Rabu, Oktober 9, 2024

Nasib RUU TPKS yang Terkatung-Katung

Zumrotun Nazia
Zumrotun Nazia
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Ekonomi Syariah

Fakta Sosial

Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan yang terjadi menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbahaya bagi perempuan. Hal ini disampaikan oleh perusahaan riset value champion Singapura pada tahun 2019. Ketidakamanan dan ketidakramahan kondisi ini menjadikan Indonesia masuk dalam peringkat ke- dua negara paling berbahaya se-Asia Pasifik bagi perempuan.

Kota Jakarta yang merupakan pusat segala aktivitas negara, membuat Jakarta masuk pada kategori Kota paling tidak aman bagi perempuan peringkat ke tujuh di dunia. Data ini dirilis oleh Thomas Reuters Foundation pada tahun 2017. Data ini diriset oleh 380 pakar dibidang kewanitaan, akademisi, kesehatan dan sosial. Selain itu Jakarta juga termasuk dalam daftar 19 kota besar dengan kasus kekerasan seksual tertinggi di Indonesia.

Komnas perempuan mencatat sebanyak 4.500 kasus dari Januari hingga oktober 2021. Sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari hingga November 2021. Tentu data ini belum menyeluruh lantaran tidak semua kasus dilaporkan karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh korban pada saat ingin melaporkan.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dapat terjadi di ranah mana saja seperti ranah privat (kekerasan rumah tangga, kekerasan dalam pacaran), ranah publik (kekerasan lingkungan kerja, lembaga pendidikan) dan ranah Negara (dilakukan oleh aparat negara).

Bagaimana Seharusnya Peran Negara

Ketidakramahan negara bagi perempuan membuat kepanikan dan kekhawatiran bagi semua orang, terlebih soal kekerasan perempuan yang kondisinya semakin darurat. Negara wajib untuk segera menyelesaikan dan memberikan perlindungan. Selama ini Indonesia terkendala oleh sistem hukum yang belum mapan dan tidak cukup mampu mengakomodasi tindak kejahatan kekerasan terhadap perempuan.

Hukum di Indonesia tidak berpihak pada korban kekerasan, bahkan secara psikologis korban harus mendapatkan penanganan yang tepat. Selain itu terjadinya kekerasan pada perempuan menuntut perempuan harus mawas diri, menjaga pergaulan, dihantui rasa takut saat didalam transportasi umum, menjadi bahan bullying dan body shaming dan masih banyak lainnya.

Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya ini merupaka bunyi Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Kekerasan Seksual (TPKS). Kesemuanya itu mengatur tentang hak dan kewajiban Negara dalam melindungi perempuan.

Pro Kontra RUU TPKS

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hingga hari ini gagal disepakati pada rapat paripurna DPR RI. Hal ini disebabkan karena Badan Musyawarah (Bamus) gagal digelar, sedangkan Bamus merupakan syarat agar RUU bisa dibawa ke sidang paripurna. Selain itu gagalnya RUU TPKS yang seharusnya dibahas dalam rapat paripurna dikarenakan waktu yang tidak cukup untuk dibahas dalam sidang paripurna. Alasan waktu menjadi kendala gagalnya RUU TPKS disahkan. DPR RI berjanji akan mengesahkan RUU TPKS pada rapat paripurna selanjutnya .

Selama ini semua pihak telah sepakat dengan adanya RUU TPKS, namun semenjak tahun 2010 hingga 2020, 12 tahun sudah nasih perempuan dipertaruhkan, 12 tahun lamanya perempuan harus menjadi korban dan tidak mendapatkan keadilan. Inikah yang disebut keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? Kurangnya keseriusan Pemerintah dalam menyikapi maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadikan hukum di negara ini tidak memiliki kekuatan.

Sudah seharusnya negara memberikan perlindungan kepada seluruh warganya dan tidak terkecuali perempuan. Nasib RUU TPKS yang terkatung-katung, serta proses yang berjalan alot menjadikan RUU TPKS memang dengan sengaja dihambat oleh Pemerintah, masalah teknis menjadi alasan bagi Pemerintah memperlambat pengesahan RUU ini.

Tidak hanya itu adanya suara konservatif yang berdasarkan pemahaman keagamaan menjadi salah satu poin pemberatan RUU TPKS ini, adanya kepentingan secara ekonomi dibalik alotnya pembahasan RUU TPKS yang dinyatakan akan menggangu iklim investasi. Tarik ulur pembahasan RUU TPKS yang terlalu lama cenderung membahas hal-hal diluar subtansi kebutuhan hukum akan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan.

Berhenti menyalahkan korban pelecehan, lingkungan yang pada hari ini melazimkan, memaafkan pemerkosaan dan kekerasan seksual menjadikan hal tersebut menjadi budaya populer. Jika korban disalahkan atas pelecehan maka ia merasa tidak aman dan menyulitkannya untuk melapor, tentu hal ini akan memperkuat keyakinan pelaku bahwa hal tersebut adalah kesalahan dan tanggungjawab korban.

Peran Ketahanan Keluarga dalam Mencegah Kekerasan Bagi Perempuan

Mengutip dari ahli ketahanan keluarga IPB university Prof. Euis Sunarti mengemukakan keluarga merupakan isntitusi pertama dan utama sebagai penentu akhlak, adab dan karakter individu. Artinya ketahanan keluarga diharapkan menjadi dasar utama terbentuknya peradaban bangsa yang baik dan ramah. Keluarha adalah pihak yang paling setia menemani individu menghadapi berbagai kondisi baik dalam dimensi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik. Keluarga harus menjadi basis perumusan peraturan perundang-undangan.

Bentuk kekerasan terdahap perempuan bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, termasuk oleh keluarga sendiri atau kerabat dekat kita. Seharusnya keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, secara efektif dan ekonomis. Di dalam keluarga pertama kali anak mendapat pengalaman dini langsung yang digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari.

Tantangan dunia kedepan tugas keluarga semakin berat dan kompleks, kematangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang dimulai dari keluarga harus benar-benar dipersiapkan. Keluarga Indonesia harus ada kesanggupan dan keberanian untuk memilih dan memilah entitas yang bermanfaat sesuai dengan citra budaya bangsa yang bercirikan regiliusitas.

Peran Pemerintah akan lebih dominan dan penting bagi keluarga yang secara sosial dan ekonomi tidak berdaya, Pemerintah juga harus tegas, aspiratif dan demokratis dalam membuat regulasi untuk membatasi dampak negatif arus dunia.

Zumrotun Nazia
Zumrotun Nazia
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Ekonomi Syariah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.