Sabtu, November 9, 2024

Kecamuk di Ghouta Timur: Antara Humanisme dan Strategi Perang

- Advertisement -

Situasi memanas di Afrin, Suriah Utara, belum usai. Kini, Ghouta Timur kembali menjadi arena pertarungan kubu pemerintah dan oposisi. Jika sebelumnya, kontestasi di Afrin melibatkan aktor lebih banyak, di Ghouta Timur praksis hanya melibatkan elemen regional yaitu front Hay’ah Tahrir Syam, Jaish al-Islam, Faylaq Rahman dan tentunya  rezim Suriah sendiri.

Untuk sekian kalinya, niat baik Dewan Keamanan PBB yang menyepakati adanya resolusi genjatan senjata selama 30 hari akhirnya gagal total. Seharusnya, saat ini Ghouta Timur berada pada “zona aman” tanpa konfrontasi, sebagai langkah konkrit PBB untuk penyaluran bantuan kepada warga sipil ke basis-basis pemberontak.

Tetapi ironisnya, setelah beberapa jam resolusi itu keluar, justru rezim merespon dengan serangan darat dan udara. Jelas tindakan Bashar al-Assad adalah sebuah pelanggaran, dan harus dituntut atas kejahatan perang. Kini, wilayah itu dihujani serangan bertubi-tubi, kota Homouriya, Zemlka dan Ein Tirma men menjadi bulan-bulanan serangan udara menjatuhkan bom eksplosif barrel dan cluster yang menewaskan 1.031 diantaranya 229 anak-anak dalam 22 hari (Qasioun News).

Menurut saya, pelanggaran resolusi genjatan senjata justru representasi dari ketidakmampuan PBB menyelesaikan permasalahan atau paling tidak mengambil langkah preventif. Padahal bila dipikir-pikir, namanya Dewan Keamanan PBB beranggotakan negara-negara adikuasa, pemegang hak veto kenapa tidak menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh rezim  misalnya. Tapi entah, yang pasti yang ditunggu dari PBB adalah langkah konkrit bukan hanya penyalur bantuan kemanusiaan, sementara krisis kemanusiaan tak dapat dihentikan.

Demi keluar sebagai “pemenang” rezim al-Assad rela mengorbankan warganya sendiri. Sudah ratusan ribu warga menjadi korban dari keganasan konflik, setengah penduduk negeri mengungsi menjadi pesakitan di negeri sebelah, tanpa jaminan dan tanpa masa depan. Anaka-anak yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan dan pendidikan mengubur harapan bersama kisah-kisah memilukan.

Seperti yang diungkapkan Ali anak yang berusia 10 tahun yang harus bekerja keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sudah lelah dunia menunggu hasil perundingan Astana, jalan alternatif rekonsiliasi konflik Suriah, dari awal perundingan hingga terakhir dirasa tidak ada perkembangan.

Konfrontasi yang berjalan yang menginjak minggu ketiga, menunjukkan trend positif dari pihak militer, berhasil merangsek masuk menembus pertahanan oposisi dan membebaskan beberapa desa. Untuk sekian kalinya, rezim Bashar al-Assad boleh memanggakan diri pasalnya setelah jatuhnya Islamic State satu persatu wilayah strategis Suriah kembali ke tangan pemerintah. Maka, menurut saya, pelanggaran Bashar al-Assad terhadap resolusi genjatan senjata Dewan Keamanan PBB adalah tindakan antisipatis pemerntah sendiri agar kekuatan militan semakin lemah.

Walaupun, pertarungan dipastikan akan berlangsung sengit, sebab menurut sumber informasi internal Suriah mengungkapkan pemberontak sudah mempersiapkan diri meningkatkan kemampuan persenjataan, berupaya melindungi wilayah dari invasi pemerintah Suriah yang didukung Iran dan Rusia. Tapi pemerintah saat ini berada di atas angin, kalkulasi kekuatan dominan akan dimenangkan oleh militer gabungan pemerintah.

