Minggu, Desember 8, 2024

Kekuasaan dan Rayuan Praktik Korupsi

Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi
Hanya seorang manusia biasa yang ingin mati dengan damai.
- Advertisement -

Mungkin sudah seringkali kita mendengar bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya baru. Pasalnya, praktek korupsi tidak lagi di lakukan di kalangan politisi saja, perbuatan picik itu sudah menjalar sampai ke lingkungan akademis dan religius pun ikut-ikutan terbawa arus.

Bahkan hal sialan semacam itu pun mulai masuk kedalam lembaga-lembaga kemahasiswaan yang selama ini jelas menentang dengan keras segala hal yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kalau sudah begitu, apakah kita yang saat ini sebagai generasi pelanjut tongkat estafet akan ikut tergoda oleh rayuan itu?

Praktek korupsi memang selalu menjadi hal yang paling menggiurkan dikarenakan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, seseorang tidak perlu capek dan keluar keringat lebih.

Sepertinya perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini kedepannya menjadi tantangan yang begitu berat bagi mereka-mereka yang negarawan. Mudah-mudahan nanti saya termasuk salah satu dari negarawan itu.

Praktek korupsi tidak sebatas seperti yang dilakukan oleh politikus-politikus, yang terpampang dimedia-media. Perbuatan semacam ini sudah melembaga, dan itu mungkin yang menjadikan beberapa orang menarik kesimpulan bahwa negeri kita punya budaya baru, yaitu budaya korupsi.

Kebiasaan pungli dan suap menyuap saat ditilang, mengurus KTP, memasukan anak kesekolah unggulan/favorit, sampai money politic saat pilkades, pilrek, pilkada dan pilpres, serta upeti untuk atasan agar mendapatkan atau untuk mempertahankan jabatannya. Semua itupun praktek korupsi yang selalu kita sepelekan.

Fenomena korupsi memang takkan pernah habis untuk diperbincangkan di negeri ini. Sejak era kolonialisme, hingga era kemerdekaan dimulai dari rezim kuasa Orla, rezim totaliter orba sampai pada era reformasi yang selalu mengatasnamakan diri sebagai yang paling demokratis, korupsi begitu subur hingga negeri ini mendapatkan predikat sebagai salah satu Negara terkorup didunia.

Bukannya saya ingin pesimis melihat bagaimana perjalanan negeri ini, maka tidak salah jika harus harus mengutuk rezim orba yang telah membuka kran praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga efeknya sampai dengan hari ini bahkan merajalela.

Rezim orba mungkin tidak terlalu separah rezim sekarang. Dulu, praktek busuk itu hanya terjadi dalam lingkaran eksekutif semata, dan sekarang? Mungkin saya tidak perlu menjelaskannya, sebab yang paling kuduspun (Orang-orang beragam) ikut terbawa arus praktek sialan yang bernama korupsi ini.

Dan lebih sialannya lagi, praktek ini dilakukan berkelompok-kelompok. Oh Indonesia ku, kau amat menyedihkan. Mereka yang berkuasa memanfaatkan namamu untuk kepentingan mereka sendiri.

- Advertisement -

Semakin banyak jumlah nol (‘0’), semakin runtuh idealism yang dibangun. Tidak bedah jauh seperti dabu yang sekali tersapu angin, maka hilang dan terbang entah kemana. Begitulah kenyataan yang tengah kita hadapi saat ini, korupsi telah mebuat tatanan moralitas dan stabilitas ekonomi dan politik menjadi pora-poranda.

Mereka yang tertuduh dan terbukti berbuat korupsi seakan tidak memiliki beban atau rasa malu di hadapan public. Bahkan konon, kalau ada pejabat yang tidak bisa mengeruk kekayaan Negara, maka akan dianggap tidak sukses kariernya di pentas politik. Kasus E-KTP dan beberapa barisan perbuatan biadab seperti itu di negeri ini menjadi sebaris bukti nyata.[]

Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi
Hanya seorang manusia biasa yang ingin mati dengan damai.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.