Rabu, April 24, 2024

Kekerasan, Dorongan Glorifikasi, dan Perangkap Globalisasi

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

Aksi radikalisme, kekerasan dan teror yang terkait dengan simbol-simbol agama memunculkan dugaan adanya hubungannya dengan pemahaman keagamaan. Meskipun banyak pakar menyebut, aspek pemahaman keagamaan ini bukan merupakan penyebab tungggal.

Tak bisa dipungkiri bahwa ketidakadilan sosial, sentimen kelas ikut memberi andil lahirnya pemahaman dan gerakan keagamaan yang serba mengklaim kebenaran diri dan memaksakannya kepada orang lain bahkan dalam bentuk kekerasan.

Fakta-fakta yang berikut ini membuktikan bahwa kekerasan walaupun secara langsung tidak bermotif agama namun dapat berkait dengan pemahaman agama. Akhir era Orde Baru, kekerasan bernuansa agama mulai marak terjadi. Kerusuhan Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, Banjarmasin, dan banyak lagi peristiwa kekerasan bernuansa agama yang terjadi sepanjang tahun 1990-an.

Era reformasi ditandai dengan peristiwa yang sangat kekerasan agama paling memilukan yakni Kerusuhan Ambon, mulai tahun 1999, Isu ninja dan santet di Banyuwangi, aksi-aksi kekerasan berlatar agama dan menjadi satu episode sejarah paling kelam di negeri ini.

Aksi-aksi kekerasan ini berlanjut dengan berbagai aksi pengeboman terhadap tempat ibadah dan fasilitas publik, seperti Bom malam Natal 2001 terhadap beberapa gereja, Hotel JW Marriot, Kedubes Filipina, Bom Bali 2002, Kedubes Australia, hingga serangan terhadap kelompok agama tertentu.

Beberapa peristiwa ini berlangsung terus menerus dalam rentang 2000-2017. Fakta kemudian terungkap pihak kepolisian, bahwa pelaku aksi-aksi pengeboman ini adalah jaringan teroris yang terkait dengan faham keberagamaan yang bersifat transnasional

Kelompok sejenis dengan menggunakan nama lainnya, juga muncul bersamaan dengan berbagai konflik di Timur Tengah, misalnya Suriah. Mereka sering disebut sebagai kelompok takfiri, yang terbiasa menyebut kelompok lain yang berbeda sebagai ‘sesat’, ‘kafir’ dan ‘anthek zionis’, ‘PKI’ dengan gampang pula mereka melakukan aksi kekerasan, terhadap kelompok yang di katakan sebagai sesat dan kafir itu.

Kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama ternyata tidak berakhir disitu. Sepanjang Era Refromasi berbagai tindak kekerasan yang dilatarbelakangi motif agama tidak juga reda.

Seperti penyerangan terhadap aset-aset dan masjid kelompok tertentu, yang paling aktual adalah penyerangan fisik terhadap pendeta dan jemaat gereja, yang disusul juga serangan kepada beberapa tokoh agama tertentu.

Peristiwa semacam ini menarik untuk dikaji karena, berali-kali peristiwa serupa terjadi. Dan selalu saja simbol dan ‘motif-motif’ agama selalu digunakan sebagai alasan. Bahkan beberapa aksi kekerasan bernuansa agama ini menelan korban jiwa yang relatif besar.

Bertemunya impuls glorifikasi dan ekses globalisasi

Individu-individu dalam beragama menemukan kenyataan agama sebagai realitas sosial memiliki berbagai dimensi yang menyusunnya. Agama tidak hanya berisi dimensi yang normatif – doktrinal semata, berupa ajaran dan teks-teks suci, namun didalamnya terdapat dimensi pemeluk dengan segenap aspek kehidupan yang melingkupinya, misalnya aspek psikologis, biologis dan lainnya.

Selain itu terdapat wacana tafsir ajaran agama yang sedang dominan, disertai institusi keagamaan, simbol kesucian serta bangunan ideologi yang dibangun dan disucikan oleh pemeluknya. Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap simbol agama, terlihat bahwa ada kaitan pemahaman, ideologi dan tafsir dalam bingkai kepentingan pemeluk agama, dengan tindak kekerasan saling berkelindan satu sama lain.

