Perjuangan Kartini adalah hal wajib untuk kita peringati dan hormati. Nilai pada perjuangannya dahulu harus disemai di masa ini. Kita sering mendengar perempuan mengalami banyak sekali diskriminasi bahkan lebih jauh ditempatkan pada bagian rendah dalam tatanan gender.
Ini tidak dapat dimaklumi, gerakan perempuan dari masa Kartini hingga saat ini, lagi-lagi ingin memperjuangkan hak-hak perempuan. Kebebasan berpikir, berpendapat, akses ruang publik, dan lain sebagainya.
Mari kita lihat contoh kalimat yang amat lumrah, namun saya mencoba mengulangnya “perempuan akan ke dapur, jangan tinggi-tinggi sekolahnya, capek!”. Lebelisasi “perempuan itu ke dapur”, sudah ada dari zaman dahulu kala, bagi para perempuan saat ini, lebel ini sudah tidak berlaku. Mengapa demikian?, karena saya melihat peradaban saat ini yang sudah sangat tidak relevan dengan kalimat itu. Saya sedikit kasar berpendapat, seharusnya majunya peradaban ini turut serta menghilangkan pola pikir kolot ini.
Perempuan dan Pemikiran Kaum Muda
Pelbagai warna warni perkembangan pemikiran, kehadiran perempuan sangat banyak memberikan masukan, misalnya saya sangat kagum dengan tokoh perempuan, Kalis Mardiasih dia tokoh muda yang saat ini memberikan pandangan keperempuanan yang begitu mudah dipahami, lebih maju, dan sesuai dengan keadaan saat ini.
Contohnya, ia berpendapat bahwa perempuan yang mencintai pekerjaannya bukan perempuan gila harta, bukan pula perempuan mata duitan. Seraya pendapat ini ia layangankan pada Instagramnya, saya pun senyum sumringah, bukan karena apa, saya berpendapat kehadiran laki-laki dalam kehidupan perempuan itu tidak bisa serta merta melahirkan larangan-larangan.
Sebelum menikah ia memang wanita yang giat kerja, jangan kita menikahinya lantas kita larang dia untuk kerja, ini juga saya masukan dalam pemikiran kolot, saya rasa pernikahan bukan melahirkan larangan-larangan, namun melahirkan keharmonisan, dan saling mendukung. Dia kerja sebelum anda masuk dalam kehidupannya, jadi jangan coba-coba mengatur atas keinginan Anda saja ya!. Bicarakan dengan persetujuan keduanya.
Persoalan Kebaya dan Semangat Kartini
Unggahan story Instagram dan WhatsApp saya dibanjiri dengan perempuan yang menggunakan baju kebaya, ini memang baik, menjaga adat budaya, melahirkan cinta peninggalan leluhur, dan lebih jauh lagi mengkampanyekan produk lokal tetap unjuk gigi pada masa Western ini.
Namun fenomena ini, melahirkan pertanyaan bagi saya, mengapa mereka serentak mengunggah pada hari ini, ternyata ini salah satu cara mereka memperingati hari Kartini, dengan menggunakan baju kebaya.
Ini menjadi pemantik pertanyaan selanjutnya, mengapa tidak dengan baju adat mereka saja? Misalnya sebagai wanita Pontianak mengenakan baju adat yang mewakili Pontianak, atau sebagai wanita Batak mengenakan baju adat Bataknya. Atau baju daerah-daerah lainnya.
Saya mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menghiasi otak saya hari ini, satu di antara jawaban yang bermuara ialah mungkin dengan mengenakan kebaya mereka merasa sedikit mirip dengan Kartini, siapa yang tidak ingin seperti Kartini, perempuan dengan pemikiran dan pergerakannya yang luar biasa.
Namun, saya ingin mencoba membagikan pandangan saya, dengan hanya mengenakan baju kebaya tanpa melihat lebih jauh pesan apa yang ingin disampaikan pada peringatan hari kartini ini, saya rasa belum lengkap cara memperingati hari Kartininya.
Saya berpandangan bahwa hari Kartini bukan hari simbolisasi pengenaan baju kebaya yang sebagaimana dahulu pemimpin otoriter menjadikan baju kebaya sebagai baju adat nasional, di sisi lain saya bukan anti-jawasentris namun lebih jauh lagi kita melihat semangat yang ditebarkan oleh Kartini, semangat pergerakan perempuan yang harus tumbuh subur hari ini untuk terus memperjuangkan hak-haknya, agar tidak lagi subur pemikiran kolot yang telah saya sampaikan sebelumnya.
Hari Kartini: Disahkannya RUU TPKS menjadi UU dan Ditolaknya Judicial Review Peremendikbudristek PPKS
Hari ini hak-hak kaum perempuan harus terus diperjuangkan, satu di antara yang membuat hati saya bahagia belakangan ini adalah disahkan ya RUU TPKS menjadi Undang-Undang dan secara resmi Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Judicial Review Peremendikbudristek PPKS. Dua kabar bahagia ini semoga saja dapat mewarnai perjuangan perempuan dan kita patut merayakannya, yang tepat pula dengan peringatan hari Kartini ini.
RUU TPKS yang sekarang sudah menjadi Undang-Undang, wajib kita rayakan namun di sisi lain kita harus juga mengawal implentasinya, agar hak-hak perempuan korban kekerasan seksual dapat terakomodir.
Menyoal penolakan Judicial Review Peremendikbudristek PPKS, saya juga agak bingung dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) melakukan tindakan ini, coba LKAAM melihat lebih jauh dan membayangkan kalau anak mereka studi di kampus yang rawan tindakan kekerasan seksual, pasti saya rasa LKAAM juga ikut mendukung Peremendikbudristek ini.
Saya tidak ingin lagi berkomentar lebih jauh melalui tulisan ini, harapan saya kedepan adalah tidak ada lagi saya mendengar berita perempuan yang mengalami kekerasan seksual, persekusi, diskriminasi, pembatasan akses dalam ruang publik, dan yang amat terpenting adalah saling mendukung dan menguatkan.