Senin, Oktober 7, 2024

Kebenaran dan Kepalsuan

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Dan katakanlah, “Telah datang yang hak dan lenyaplah yang batil.” Sungguh yang batil pasti lenyap. (QS al-Isrâ’ [17]: 81)

Para mufasir mengemukakan pernyataan dalam QS al-Isrâ’ (17) ayat 81 bahwa “telah datang yang hak dan lenyaplah yang batil” diucapkan Nabi Muhammad Saw sesaat setelah pembebasan Makkah pada tahun 630 M.

Ibn Katsir (700 H/1301 M – 774 H/1372 M) mengutip hadits riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Mas‘ud, ia menuturkan: “Nabi Saw memasuki Makkah, dan di sekitar Baitullah terdapat 360 berhala. Maka beliau menikam berhala-berhala itu dengan tongkat di tangannya, dan berkata, “Jâ’a al-haqqu wa zahaqa al-bâthilu, inna al-bâthila kâna zahûqâ—Telah datang yang hak dan lenyaplah yang batil. Sungguh yang batil pasti lenyap.

Setelah itu, Makkah berada dalam kendali umat Muslim, dan Ka‘bah Baitullah disterilkan dari segala bentuk pemujaan terhadap berhala.

Penyimpangan

Bagaimana Ka‘bah Baitullah yang dibangun ‘Bapak Agama Tauhid’ Nabi Ibrahim as bersama putranya Nabi Ismail as bisa menjadi “sarang pemujaan berhala” dengan praktik-praktik kemusyrikan di dalamnya?

Sepeninggal Nabi Ismail as, tanggung jawab pengurusan Ka‘bah diemban oleh salah seorang putranya Nabi. Setelah itu, kekuasaan atas Ka‘bah dan Makkah jatuh ke tangan orang-orang dari suku Jurhum asal Yaman, pernah juga diambil alih oleh suku Amaliq, lalu suku Khuza‘ah, kemudian suku Quraisy.

Penyimpangan teologis mulai terjadi pada masa kekuasaan suku Khuza‘ah. Para sejarawan, di antaranya al-Mas‘udi mencatat—dalam kitabnya, Murûj al-Dzahab wa Ma‘âdin al-Jawhar—bahwa seorang pemimpin mereka, yakni Amr bin Luhai, ketika melakukan perjalanan ke Syam (kini Suriah dan sekitarnya) melihat orang-orang di sana menyembah berhala. Merasa tertarik, ia meminta kaum Moabit agar memberikan satu berhala untuknya. Maka mereka memberinya sebuah patung besar bernama Hubal. Patung itu lalu dibawa ke Makkah, dan dipajang ditempat pemujaan, di dalam Ka‘bah.

Sejak saat itulah, Ka‘bah mulai dihiasi berhala-berhala yang makin hari terus bertambah banyak. Pada awalnya, muncul protes dari sebagian masyarakat Makkah. Namun Amr bin Luhai berhasil meredam protes itu dengan kekuatan politiknya sebagai penguasa Makkah. Ia juga sering melakukan kunjungan ke negeri-negeri sekitar seperti Syam dan Irak. Di sana, ia sering bersinggungan dengan banyak kaum pagan.

Kepalsuan

Kepalsuan inheren dengan penyimpangan, dibuat umumnya untuk mengelabui; berawal dari peniruan (taklid), diikuti penyerupaan, dibumbui kebohongan, dan berujung pada penyesatan. Karena itu, kepalsuan dinyatakan sebagai kebatilan.

Syam dikenal sebagai tanah para Nabi. Di wilayah inilah ajaran-ajaran kebenaran beragama bersemi. Dan di awal-awal abad Masehi, wilayah ini merupakan jalur perdagangan strategis, tempat lalu-lalang berbagai bangsa. Di wilayah ini pula penyimpangan dan kepalsuan beragama bertumbuh.

Pemimpin Makkah pada masa kekuasaan suku Khuza‘ah Amr bin Luhai tertarik mengikuti praktik penyembahan berhala setelah dikelabui oleh kaum Moabit di Syam bahwa berhala-berhala itu bisa menurunkan hujan serta memberikan pertolongan kepada mereka. Celakanya, bualan ini “dibungkus” oleh Amr bin Luhai, lalu dibawa pulang bersama Hubal, dan dipraktikkan di Makkah.