Perilaku kekerasan seringkali muncul akibat dorongan psikis dan pada umumnya seringkali berpusat pada dalam kedalaman diri pribadi manusia. Psikolog Kritis Erich Fromm mengungkap kekuatan yang memotivasi manusia untuk bertindak berasal dari eksistensi manusia itu sendiri.

Pemahaman manusia terhadap agama adalah salah satunya. Dalam diri manusia terdapat syaraf otak seseorang memang ada area yang bisa menghasilkan impuls-impuls yang mendorong orang berbuat kekerasan. Jadi memang dorongan untuk melakukan kekerasan memang telah menjadi satu dalam diri manusia sebagaimana layaknya dorongan seksual dalam diri manusia.

Pemahaman dan tafsir keagamaan tertentu memperkuat dan memupuk impuls utuk melakukan kekerasan, bila didalam diri individu telah memiliki kecenderungan untuk melakukan glorifikasi, dehumanisasi dan demonisasi.

Glorifikasi secara  harfiah, berarti menganggap suci diri sendiri.  Bentuknya bisa beragam, dan yang sering kali muncul adalah kecenderungan menganggap benar ajaran sendiri, sembari memberi legitimasi dengan ayat-ayat suci agamanya.

Kecenderungan menganggap suci diri sendiri dengan melegitimasi dengan ajaran atau keyakinan yang dianutnya sendiri, kemudian melahirkan dehumanisasi dan demonisasi. dehumanisasi berarti adalah kecenderungan untuk bersikap dan menganggap orang lain sebagai ­bukan manusia, atau yang selain manusia.

Mereka yang tidak sama dengan pandangan yang sucikan tadi lantas di posisikan dalam tingkat kemakhlukan yang lebih rendah dari manusia. Oleh karena itu di anggap wajar bila kemudian mereka harus di ‘waraskan, dimanusiakan’, baik dari segi prilaku, maupun pemikiran, maupun pemahaman keagamaanya.

Dalam konteks inilah rupanya sebagian orang yang menganggap pandangan dirinya suci, seringkali melakukan pemaksaan agar orang lain seperti dirinya. Sedang demonisasi, sering berarti pen-setanan, melihat orang lain sebagai setan. Demonisasi ini berujung pada sikap ingin menghabisi apa yang di sebutnya sebagai ‘setan’. Upaya menghabisi ‘setan’ dengan kekerasan ini sering dilegitimasi dengan beberapa pernyataan dalam sebuah kitab suci

Tiga impuls dasar inilah yang mendorong individu melihat orang lain, sebagai liyan yang harus di takhukkan sesuai dengan “apa yang diyakinnya”.  Jika perlu dengan pemaksaaan tertentu. Kecenderungan untuk melakukan agresi, tak dapat dielakkan lagi. Kecenderungan agresi berpotensi sangat merusak kehidupan sosial kita. Apalagi jika norma sosial, seperti tepa slira, toleran dan menghormati sesama telah luntur dan tak berbekas akibat tergerus modernisasi nilai.

Sementara perkembangan situasi kontemporer telah mendorong lahirnya komunitas sosial yang makin beragam. Dinegeri ini, saat ini depat dengan mudah menemukan manusia dengan berbagai ideologi, pandangan hidup dan agama berada dalam ruang sosial yang sama.

Bahaya muncul ketika ruang publik didominasi oleh kelompok manusia yang mulai melakukan penguasaan dan hegemoni terhadap yang lain dengan mengatasnamakan keyakinannya sendiri. Kelompok dominan ini selalu berupaya dalam ruang imajinasi publik, baik melalui media massa, media digital bahkan melalui media sosial. Fakta ini kemudian memancing resistensi kelopok sosial atau komunitas kebudayaan yang terpinggir akibat proses dominasi tersebut.

Impuls diri dalam bentuk kecenderungan glorifikasi, demonisasi dan dehumanisasi dan ekses globalisasi yang ditandai lahirnya kehidupan yang makin beragam pada akhirnya melahirkan kekerasan bernuansa agama. Bentuknya salah satunya adalah kekerasan terhadap simbol agama, baik tokoh, tempat ibadah maupun simbol-simbol lainnya.

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.