Seringkali kita enggan untuk beragama atau berfilsafat. Betapa tidak, dalam anggapan umum, agama dan filsafat tak mampu menjawab semua kegalauan manusia. Dan sebagai solusi, disuguhkan lah sains dan teknologi.
Tulisan sederhana ini mencoba menjelaskan kegalauan manusia, serta peran filsafat dan agama dalam menepis kegalauan tersebut.
Manusia dikatakan manusia, karena ia berpikir. Tanpa berpikir, manusia hanyalah binatang, tumbuhan atau bebendaan semata. Maulana Jalaluddin Rumi, dalam sajaknya berkata;
Ei barodar, tu hamon andishe-i
Ma baqiy, tu estekhonu rishe-i
Duhai saudara, engkau adalah pikiranmu
Selebihnya, hanya tulang dan syarafmu.
Kisaran lima abad sepeninggal Rumi, Rene Descartes mendeklarasikan eksistensinya dengan aktifitas berpikir. Katanya, aku berpikir maka aku ada. Descartes tidak mempersoalkan mana yang lebih dahulu ada, dirinya atau pikirannya.
Descartes hanya ingin menegaskan, bahwa eksistensinya sebagai manusia, dimulai dengan berpikir.
Yakni, sebelum berpikir, ia telah ada, tapi bukan sebagai manusia. Yah, sebelum berpikir, kita ada sebagai hewan, tumbuhan, dan bebendaan, tapi kita tidak ada sebagai manusia. Dengan berpikir, Descartes dan setiap kita, memanusia.
Dalam filsafat harmonisasi, berpikir merupakan keniscayaan bagi hewan yang berakal. Setiap manusia, niscaya berpikir, namun tidak semua manusia memikirkan hal yang sama.
Benar, manusia telah memanusia dengan berpikir, namun belum menjelma manusia seutuhnya. Sebab manusia, juga bergradasi. Nilai manusia dilihat dari apa yang menyibukkan kepalanya dan apa yang bertahta dalam hatinya. Kembali, Rumi melanjutkan;
Gar gulast andishe-ye tu, gulshani
War buwwad khori-tu, hime-ye gulkhani
Jika pikiranmu adalah bunga, engkau adalah taman bunga
Dan jika duri, maka engkau adalah racun taman.
Manusia hanya memikirkan sesuatu yang dianggapnya sebagai masalah. Masalah yang tak dianggap sebagai masalah, tak akan dipikirkan. Jauh dari Tuhan itu masalah, misalnya, namun tak dipikirkan, tidak pula digalaukan oleh mereka yang menolak bertuhan.
Walhasil, masalah yang tak kunjung selesai, melahirkan keresahan (kegalauan). Jadi, galau adalah cerita tentang belum terpecahkannya masalah yang dipikirkan. Galau adalah cerita tentang adanya sesuatu yang belum dimiliki, dan ingin dimiliki. Karena itu, galau merupakan kekhususan wujud terbatas yang menyadari keterbatasannya, serta memiliki ikhtiar.
Dengan ini, ada tiga wujud yang tak pernah galau; Wujud Nirbatas yang maha memiliki; wujud terbatas yang tak menyadari kerbatasannya, semisal batu dan pohon; dan wujud terbatas yang yang menyadari keterbatasannya, namun tak berikhtiar, misalnya malaikat. Sederhanya, galau adalah karakteristik wujud yang berpikir, yaitu manusia.
Dari sini, benar jika dikatakan nilai manusia dilihat dari apa yang digalaukannya. Sebab itulah yang dipikirkannya. Kegalauan manusia dapat diringkas dalam dua kategori; kegalauan aksidental dan kegalauan substansial.
Kegalauan aksidental adalah kegalauan yang berkaitan dengan hal-hal materi. Kita galau jika tak punya harta, tahta dan pasangan, kita galau jika kita tak mampu mengontrol dan menguasai dunia, kita galau dengan kesulitan-kesulitan hidup.
Kegalauan semacam ini bisa ditepis dengan sains dan teknologi. Betapa tidak, dengan teknologi, dunia akan berada dalam genggaman, kehidupan pun akan semakin mudah (untuk tidak mengatakannya semakin sulit).
Adapun kegalauan substansial, memiliki dua jenis; kegalauan esensial dan kegalauan eksistensial. Kegalauan esensial adalah kegalauan epistemik, kegalauan pengetahuan rasional. Kita galau jika kita belum berhasil menyingkap hakikat realitas secara objektif dan rasional. Boleh jadi kita memiliki pengetahuan yang objektif ihwal hakikat realitas, namun itu belum mampu menepis kegalauan, selama pengetahuan tersebut tak dibuktikan secara rasional.
Kegalauan substansial yang kedua adalah kegalauan eksistensial, yaitu kegalauan penghambaan. Kita menggalaukan wujud diri yang masih terlampau jauh dari Wujud Nirbatas, sedang bekal begitu tipis, dan usia perlahan habis.
Zainal Abidin, cucu Rasulillah, berkata dalam munajatnya; bagaimana aku tak menangis, kulihat dunia memperdayaiku, sedang kematian telah mengepak-ngepakkan sayapnya di atas kepalaku. Tuhanku, jauhkan aku dari habisnya usia, sebelum siap sedia.
Ala kulli hal, kegalauan substansial adalah kegalauan perfeksional; kita ingin menyempurna dengan mengenal dan mendekat pada sesempurnanya wujud, Tuhan Sang Pemilik Keberadaan. Kita tidak galau jika kita tak mampu menguasai dan mengontrol dunia dan seisinya. Tapi kita galau, jika eksploitasi mencemari dunia, jika kita tak mampu mencipta tatanan hidup insani di dunia, padahal kita mengaku manusia.
Dan, inilah kegalauan yang tak kunjung usai, kegalauan yang tak bisa dijawab oleh sains dan teknologi. Kegalauan yang hanya bisa dikurangi dengan agama sebagai petunjuk penghambaan, dan filsafat sebagai ilmu yang menekankan rasionalitas.