“Kebebasan beribadah agar dilindungi dengan baik” menjadi salah satu dari 10 poin maklumat resmi DPRD Jawa Barat yang dibacakan Ketua Buky Wibawa di Gedung Sate pada 1 September 2025, sebagai respons atas aksi massa 28-29 Agustus 2025.
Imparsial mencatat Jawa Barat sebagai provinsi dengan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tertinggi, dengan 9 dari 13 kasus nasional sejak Desember 2024-Juli 2025. Kawasan ini telah menjadi episentrum intoleransi (Eka Yudha Saputra, Tempo, 22 Agustus 2025).
Hal ini diperkuat laporan SETARA “Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB): Regresi di Tengah Transisi” (25 Mei 2025), yang kembali menempatkan Jawa Barat di peringkat teratas dengan 38 dari 260 peristiwa nasional sepanjang 2024. Dalam catatannya SETARA juga merekomendasikan Menteri Dalam Negeri mendorong inclusive governance, mengingat tren pemerintah daerah yang justru menjadi aktor pelanggaran terbanyak, 50 dari 159 kasus yang terjadi, hampir sepertiganya.
Peristiwa demi peristiwa terus berlangsung secara sistematik, berulang dari waktu ke waktu, diperkuat oleh perda diskriminatif, bahkan melibatkan aparatur negara sebagai aktornya sendiri (Fanny Sayriful Alam, Pikiran Rakyat, 16 Juli 2025).
Sepanjang 2025 saja, pada Juni di Banjar, Pemerintah Kota melarang Jemaah Ahmadiyah beribadah di bekas Masjid Istiqomah. Dua pekan kemudian di Sukabumi, retret pelajar Kristiani diserang. Juli di Depok, pembangunan Gereja GBKP Runggun Studio Alam ditunda meski sudah ber-IMB. Awal Agustus di Garut, rumah doa Kristiani ditutup atas keputusan pemerintah setempat. Sejak Maret hingga Agustus di Bandung, umat Katolik PGAK Santa Odilia terusir dari bangunannya sendiri. Di sekolah-sekolah, riset Rela Susanti (2025) menunjukkan 80-90 persen pelajar penghayat mengalami perundungan dan diskriminasi.
Politik Wacana Kerukunan
Dalih kondusivitas dalam pelanggaran KBB adalah bagian dari lanskap wacana nasional yang bernama “kerukunan”. Pada masa Orde Baru, perselisihan muslim-kristiani dianggap ancaman stabilitas politik sehingga lahirlah Musyawarah Antaragama (1967). Dari sini gagasan kerukunan muncul menurunkan regulasi, termasuk SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (1969) yang membatasi penyiaran agama sekaligus memperketat izin rumah ibadah (Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, 2010).
Para Menteri Agama menjadi sopirnya. Mukti Ali dengan semboyan agree in disagreement, serta Alamsyah Prawiranegara dengan trilogi kerukunannya. Gagasan tampak cemerlang, namun sejatinya ia menentukan penumpang yang boleh naik dan yang dipaksa turun dalam bahtera kebangsaan ini.
Reformasi melanjutkan misi itu lewat Pusat Kerukunan Umat Beragama (2001) serta Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (2006) yang membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama hingga tingkat kabupaten/kota.
Di atas kertas, ia dipuji. Tapi di lapangan, aturan malah menjelma raksasa buta yang menjegal izin rumah ibadah, termasuk di Jawa Barat. Regulasi yang mestinya menjamin ruang dialog yang aman itu justru jadi favoritisme, sementara di luar terdengar isak warga dan gemeretak kaca pecah.
Militerisme yang Mendarah Daging
Kerukunan juga ditanam dalam barisan administrasi di akar rumput. Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), meski tidak terhubung langsung dalam sejarah nomenklaturnya, membawa misi serupa.
Akar keduanya dapat ditelusuri ke Tonarigumi dan Azazyookai, organisasi rumah tangga bentukan kolonial Jepang yang bersifat militeristik, diarahkan untuk mobilisasi warga dan kontrol sosial. Pasca-kemerdekaan, unit terkecil masyarakat ini diadaptasi sebagai institusi pelayanan komunitas, lalu ditegaskan kembali fungsinya oleh Orde Baru melalui Permendagri No. 7/1983 sebagai ujung tombak stabilisasi politik dan pengawasan warga (Eko I. Survianto, 2019, QUO VADIS RT RW, Jurnal Ilmu Administrasi 5[3]).
