Dalam era demokrasi yang semakin berkembang, kita justru dihadapkan pada fenomena yang mengundang keprihatinan mendalam: munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan masyarakat sipil namun menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mengekang kebebasan dan memaksakan kehendak. Ironisnya, negara sebagai penjaga hukum dan ketertiban seringkali memilih sikap pasif atau bahkan turut memberi ruang bagi praktik semacam ini.
Premanisme: Evolusi Bentuk dan Wajahnya
Premanisme bukan lagi sekadar stereotip tentang sosok tubuh kekar yang berpatroli di pinggir jalan atau mengancam warga secara terang-terangan. Bentuknya kini jauh lebih kompleks dan tersamar. Kelompok-kelompok ini bisa saja tergabung dalam organisasi kemasyarakatan resmi, forum solidaritas, ataupun komunitas berbasis agama atau identitas tertentu. Mereka mengklaim diri sebagai pelindung moral dan penjaga ketertiban, namun kenyataannya mereka sering menggunakan kekerasan verbal dan fisik, intimidasi, serta tekanan sosial.
Kondisi ini menunjukkan bahwa premanisme telah bertransformasi menjadi alat kekuasaan informal yang merusak tatanan demokrasi. Mereka mengintervensi ruang publik, menekan kebebasan berpendapat, bahkan memaksakan agenda tertentu tanpa mengindahkan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.
Kekerasan yang Terbungkus Legitimasi Sosial dan Politik
Sering kita saksikan tindakan-tindakan sweeping, pengusiran paksa, atau intimidasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu atas nama menjaga moral atau ketertiban. Parahnya, banyak dari aksi tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan sering kali dilakukan secara sepihak tanpa prosedur yang benar.
Fakta yang tidak bisa diabaikan adalah sikap negara yang cenderung diam, bahkan kadang memberikan dukungan secara implisit kepada kelompok-kelompok tersebut. Hal ini menciptakan dilema besar: antara menegakkan hukum secara konsisten dan menjaga stabilitas politik sosial yang rapuh. Apakah pembiaran ini merupakan bentuk kompromi demi stabilitas semu? Ataukah sebuah kelalaian yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita?
Masyarakat Sipil: Harapan atau Ilusi?
Secara konseptual, masyarakat sipil (civil society) adalah kekuatan independen di luar institusi negara yang berfungsi sebagai pengawas, penyeimbang, dan pendorong kemajuan sosial. Ciri utama masyarakat sipil adalah menjunjung tinggi dialog, rasionalitas, dan penghormatan terhadap hukum. Mereka menjadi mitra kritis dalam pembangunan demokrasi yang sehat.
Namun, ketika kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai masyarakat sipil justru menggunakan kekerasan dan intimidasi sebagai metode perjuangan, mereka telah menyimpang dari makna asli masyarakat sipil. Alih-alih menjadi penyeimbang kekuasaan, mereka berubah menjadi alat kekuasaan informal yang justru merusak sendi-sendi demokrasi.
Dampak Negatif bagi Demokrasi dan Masyarakat
Kehadiran premanisme berkedok sipil membawa dampak serius bagi kualitas demokrasi dan harmoni sosial. Pertama, kebebasan berpendapat dan berorganisasi menjadi terancam. Ketakutan terhadap intimidasi mengurangi partisipasi masyarakat dalam ruang publik dan diskursus politik.
Kedua, munculnya ketegangan horizontal di masyarakat yang memecah belah antar kelompok sosial, agama, dan etnis. Hal ini mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dibangun dengan susah payah.
Ketiga, ketidakadilan hukum yang terjadi ketika aparat negara memilih untuk mengabaikan atau memihak kelompok-kelompok tertentu, memperkuat rasa ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Solusi dan Harapan untuk Penegakan Demokrasi Sejati
Menanggapi fenomena ini, negara harus mengambil sikap tegas dan konsisten dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Penindakan terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan masyarakat sipil harus dilakukan secara transparan dan adil, tanpa takut pada tekanan politik maupun sosial.
Selain itu, dibutuhkan upaya membangun kembali kesadaran kolektif tentang arti sesungguhnya dari masyarakat sipil: sebagai kekuatan yang berdiri di atas nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
Pendidikan demokrasi dan penguatan kapasitas kelembagaan sipil juga harus digalakkan agar masyarakat dapat mengawal proses demokrasi secara sehat dan konstruktif. Masyarakat harus didorong untuk aktif dalam dialog dan advokasi yang berbasis pada rasionalitas dan etika.
Kesimpulan
Premanisme, meskipun dibalut dengan narasi moral dan solidaritas, pada hakikatnya adalah bentuk kekerasan yang merusak tatanan demokrasi. Kelompok-kelompok yang menggunakan intimidasi dan kekerasan bukan bagian dari masyarakat sipil, melainkan ancaman bagi kebebasan dan keadilan sosial.
Jika Indonesia ingin maju sebagai negara demokratis yang adil dan beradab, maka seluruh elemen bangsa harus berani menolak segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan rakyat. Ruang publik harus menjadi arena dialog yang bebas, aman, dan inklusif bagi seluruh warga tanpa kecuali.