Adagium klasik “Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah seni dari kebaikan dan keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal, hukum adalah seni yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara moralitas dan legalitas.
Apa Arti Adagium Ini?
Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana, sebenarnya adagium ini memiliki makna yang sangat mendalam. Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan ditegakkan.
Misalnya, seorang hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual, yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara. Dapat disimpulkan, seorang hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi aturan.
Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et aequi,” di mana hukum dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni sosial dan melindungi martabat manusia.
Pendekatan ini menegaskan bahwa seorang hakim memiliki peran sebagai seniman keadilan. Hakim menggunakan intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil oleh semua pihak yang terlibat.
Relevansi di Era Modern
Dalam konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak.
Di era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Misal dalam kasus kontrak digital, aspek kebaikan dapat diterapkan dengan melindungi konsumen dari penyalahgunaan data. Pada era digital kontrak kerap kali dibuat dalam bentuk terms and conditions yang panjang dan dipahami oleh pengguna awam. Banyak konsumen tidak membaca isi kontrak tersebut secara detail dan akhirnya menyetujui klausul yang mungkin merugikan mereka.
Di sini lah prinsip kebaikan hukum berperan. Melindungi konsumen dari ketidakseimbangan informasi dan potensi eksploitasi adalah bentuk nyata dari penerapan nilai kebaikan. Regulasi seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia bertujuan untuk memastikan bahwa kontrak digital tidak hanya menguntungkan pihak penyedia layanan, tetapi juga menghormati hak konsumen atas privasi dan kemanan data mereka.
Menjadi Inspirasi
Adagium ini memberi prespektif baru bahwa hukum sebagai seni, bukan hanya sekadar alat teknis. Sebagai masyarakat yang hidup di bawah naungan hukum, kita diajak untuk tidak hanya mematuhi sebuah peraturan, tetapi juga paham bahwa hukum seharusnya membawa manfaat nyata bagi kehidupan kita.
Hukum yang ideal adalah hukum yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya, seni dari hukum terletak pada kemampuannya untuk merajut kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya.
Apakah hukum di sekitar kita sudah menjadi seni yang menghadirkan keadilan dan kebaikan, atau hanya sekedar alat pengendali?