Satu kata yang dapat digambarkan pada situasi saat ini, ‘Miris’! Jumlah kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat selama pandemi Covid-19. Dilansir melalui www.cnnindonesia.com per Oktober 2021 terdapat 4.200 laporan kasus kekerasan seksual. Hal itu diperparah dengan adanya kekhawatiran para korban untuk menyuarakan keadilan di negeri tercinta ini.
Itulah mengapa negara kita sangat membutuhkan regulasi khusus mengenai kekerasan seksual. Menilik dari data yang disajikan oleh Komnas Perempuan, sebanyak 21.605 kasus telah tercatat sepanjang tahun 2016-2019, mirisnya hanya 29% yang diproses kepolisian dan hanya 22% yang diputus oleh pengadilan. Maka timbul pertanyaan mengapa kasus ini tak kunjung usai?
Penulis menganalisis menjadi beberapa macam, seperti kita ketahui bersama, kekerasan seksual mayoritas terjadi tanpa adanya saksi yang melihat langsung. Alhasil, korban kebingungan untuk melaporkan kejadian karena minimnya bukti-bukti yang ada. Mari kita lihat kemirisan lainnya yang dilakukan segelintir orang.
Semakin kesini, semakin banyak masyarakat yang melemparkan suatu pertanyaan, bahkan kepada sang korban, “dilakukan suka sama suka atau tidak”, “memaksa atau tidak”, “mengancam atau tidak”. Lebih mirisnya, mereka seakan-akan menyudutkan sang korban bahwa ‘salah’ dalam hal berpakaian dan berperilaku.
Pemerkosaan atau kekerasan seksual bukanlah sebuah perbuatan pidana saja, namun lebih dari itu. Tindakan kekerasan seksual terjadi bukanlah hanya sekadar pelampiasan nafsu sesaat lelaki bejat, namun kita harus melihat dari perspektif lebih luas, yakni adanya konstruksi sosial yang berlaku di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang kabarnya menghilangkan budaya patriarki nyatanya masih berkembang dalam budaya kita. Konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan seringkali memiliki kedudukan yang kurang menguntungkan di masyarakat, mereka dianggap orang ‘nomor dua’, berada pada posisi sub-ordinat dan inferior, sedangkan laki-laki berada pada posisi superior. Akibatnya terjadi gap atau kekuasaan salah satu pihak yang tercipta.
Sering terjadi juga fenomena dating rape dengan kriteria ajakan pergi jalan-jalan dengan bergandengan tangan, ajakan menonton film dan berkesempatan melakukan rabaan dan ciuman, ajakan pergi ke suatu tempat yang dilanjutkan dengan persetubuhan. Jika terjadi kehamilan, laki-laki yang bersangkutan akan melarikan diri dan tidak bertanggung jawab dengan berbagai macam dalih, salah satunya karena adanya saling suka dan mau antar keduanya.
Kendala yang saat ini dihadapi adalah minimnya tempat untuk para korban menyampaikan segala keluh kesahnya, ketika korban melaporkan kejadian yang diterima, tak jarang mereka juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, seperti dipojokkan dan sebagainya. Sehingga akan menambah panjang runtutan peristiwa kekerasan seksual yang tak kunjung usai.
Hal itu ditambah dengan mindset masyarakat yang masih melegalkan solusi yang tidak solutif, seperti menikahkan antara pelaku dan korban. Padahal solusi tersebut tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimiliki, namun juga menunjukkan bahwa sistem hukum di negeri kita belum baik dan belum memihak pada korban kekerasan seksual. Lantas bagaimana penyelesaian yang seharusnya dilakukan?
Negara harus bertanggungjawab dan mengutamakan pemulihan dan kebutuhan korban. Sejauh ini, kita dihadapkan oleh peristiwa yang menunjukkan sistem peradilan pidana yang belum efektif dalam penanganannya.
Alhasil, lebih dari 80% para korban tidak pernah terlibat dalam sistem peradilan pidana, bahkan mereka pun enggan untuk melakukan pelaporan karena sulitnya birokrasi dan keputusan yang selalu tidak memihak pada korban. Mereka lebih memilih bungkam karena itu merupakan sebuah aib, namun tanpa sadar ia telah ‘menabung’ suatu permasalahan besar yang akan berdampak pada psikisnya. Contoh konkret yang akan ‘menghantui’ adalah trauma, depresi dan adanya niat untuk menyakiti bahkan bunuh diri.
Segala bentuk kejahatan tentu sangat merugikan sang korban, terlebih kita tidah mengetahui bagaimana kondisi psikis seseorang dalam menyikapi suatu persoalan. Jika seorang korban telah depresi bahkan hingga meregang nyawa, lantas siapakah yang wajib bertanggung jawab? Pelaku kekerasan lah yang harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Perlu kita pahami, mereka yang bunuh diri karena frustasi atau depresi disebabkan kekerasan seksual levelnya jauh lebih tinggi daripada bunuh diri pada masyarakat umum. Korban kekerasan seksual sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus dari negara bahkan restitusi dari pelaku yang bersangkutan. Lantas bagaimana jika korban meninggal akibat frustasi atau depresi?
Jika kita berbicara win-win solution sudah seharusnya negara memberlakukan kompensasi. Karena jika kita menelisik jauh lebih dalam, ternyata negara belum berhasil atau dapat dikatakan ‘gagal’ dalam melindungi warganya. Selama ini sebuah permasalahan kekerasan seksual dan upaya pemulihan korban kekerasan seksual hanya dipahami secara parsial dan diasumsikan dapat segera terselesaikan dengan sendirinya.
Selain menyelesaikan, penting bagi negara untuk melakukan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus lebih dahsyat, hal itupun dilakukan agar tidak terjadi proses dehumanisasi yang semakin parah. Selanjutnya, menumbuhkan kepekaan elite politik dan aparat penegak hukum, karena dewasa ini harus diakui tanpa adanya dukungan dan kepedulian dari elite politik dan para pejabat, niscaya sulit dilakukan suatu program aksi yang diperuntukkan para korban kekerasan seksual yang telah lama menyuarakan keadilan.