Jika memang begitu, kedepannya bisa dipastikan militer Suriah akan mengambil alih Ghouta Timur sebab faksi-faksi Suriah tiadak menyatu, berjalan dalam jalur ideologi masing-masing, ada nasionalis hingga kelompok jihadis. Bahkan sempat terjadi pertarungan sengit antar faksi misalnya antara Front Jabhah Nusra dan Jaish al-Islam dan Nur al-Din Zengki. Kemungkinan yang terjadi adalah kelompok-kelompok kecil akan bersedia bernegosiasi dengan pemerintah dan siap dievakuasi sekaligus melancarkan langkah pemeritah mengambil alih Ghouta Timur secara penuh.

Kenapa saya bisa pastikan jika Ghouta Timur akan jatuh ke tangan pemerintah? Saya berkaca dari kekuatan dan konstelasi pihak oposisi sendiri. tahun sebelumnya tepatnya, 2014-2017 beberapa kali pemerintah dibuat kualahan, sebab Islamic State menjadi pemain inti disamping konsolidasi dan faksi-faksi gabungan tecipta. Setelah Islamic State tersungkur, Aleppo hampir dikuasai pemerintah maka benteng terakhir kekuatan oposisi (radikal) saat ini terletak di Ghouta Timur.

- Advertisement -

Perang adalah Strategi

Langkah Bashar al-Assad memang tidak bisa dibenarkan, namun dalam urusan strategi pun tak bisa disalahkan. Walapun seluruh dunia menganggap Bashar al-Assad adalah penjahat perang, tapi satu sisi sebagai kepala negara berhak melindungi setiap jengkal negaranya sendiri. Bukan berarti saya membela tindakan Bashar al-Assad dalam hal ini, tapi saya mengutarakan dari sudut pandang berbeda.

Karena menurut saya, kita tidak bisa menghakimi mana yang benar dan salah dalam perang dan tiadak bisa menjastifikasi. Sama halnya seperti Arab Saudi yang menggempur Yaman, sudah jelas-jelas korbannya puluhan ribu tidak ada yang berani menghukum karena menurut Arab Saudi Houthi adalah musuh yang harus dibrangus.

Perang adalah strategi, pihak pemenang menjadi penentu siapa penjahat dan pahlawan. Intinya bagaimana strategi itu dijalankan, apakah dengan cara halus atau brutal. Perang ibarat bidak catur, apabila tidak mengatur strategi maka bersiaplah hancur atau dilabeli teroris, oposan dan penjahat.

Saya mengamati, strategi militer pemerintah dalam kasus Ghouta Timur ditempuh melalui beberapa tahap, pertama dengan propaganda. Beberapa terakhir tersiar kabar, jika faksi kuat Jaish al-Islam, Ahrar Syam dan Faylaq Rahman bernegosiasi dengan Rusia, bersedia dievakuasi ke wilayah Homs setelah ditelusuri sumber berita tersebut berasal dari berita lokal yang berafiliasi dengan pemerintah.

Strategi kedua, melalui serangan sporadis jalur darat dan udara menggunakan senjata menengah dan berat. Taktik ini paling merugikan, sebab targetnya tanpa arah, infrastruktur hancur total dan akibat terparah dari korban sipil. Ketiga dengan pengepungan dan embargo, menghalangi semua organisasi bantuan baik pemerintah dan Non-Governmental Organization (NGOs) sehingga oposisi dipaksa untuk menyerahkan diri atau bernegosiasi.

Pada akhirnya, saya serahkan pada pembaca, jika melihat “konflik Suriah” dari sisi humanisme/kemanusiaan jelas konflik Suriah menggugah hati nurani kita, menyadarkan kita bahwa perdamaian memiliki harga mahal. Jika anda melihatnya dari sisi politik, maka konflik adalah sebuah percaturan dan persaingan.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.