Setiap negara di dunia pasti dalam suatu waktu akan menghadapi suatu keadaan darurat (state of emergency). Indonesia selama ini sudah menghadapi beberapa keadaan darurat, baik dalam hal perang, ekonomi, atau kesehatan masyarakat.
Konstitusi Indonesia sendiri mengatur terkait penanganan kedaruratan melalui Pasal 11ayat (1), Pasal 12, dan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Pasal 11 ayat (1) UUD NRI 1945 lebih menekankan kepada penanganan keadaan darurat dalam hal peperangan antara Indonesia dengan negara lainnya. Pasal 12 UUD NRI 1945 lebih menekankan kepada penangan keadaan darurat yang umum dan bisa terkait dengan keadaan darurat dalam hal perang, ekonomi, atau kesehatan masyarakat (public health).
Kedua pasal tersebut akan mengakibatkan hukum dalam keadaan normal tidak berfungsi dan digantikan dengan hukum darurat. Sedangkan, Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 lebih menakankan kepada penanganan keadaan darurat yang umum, namun tidak menjadikan hukum darurat berfungsi dan menggantikan hukum dalam keadaan normal tidak berfungsi. Apabila keadaan darurat sudah dinyatakan, hukum normal sudah tidak berfungsi, dan berlakunya hukum darurat, maka akan ada kekuasaan yang memegang peran sebagai “diktator” selama keadaan darurat berjalan.
Dari seluruh pasal yang diatur dalam konstitusi tersebut, pada awal frasa atau ayat pertama selalu menunjukan bahwa kekuasaan eksekutif, dalam hal ini Presiden lah yang melakukan penanganan terhadap keadaan darurat.
Namun, pada frasa atau ayat selanjutnya selalu diikut sertakan kekuasaan legislatif untuk melakukan penanganan terhadap keadaan darurat yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Dilanjutkan pada Pasal 22 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Hal ini menjadikan kekuasaan legislatif juga mengambil peran sebagai “diktator” dalam hal keadaan darurat.
Tidak hanya kekuasaan eksekutif dan legislatif, kekuasaan yudisial juga memiliki perannya sendiri dalam hal terjadinya keadaan darurat di Indonesia. Melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan terdapat beberapa syarat untuk mengatakan bahwa sudah terjadi hal ihwal kegentingan yang memaksa, yaitu: a) Adanya keadaan yang merupakan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang, namun tidak memadai; dan c) Kekosongan hukum tersebut hanya dapat diatasi dengan prosedur luar biasa dikarenakan waktu yang sedikit dan keadaan yang mendesak, serta diperlukannya kepastian untuk diselesaikan. Sehingga, apakah seluruh kekuasaan yang ada di Indonesia memiliki perannya sendiri-sendiri sebagai “diktator” dalam keadaan darurat yang terjadi?
Salah satu kedaruratan yang terjadi pada Indonesia adalah saat terjadinya Pandemi Covid-19. Indonesia saat itu belum ada undang-undang (formell gesetz) yang memadai untuk melakukan penanganan terhadap kedaruratan yang terjadi.
Namun, ada satu asas yang menjadi acuan dalam melakukan penanganan kedaruratan yang terjadi saat Pandemi Covid-19, yaitu Salus Populi Suprema Lex Esto yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sehingga, dalam hal kedaruratan ekonomi yang disebabkan Pandemi Covid-19, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif lebih memilih untuk menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Dengan dilakukannya langkah tersebut, terlihat bahwa Indonesia tidak ingin memberlakukan hukum darurat dalam hal penanganan kedaruratan ekonomi yang terjadi saat itu. Model yang dilakukan Indonesia pada saat itu lebih condong kepada legislative model, yaitu melakukan penanganan kedaruratan dengan menggunakan perangkat hukum pada tingkat undang-undang (formell gesetz).
Kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif memiliki perannya sendiri dalam hal penanganan kedaruratan ekonomi yang terjadi pada tahun 2020 akibat Pandemi Covid-19. Hal ini dapat dilihat dari penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan oleh kekuasaan eksekutif (Presiden) yang kemudian ditetapkan oleh kekuasaan legislatif (DPR) menjadi UU No. 1 Tahun 2020 dan kemudian diubah menjadi UU No. 7 Tahun 2021 yang bertujuan mengharmonisasikan atau menyelaraskan regulasi terkait perekonomian ataupun fiskal di suatu negara dengan kondisi kedaruratan yang terjadi saat itu.
Dari semua penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kekuasaan eksekutif tidak seharusnya mengambil peran “diktator” sendiri dalam hal terjadi keadaan darurat di Indonesia. Legislative model merupakan model yang paling tepat untuk diterapkan dalam hal kedaruratan ekonomi di Indonesia karena tidak akan terjadi suatu penguasaan yang lebih pada hanya satu kekuasaan saja.
Referensi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 138/PUU-VII/2009. Saor Siagian, dkk. (Pemohon) (2009).
Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni. “Model Pengaturan Kedaruratan dan Pilihan Kedaruratan Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19.” Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 50, No. 2 (2020).