski kenyataannya tak berbeda jauh.
Pria pada usia 40 tahun pun rentan mengalami penurunan kemampuan untuk membuahi sel telur. Namun, fakta ini tertutupi oleh serangkaian mitos-mitos yang masih begitu umum dipercaya yang merugikan perempuan.
Tak ayal serangkaian pengetahuan dan fakta keliru ini menciptakan tembok kokoh yang meletakkan kaum perempuan dalam posisi yang dipojokkan. Anggapan yang berlaku bahwa seorang perempuan harus menjalani peran sebagai seorang istri atau ibu untuk dianggap sebagai perempuan seutuhnya, menunjukkan betapa masyarakat sama sekali tak adil dalam bersikap pada kaum lelaki dan perempuan. Sekaligus menjadi bukti bahwa beban sosial kebanyakan hanya diletakkan pada pundak perempuan alih-alih membagi tanggungjawab serupa dengan kaum lelaki.
Buruknya, anggapan negatif ini berkembang populer tak hanya di antara kaum lelaki namun juga sesama perempuan yang tak akan sedikitpun merasa bersalah melancarkan cibiran-cibiran pada perempuan yang tak berkeluarga, memilih tak berkeluarga, tak memiliki anak atau memilih tak memiliki anak.
Masyarakat dengan pikiran yang masih begitu kolot baik sadar maupun tak sadar pada akhirnya hanya memilihkan atau bahkan hanya memaksakan dua peran pada perempuan; menjadi istri dan ibu.
Pilihan di luar hal tersebut dianggap menyalahi kodrat sehingga seringkali prestasi dan pencapaian perempuan diluar kedua ranah tersebut lebih dikecilkan dibandingkan pencapaian yang sama oleh kaum laki-laki. Dan kenyataannya perempuan sampai hari ini masih berjuang melawan stigmatisasi yang jahat dan cenderung merugikan.
Perempuan-perempuan yang memilih berkarir di luar tanpa mengindahkan pernikahan lekat dengan cibiran sebagai perawan tua. Sementara prestasi-prestasi kerjanya lantas terabaikan sebab status pribadinya yang masih sendiri.
Anggapan tak kalah buruknya juga menimpa kaum perempuan yang telah berkeluarga. Ia dianggap bukan sepenuhnya ibu sekaligus istri yang baik bila masih memilih sibuk bekerja diluar rumah demi mematangkan karir.
Dunia yang modern ini pada kenyataannya tak membawa terlalu banyak pengaruh dalam pola pikir masyarakat. Perempuan masih dan terus menjadi pihak yang sering disalahkan sekaligus menjadi korban atas pilihan apapun yang mereka ambil sekenaan dengan peran natural yang dilekatkan masyarakat pada mereka–berkutat hanya pada mengatur rumah tangga belaka.
Posisi perempuan yang dianggap lemah membuatnya seringkali dikecualikan tak peduli apapun latar belakang pendidikan mereka. Dan kenyataan ini hanya melahirkan ironi-ironi yang masih menyesakkan.
Lantas, bisakah kita mengubah hal ini? Dan apa yang bisa kita lakukan demi memutus mata rantai yang masih menghantui kaum perempuan hingga hari ini? Mampukah kita mengubah stigma masyarakat secara luas dan memberi para perempuan ruang lingkup lebih luas untuk menentukan hak sendiri alih-alih dibebani dengan tanggungjawab memenuhi harapan masyarakat?
Mengubah masyarakat secara luas tentu merupakan perkara yang masih sulit. Namun, kita bisa memulainya dari diri sendiri dengan tidak memberi komentar negatif yang jelas akan berpengaruh buruk pada mental perempuan. Memberi dukungan bersifat moril dan apresiasi atas pencapaian-pencapaian perempuan niscaya akan membantu membangun rasa percaya diri sekaligus membangkitkan harga diri dan semangat pada diri para perempuan.