Dalam khazanah ilmu kalam, golongan Mu’tazilah menempatkan doktrin al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman) sebagai salah satu dari al-Usul al-Khamsah, yakni lima prinsip fundamental yang membentuk kerangka epistemologis teologi mereka. Doktrin ini menegaskan bahwa janji pahala dan ancaman siksa yang termaktub dalam Al-Qur’an bukan sekadar wacana moral yang bersifat persuasif, melainkan ketetapan ilahiyah yang pasti terlaksana sebagai konsekuensi dari keadilan Tuhan. Dalam pandangan Mu’tazilah, mustahil bagi Allah untuk mengingkari janji-Nya atau memberikan pengampunan kepada pihak yang secara moral telah layak menerima hukuman tanpa dasar yang sah.
Konsekuensi dari doktrin tersebut tidak berhenti pada tataran teoretis, tetapi berimplikasi langsung pada metode penafsiran Al-Qur’an. Ayat-ayat yang berbicara tentang pahala dan siksa tidak dapat dipahami secara bebas atau emosional, melainkan harus ditafsirkan secara konsisten dengan prinsip rasional dan teologis yang telah ditetapkan. Dalam konteks inilah Tanzih al-Qur’an an al-Matha’in hadir sebagai karya yang bertujuan menyucikan Al-Qur’an dari penafsiran yang dinilai mereduksi kesempurnaan dan keadilan Tuhan.
Artikel ini menyajikan bagaimana doktrin al-Wa’d wa al-Wa’id beroperasi secara konkret dalam penafsiran Mutazilah, dengan menitikberatkan pada penafsiran QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8 dalam Tanzih al-Qur’an an al-Matha’in karya al-Qadhi Abd al-Jabbar.
Mu’tazilah dan Prioritas Keadilan dalam Doktrin al-Wa’d wa al-Wa’id
Mu’tazilah dikenal dengan lima prinsip dasar teologinya, yaitu al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bayna al-Manzilatayn, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Di antara prinsip-prinsip tersebut, al-‘Adl (keadilan Tuhan) menempati posisi sentral dan berfungsi sebagai fondasi epistemologis bagi doktrin al-Wa’d wa al-Wa’id.
Bagi Mu’tazilah, keadilan Tuhan meniscayakan kepastian balasan atas setiap perbuatan manusia. Tuhan yang adil tidak mungkin menyamakan antara ketaatan dan kemaksiatan, serta tidak mungkin memberikan pahala kepada pihak yang secara moral tidak layak menerimanya. Atas dasar itu, Mu’tazilah menolak pandangan yang menganggap bahwa Allah dapat mengampuni pelaku dosa besar tanpa tobat, sebagaimana mereka juga menolak kemungkinan pahala bagi orang kafir meskipun melakukan amal kebaikan. Fleksibilitas semacam ini dipandang berpotensi menodai prinsip keadilan ilahiyah dan mengaburkan batas moral yang tegas.
Dalam kerangka ini, al-Wa’d wa al-Wa’id tidak dipahami sebagai ancaman simbolik, melainkan sebagai hukum moral yang pasti. Oleh karena itu, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan balasan akhirat harus tunduk pada logika moral yang konsisten dan tidak membuka ruang bagi kontradiksi teologis.
Sekilas tentang Kitab Tanzih al-Qur’an an al-Matha’in
Tanzih al-Qur’an an al-Matha’in merupakan salah satu karya penting dalam tradisi tafsir-teologis Mu’tazilah yang disusun oleh al-Qadhi Abd al-Jabbar (w. 415 H), seorang tokoh rasionalis terkemuka dan pembela utama prinsip keadilan Tuhan. Istilah tanzih dalam judul kitab ini menandakan misi utamanya, yaitu memurnikan Al-Qur’an dari penafsiran-penafsiran yang dianggap mencacati kesempurnaan sifat-sifat Allah.
Berbeda dengan kitab tafsir yang disusun secara sistematis mengikuti urutan mushaf, Tanzih tidak bertujuan menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an. Kitab ini secara selektif membahas ayat-ayat yang kerap dijadikan dasar bagi pandangan teologis yang, menurut Mu’tazilah, problematik. Pendekatan yang digunakan bersifat argumentatif dan polemis, dengan penekanan pada konsistensi rasional dan teologis.
