Semua yang dipersoalkan kubu Prabowo-Sandi dalam sidang Gugatan di Mahkamah Konstitusi. Dianggap hanyalah sebuah propaganda belaka. Begitu, tanggapan kuasa hukum pasangan Joko Widodo-Kiai Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra menanggapi materi gugatan pasangan nomor urut 02.
Menurut Yusril, seharusnya persoalan yang sudah bukan persoalan subtansi tidak harus masuk dalam materi sidang MK. Dicontohkan Yusril, perihal sumber dana kampanye pasangan Jokowi tidak perlu dibahas lagi dalam sidang MK. Tapi kalau itu masuk dalam materi sidang, kubunya siap menanggapi dengan bukti-bukti yang dimiliki.
Tidak dipungkiri kubu Prabowo terus berupaya menghidupkan terus, suasana kebencian publik terhadap hasil Pilpres 2019 lalu. Lalu, masih akan mungkin sekam kebencian tersebut disulut kembali. Sebagai bahan bakar gerakan deligitimasi kemenangan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu?
Dalam permohonan, Prabowo-Sandiaga menyatakan perolehan suara yang berbanding terbalik dengan KPU. Perolehan suara yang diajukan dalam permohonan disebutkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh suara 63.573.169 atau 48%. Sementara Prabowo-Sandiaga mendapat total suara 68.650.239 atau 52%.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Prabowo-Sandiaga memohon agar MK menyatakan batal dan tidak mengikat terhadap Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 itu. Bagi, kubu Prabowo semua materi yang dipermasalahkan. Hanya berdasarkan asumsi-asumsi saja. Tidak ada bukti terjadinya kecurangan yang terstuktur, sistematis, masif (TSM).
Dengan merujug pernyataan Yusril, pendekatan konstitusional dalam proses sengketa pemilu, jauh api daripada panggang. Mahkamah Konstitusi hanya sebagai alat memperpanjang kebencian selama Pilpres 2019 berlangsung. Ya, hanya dengan membangun narasi kecurangan yang tendensius. Cara yang dilakukan kubu Probowo untuk memperlemah legitimasi hasil Pilpres.
Narasi kebencian
Rasanya, sangat sulit bagi Prabowo menghidupkan kembali api kebencian tersebut. Kendati sekam-sekam sisa-sisa kebencian kampanye Pilpres 2019 masih tersisa beberapa titik.
Banyak faktor argumentasi konklusi yang melatar belakangi. Baik empiris maupun yang bersifat prediksi. Fakta empiris dua moment besar yang seharusnya jadi bahan bakar yang dahsyat untuk mendeligitimasi hasil Pilpres 2019 tidak mampu dioptimalkan Prabowo yang kalah dalam dalam hitungan quick count maupun real count versi KPU.
Yaitu, saat deklarasi kemenangan tiga hari paska coblosan. Bila kita lihat seharusnya, momen itu sangatlah strategis. Saat psikologi masyarakat lagi klimaks dengan semburan kebencian. Seharusnya, Prabowo mampu menyulutnya. Selain itu, para biang komunikator masih lengkap, energinya masih kuat. Namun hasilnya, hanya beberapa guyonan politik belaka. Animo gerakan tidak mampu menyita perhatian publik.
Fakta empiris kedua, saat KPU mengumumkan hasil real count 21 Mei lalu. Memang moment ini oleh beberapa pihak diprediksi akan menjadi titik masuk gerakan massa. Yang ujungnya melegitimasi hasil Pilpres 2019 lalu. Semua potensi yang dimiliki koalisi partai pendukung, pendukung-pendukung Prabowo akan dimainkan disana.
Alhasil, gerakan 22 Mei 2019 beralih menjadi kerusuhan. Yang tidak mampu menyedot emosi khalayak ramai. Gerakan ini bahkan mengerus simpati pendukung Prabowo sendiri dibeberapa segmentasi. Gerakan 22 Mei yang diharapkan mampu menduplikasi gerakan reformasi jatuhnya rezim Soeharto. Menyisahkan penangkapan-penangkapan elit Prabowo dengan tuduhan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Lalu, apabila kita melihat prediksi-prediksi langkah Prabowo menyikapi kekalahan kali kedua menghadapi Jokowi. Para pemerhati politik, masih melihat akan ada upaya Prabowo terus ‘menganggu’ keputusan politik ini.
Tentu saja, sidang gugatan Mahkamah Konstitusi yang akan jadi bahan bakar menghidupkan kebenciannya. Seperti diketahui, sejak mendaftarkan gugatan ke MK, tim kuasa hukum membangun narasi negatif terhadap proses sidang mendatang. Seolah-olah, Mahkamah Konstitusi akan bertindak diskriminatif.
Apakah efektif?
Seadainya, kubu pasangan nomor urur 02, mau berpikir jernih. Upaya ini hanya akan menciptakan jurang keperpihakaan. Atau akan membuat kontra-produktif bagi pendukungnya. Suka atau tidak suka, hasil pilpres hitung cepat dan keputusan KPU. Menjadi indikator bagi masyarakat. Sehingga persepsi mayoritas khalayak pro atau kontra, bahwa pilpres ini telah rampung.
Upaya, bermain-main di Mahkamah Konstitusi hanya sebuah kesia-siaan belaka. Elit-elit partai koalisi pendukung 02 pun, sudah banyak mengeluarkan pernyataan yang tidak sepakat dengan langkah politik ini.
Seharusnya, ini jadi dasar bagi BPN dalam mengambil sikap. Bukan mengambil jalan yang distruktif bagi nilai-nilai demokratis. Cara-cara lebih terhormat tidaklah kurang. Kalau hanya sekedar tidak sejalan dengan kepemimpinan Jokowi. Karena demokrasi yang sehat juga memperlukan oposisi yang cerdas.