Kerukunan di sini menjelma ilusi ketertiban, menyingkirkan musyawarah dan menumbuhkan tradisi satu komando. Watak militeristik meresap hingga ke kampung sebagaimana “1 x 24 wajib lapor”, bahkan kerap hadir jadi arogansi penggerebekan, sweeping, hingga main hakim sendiri.
Memahami militerisme yang mendarah daging di ruang publik bukan hanya untuk menyingkap logika pengorganisasian massa yang alergi pada kebinekaan, juga berguna untuk menjelaskan alasan pendekatan keamanan yang selalu muncul bagai pemadam kebakaran setelah api melahap setiap kasus pelanggaran KBB.
Patologi Kebudayaan
F. Budi Hardiman melalui Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan (2011) melihat bahwa kerukunan secara kultural datang dari etika harmoni Jawa, dunia Asia yang mengutamakan kewajiban. Rukun merupakan tuntutan dasar dalam membangun relasi horizontal dengan sesama, memperlengkapi tuntutan vertikal yang disebut dengan urmat (hormat).
Rukun adalah seni hidup damai, menekan ambisi pribadi, dan menjaga perasaan sesama.
Namun, etika tersebut dibelokkan Orde Baru. Soeharto dengan bayangan raja Jawanya, menjadikan harmoni dan kesopanan sebagai legitimasi kepatuhan rakyat serta perpanjangan paternalismenya (Martin Sitompul, Historia, 29 Agustus 2024). Akhirnya “rukun” berubah jadi budaya kekerasan.
Padahal Hardiman dalam tulisan yang sama menegaskan bahwa etika rukun justru menolak ketamakan dan agresi, bahkan dalam sejarah melahirkan gagasan Ratu Adil dan pemberontakan wong cilik demi hak-hak komunalnya.
Amanat Konstitusi yang Terlupakan
Kerukunan mengendapkan warisan Orde Baru yang pekat dengan watak militeristik, patologi jawasentrisme, hingga bayang-bayang kolonialisme. Dalam bingkai itu Jawa Barat tampil di etalase statistik.
Semboyan gemah ripah répéh rapih dipertaruhkan lewat tafsir sempit. Répéh seolah berarti diam dan bungkam, rapih seakan berarti tunduk dan takut ancaman.
Langkah pemerintah daerah pun serupa dengan cara orang tua yang sedang meredakan anak kecil berebut mainan. Satu pihak dipaksa mengalah demi kerukunan yang timpang. Relasi kuasa tidak pernah ditangani secara subtantif. Maka sekarang beranikah DPRD Jawa Barat menafsirkan ulang dan membongkar akar masalah ini?
Semua orang pastinya mendambakan hidup rukun. Namun rukun bukanlah penghindaran, bukan menjauh dan saling mengucilkan. Rukun sejati adalah perdamaian yang diperjuangkan dengan cara bermartabat hingga bermuara pada keadilan sosial. Gus Dur telah mengingatkan, “Perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi.” Pertanyaannya, beranikah DPRD Jawa Barat setia dengan nilai ini?
Nilai ini bukanlah nilai asing. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan perikemanusiaan dan perikeadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apalagi Pasal 29 ayat (2), termasuk ICCPR Pasal 18 yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005.
Di sinilah seharusnya maklumat DPRD Jawa Barat tentang “kebebasan beribadah agar dilindungi dengan baik” menemukan maknanya. Frasa “dengan baik” tidak boleh sekadar penghiburan. Ia menuntut kerja nyata, mencabut regulasi daerah yang inkonstitusional dan melahirkan kebijakan yang mengemban amanat pendiri bangsa.
Pemerintah daerah sebagai wajah negara tidak boleh tergesa pada jargon kerukunan. Tegakkanlah dahulu hak-hak warga, baru kemudian kerukunan boleh dirayakan. Lengkap dengan semboyan gemah ripah répéh rapih dalam makna yang sesungguhnya.