Jumat, April 26, 2024

Kebudayaan Nusantara Kita

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.

Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai dengan Timor. Indonesia ibarat bangunan besar yang menopang ruang-ruang suku bangsa, mulai dari Melayu, Jawa, Bugis, Minahasa, Sunda dan lainnya.

Bangunan yang dikenal sebagai Nusantara ini telah hadir sejak lama, yaitu ketika pertemuan antar suku bangsa terjalin oleh kebudayaan maritim.

Pertemuan-pertemuan antar suku bangsa menampilkan rona kebudayaan Nusantara yang majemuk dan dinamik. Sejarah menunjukkan bagaimana interaksi antar kebudayaan di Nusantara terjadi melalui pertukaran pengetahuan, komoditi dan nilai melalui media perdagangan laut.

Pertukaran antar budaya bangsa-bangsa Nusantara tersebut juga melibatkan bangsa maritim besar lainnya, seperti Arab, Persia, India, Cina dan Eropa.

Sejarah juga telah menunjukkan bagaimana peradabaan Nusantara dirajut oleh kerajaan-kerajaan kuno besar, yang menggunakan maritim sebagai media politik dan kebudayaan, seperti halnya Sriwijaya dan Majapahit.

Dengan maritim sebagai media kebudayaan, maka watak Nusantara mestinya terbuka dan dinamis dalam interaksinya dengan yang global. Dinamis dalam arti membangun konstruksi kebudayaan yang mampu menghadapi perubahan dan tetap berakar pada primodial. Sehingga, makna mainstream tentang kebudayaan kita yang umum dan statis nampaknya perlu dikaji ulang.

Kemunduran Kebudayaan

Pramoedya Ananta Toer, dalam karya novelnya berjudul arus balik telah mengungkap rahasia kemunduran kebudayaan nusantara. Arus balik mengupas tentang makna sejarah bergesernya watak kebudayaan maritim nusantara sejak keruntuhan majapahit.

Keruntuhan Majapahit itu seiring dengan bangkitnya Mataram sebagai entitas kebudayaan baru, yaitu kebudayaan pedalaman. Mataram perlahan namun pasti meruntuhkan pilar maritim dengan membatasi ruang gerak kota-kota dagang pesisir dan memindahkan pusat ke pedalaman.

Watak kebudayaan pedalaman telah membuka peluang bagi imperium maritim baru Eropa di Nusantara yang mengubah Nusantara tiga abad setelahnya.

Pada dasarnya, kebudayaan pedalaman menuntut kesatuan total, feodal, dan statis. Kebudayaan pedalaman menuntut ketunggalan tafsir, termasuk atas teks. Kebudayaan ini mempersembahkan semua segi kehidupan untuk yang tunggal itu.

Dengan kata lain, persembahan untuk yang tunggal adalah nafas otoriter dengan menafikan keberagamaan, dan memaksa yang lain menjadi kusta yang pantas dimusnahkan.

Filsafat berbudaya seperti ini bukan hanya semata-mata milik peradaban kuno (Nusantara), namun juga hadir dalam era modern. Filsafat ketunggalan budaya sebagai watak kebudayaan pedalaman dilegitimasi oleh modernisme dalam formasinya yang baru.

Modernisme adalah filsafat linear tentang keterbelakangan dan kemajuan kebudayaan. Modernisme membuat batas antara yang modern dan beradab dengan yang purba.

Modernisme menyajikan mitos-mitos tentang keterlambatan evolusi sosial, barbar dan kepantasan membimbing yang kuno oleh modernis. Modernisme dalam makna ekstrimnya lahir dalam bentuk legitimasinya atas keabsahan kolonialisme dan totalitarianisme.

Lihat saja, bagaimana rezim orde baru telah memaknai Pancasila dalam format totalitarian yang menyingkirkan demokrasi dan mempersempit makna keberagaman dengan separatisme. Kebudayaan Indonesia oleh orde baru adalah pemaknaan yang tunggal dan statis.

Visi Pancasila

Tepatlah mantra luhur Bhineka Tunggal Ika dalam genggaman Garuda itu. Bhineka Tunggal Ika adalah inti sari dari makna kebudayaan kita yang historis, sekaligus visi Indonesia.

Makna ketunggalan kebudayaan orde baru yang menggunakan Pancasila secara sempit jelas ahistoris. Pancasila sejatinya adalah visi yang bertumpu secara historis untuk menjamin watak kebudayaan nusantara. Dalam hal ini, Pancasila mengembalikan kebudayaan maritim kita yang pernah hilang dan tenggelam tersebut.

Bangsa Indonesia yang memiliki pantai terpanjang kedua setelah Kanada ini tentunya bangsa pembelajar, terutama belajar dari sejarah bangsanya. Bangsa ini tentunya enggan kembali terperosok ke dalam palung keterbelakangan yang sama dalam ranah politik maupun dalam budaya.

Sudah saatnya, kita melihat lagi dengan seksama Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Timor dengan mata dan pikiran terbuka. Melihat Indonesia dengan terbuka adalah cara meninggalkan ilusi ketunggalan budaya, yang muncul kembali dalam narasi sempit etnisitas, agama dan golongan.

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.