Maka kepalsuan dan penyimpangan beragama ini dipraktikkan di Rumah Allah yang suci (Baitullâh al-Harâm). Meskipun senyatanya, berhala-berhala itu tak lebih hanyalah tuhan-tuhan palsu, dan pemujaan terhadapnya merupakan penyimpangan beragama; nyata-nyata syirik, dibuat hanya oleh mereka yang mengingkari kebenaran Allah (kafir).

Kepalsuan itu pun lama-lama menjadi “kebenaran,” karena dilanggengkan oleh kekuasaan, dipraktikkan oleh orang banyak, dan terus dikembangkan dengan bumbu-bumbu kebohongan. Kenyataan semacam ini bisa disebut “kebenaran imajinatif” atau setidaknya “kebenaran relatif” (?)

Digambarkan dalam QS al-An‘âm (6) ayat 136: Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.

Sebagian sejarawan memandang bahwa sebenarnya peletakan berhala-berhala di Ka‘bah serta paganisme Makkah pada waktu itu bermotif ekonomi. Dengan cara itu, Amr bin Luhai melihat ada peluang untuk mendapat kekayaan materi sebagai penyokong kekuatan politiknya. Maka ketika itu hampir semua suku di tanah Arab tunduk pada kekuasaannya. Paganisme pun menguat, dan terus berlangsung hingga berabad-abad kemudian.

Kebenaran

Pada tahun 610 M, Allah Swt menurunkan wahyu pertama kepada Muhammad. Wahyu ini menandai pengangkatan beliau sebagai Nabi dan Rasul-Nya untuk menyampaikan (tepatnya mengingatkan) kepada kaumnya serta seluruh umat manusia akan kebenaran yang hakiki (al-haq) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Artinya, pemujaan terhadap berhala-berhala dan apa pun selain Dia adalah kepalsuan (bâthil).

Syahdan, Makkah gempar. Pemujaan terhadap berhala yang sudah dipraktikkan masyarakat Arab turun-temurun, dan telah berlangsung ratusan tahun itu tiba-tiba dinyatakan sebagai kepalsuan; disampaikan oleh seorang Muhammad yang pada saat itu tidak dianggap oleh kaumnya sebagai “orang besar.” Maka tak ayal, sebagian besar dari mereka menolak dan menentang seruannya, terutama tokoh-tokoh Quraisy.

Tentu tak mudah untuk membongkar kepalsuan yang sudah mengakar menjadi “kebenaran relatif” apalagi sudah naik tingkat menjadi “kebenaran sosiologis,” dan dipraktikkan secara turun-temurun. Kenyataan inilah yang dihadapi Nabi Muhammad Saw ketika pertama kali menyampaikan kebenaran yang hakiki (al-haq) dari Allah Swt. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh Quraisy menolak seruannya dengan alasan: ‘menyalahi kepercayaan nenek moyang mereka.’

Dalam konteks kekinian, kepalsuan (populer dengan sebutan hoax) cenderung menjadi tren, dan seakan terus dipropagandakan, terutama lewat media sosial. Fenomena ini tak terkecuali menyasar persoalan-persoalan terkait kebenaran agama, yang kerap diperebutkan dengan cara-cara emosional melalui opini dan tafsir sepihak sesuai kepentingan masing-masing.

Maka kini tak sedikit dari kita—khususnya dalam interaksi di media sosial dan tak ayal juga dalam interaksi nyata—sibuk saling mengklaim kebenaran. Tiap-tiap orang merasa dirinya (pasti) benar dan pihak lain (pasti) salah; tiap-tiap orang mengasosiasikan dirinya pada kelompok tertentu secara emosional, dan tiap-tiap kelompok mengonstruksi dan mengklaim kebenaran menurut versi masing-masing, sesuai kepentingan masing-masing.

Apakah ini yang disebut era post-truth; zaman pasca-kebenaran? Wallâhu a‘lam.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.