Sabtu, April 26, 2025

Keadilan Otoritas di Indonesia

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Hukum itu seperti pisau..tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Ungkapan ini sering kali terdengar dalam diskusi tentang keadilan di Indonesia. Ia mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap sistem hukum dan kebijakan yang tampaknya lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan status sosial tinggi. Di negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan keadilan sosial, apakah keadilan otoritas benar-benar berlaku untuk semua, ataukah ia hanya menjadi hak istimewa bagi mereka yang berada di puncak hierarki sosial?

Dalam berbagai kasus, kita melihat bagaimana hukum dan kebijakan sering kali diterapkan secara berbeda tergantung pada siapa yang terkena dampaknya. Kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih lunak dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah. Dari kasus pelanggaran hukum oleh pejabat tinggi yang berakhir dengan hukuman ringan hingga rakyat kecil yang dihukum berat untuk kesalahan sepele, fenomena ini mengindikasikan bahwa keadilan prosedural saja tidak cukup. Harus ada evaluasi mendalam terhadap bagaimana keadilan distributive, pembagian sumber daya dan akses terhadap hukum, dapat benar-benar mencerminkan kesetaraan. 

Keadilan Prosedural vs Keadilan Distributif di Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia, keadilan prosedural sering kali menjadi tumpuan dalam menentukan apakah suatu keputusan telah sesuai dengan hukum atau tidak. Namun, seperti yang sering terjadi, keadilan prosedural tidak selalu menghasilkan keadilan substantif.

Kasus-kasus korupsi, misalnya, menunjukkan bahwa meskipun prosedur hukum dijalankan, keadilan yang dihasilkan tetap bersifat timpang. Seorang koruptor kelas kakap yang merugikan negara miliaran rupiah sering kali mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan seseorang yang mencuri karena kelaparan. Hal ini menegaskan bahwa meskipun prosedur telah dijalankan, hasil akhirnya tetap mencerminkan ketidaksetaraan, karena sistemnya sendiri masih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan.

Di sisi lain, keadilan distributif di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Kelompok dengan status sosial lebih rendah sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih diskriminatif dalam hal akses terhadap layanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, kelompok elite dengan status sosial tinggi memiliki akses yang lebih luas terhadap berbagai fasilitas yang seharusnya dinikmati oleh semua warga negara. Ini bukan hanya masalah teknis dalam implementasi kebijakan, tetapi juga mencerminkan bagaimana struktur kekuasaan masih menentukan siapa yang lebih layak mendapatkan keadilan.

Ekspektasi Masyarakat terhadap Keadilan

Di Indonesia, masyarakat sering kali memiliki ekspektasi ganda terhadap keadilan. Di satu sisi, ada tuntutan agar hukum ditegakkan dengan adil dan tanpa diskriminasi. Namun, di sisi lain, ada penerimaan yang cukup luas terhadap praktik ketidakadilan, terutama jika hal tersebut menguntungkan kelompok tertentu.

Sebagai contoh, banyak orang mengkritik kebijakan hukum yang tajam terhadap rakyat kecil, tetapi di saat yang sama, mereka juga dapat dengan mudah menerima perlakuan istimewa terhadap elite politik atau tokoh masyarakat yang mereka dukung. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap keadilan di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh hukum itu sendiri, tetapi juga oleh dinamika sosial dan politik yang membentuk persepsi masyarakat tentang siapa yang layak mendapatkan keadilan.

Selain itu, ekspektasi terhadap keadilan juga sering kali dipengaruhi oleh identitas sosial dan politik seseorang. Sebuah keputusan hukum yang dianggap tidak adil oleh satu kelompok bisa saja dianggap sah oleh kelompok lain, tergantung pada afiliasi politik dan ekonomi mereka. Hal ini semakin memperumit upaya untuk mencapai keadilan yang benar-benar objektif di Indonesia.

Persepsi Ancaman dan Bias dalam Praktik Hukum

Salah satu faktor utama yang memperkuat ketidakadilan dalam sistem hukum dan kebijakan di Indonesia adalah persepsi ancaman terhadap kelompok tertentu, yang sering kali memengaruhi cara otoritas bertindak. Dalam hal ini, terdapat dua jenis ancaman yang berperan besar dalam menentukan bagaimana suatu kelompok diperlakukan: ancaman simbolis dan ancaman realistis. Ancaman simbolis muncul ketika suatu kelompok dianggap memiliki nilai, budaya, atau ideologi yang bertentangan dengan nilai dominan di masyarakat.

Kelompok minoritas agama, etnis, atau kelompok dengan pandangan politik yang berbeda sering kali menjadi korban diskriminasi hanya karena keberadaan mereka dipersepsikan sebagai ancaman terhadap identitas nasional atau harmoni sosial. Hal ini terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang membatasi hak-hak mereka, baik dalam bentuk regulasi yang diskriminatif maupun dalam pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleran yang mereka alami.

- Advertisement -

Sementara itu, ancaman realistis lebih berkaitan dengan persaingan atas sumber daya ekonomi dan politik. Kelompok masyarakat miskin dan kelas pekerja sering kali menjadi sasaran kebijakan yang represif karena mereka dianggap sebagai “beban” bagi negara, baik dalam bentuk kebutuhan subsidi maupun keterbatasan kontribusi ekonomi mereka.

Sebaliknya, kelompok elite ekonomi yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan lebih cenderung mendapatkan perlakuan istimewa, baik dalam bentuk kemudahan regulasi, pengurangan pajak, maupun keringanan hukuman dalam kasus hukum. Fenomena ini menjelaskan mengapa ketidakadilan dalam sistem hukum dan kebijakan di Indonesia cenderung berulang: karena keadilan tidak benar-benar diterapkan secara universal, melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang mempertahankan dominasi kelompok tertentu.

Selama otoritas masih terjebak dalam persepsi ancaman ini, keadilan akan tetap menjadi konsep eksklusif yang lebih mudah diakses oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya, sementara kelompok-kelompok yang dipandang lemah harus terus berjuang untuk mendapatkan hak yang seharusnya menjadi milik semua.

Kemana Kita Bermuara

Jika kita ingin melihat Indonesia sebagai negara yang benar-benar berkeadilan, maka kita tidak bisa hanya mengandalkan hukum yang tertulis di atas kertas. Diperlukan perubahan struktural dalam cara hukum diterapkan, serta pergeseran dalam cara masyarakat memandang keadilan.

Otoritas perlu menyadari bahwa keadilan yang hanya bersandar pada prosedur tidak akan cukup untuk menghapus ketidaksetaraan yang telah mengakar dalam sistem sosial. Sementara itu, masyarakat juga harus lebih kritis dalam menilai apakah ekspektasi mereka terhadap keadilan benar-benar mencerminkan prinsip kesetaraan, atau justru memperkuat status quo yang timpang.

Apakah kita akan terus hidup dalam sistem yang memperlakukan hukum sebagai alat bagi mereka yang berkuasa? Ataukah kita siap untuk menantang norma yang telah mengakar dan menuntut keadilan yang benar-benar inklusif bagi semua? Jawabannya ada pada bagaimana kita, sebagai individu dan masyarakat, memilih untuk bertindak.

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.