Melalui karya ini, al-Qadhi Abd al-Jabbar memperlihatkan bahwa tafsir Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari kepentingan menjaga koherensi doktrin teologi. Tafsir berfungsi sebagai instrumen pembelaan terhadap nilai tauhid dan keadilan Tuhan dalam sistem pemikiran Mutazilah.
Penafsiran QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8 dalam Tanzih al-Qur’an
Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ • وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa melakukan kebaikan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barang siapa melakukan keburukan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. Al-Zalzalah [99]: 7–8)
Secara lahiriah, struktur kalimat ayat ini tampak bersifat universal. Penggunaan bentuk syarat man yamal memberi kesan bahwa setiap pelaku perbuatan, tanpa pengecualian, akan melihat konsekuensi dari amalnya, baik berupa pahala maupun siksa. Atas dasar inilah sebagian penafsir memahami ayat ini sebagai pernyataan umum bahwa setiap kebaikan; termasuk yang dilakukan oleh orang kafir dan fasik akan memperoleh balasan.
Namun, dalam Tanzih al-Qur’an an al-Matha’in, al-Qadhi Abd al-Jabbar menolak pemaknaan universal tersebut. Ia tidak mempersoalkan bunyi tekstual ayat, tetapi implikasi teologis yang ditimbulkannya. Menurutnya, jika ayat ini dipahami secara mutlak, maka orang kafir dan fasik yang melakukan ketaatan juga berhak memperoleh pahala, sebuah konsekuensi yang bertentangan dengan prinsip keadilan ilahiyah dalam teologi Mutazilah. Kritik ini ia rumuskan dalam bentuk pertanyaan retoris:
“أَلَيْسَ ذٰلِكَ يُوجِبُ أَنْ يَرَى الْكَافِرُ وَالْفَاسِقُ إِذَا فَعَلَا طَاعَاتٍ ثَوَابَهَا، وَذٰلِكَ خِلَافُ قَوْلِكُمْ؟”
“Bukankah ayat ini berarti bahwa orang kafir dan fasik apabila melakukan ketaatan akan melihat pahalanya, dan ini bertentangan dengan pendirian kalian?”
Melalui pertanyaan tersebut, al-Qadhi hendak menunjukkan problem rasional yang muncul apabila ayat dimaknai tanpa batasan moral dan teologis. Untuk menyelesaikan problem ini, ia memperkenalkan prinsip taqyid al-ma’na (pembatasan makna), dengan menegaskan bahwa tidak setiap perbuatan baik secara otomatis melahirkan hak pahala. Ia menyatakan:
“أَنَّ الْخَيْرَ الْمُسْتَحَقَّ عَلَى الطَّاعَةِ هُوَ الثَّوَابُ، وَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّهُ فَاعِلُ الْخَيْرِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مَعْصِيَةٌ أَعْظَمُ مِنَ الطَّاعَةِ…”
“Bahwa kebaikan yang layak mendapat pahala hanyalah berlaku bagi pelaku kebaikan jika tidak disertai dosa yang lebih besar dari ketaatan tersebut.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pahala dipahami sebagai istihqaq (hak yang layak diterima), bukan sekadar konsekuensi mekanis dari perbuatan lahiriah. Hak tersebut hanya terwujud apabila kebaikan tidak disertai oleh ma’siyah a’zam yang lebih besar. Dalam kerangka Mu’tazilah, kekufuran dan kefasikan dikategorikan sebagai dosa terbesar yang secara moral membatalkan nilai ketaatan. Karena itu, meskipun seseorang melakukan perbuatan baik, keberadaan dosa yang lebih besar menggugurkan klaim atas pahala.
Dengan demikian, al-Qadhi tidak menafikan makna ayat, tetapi mengondisikannya secara teologis. Universalitas redaksi ayat dipahami sebagai universalitas bersyarat, bukan mutlak. Penafsiran ini memperlihatkan penerapan konkret doktrin al-Wa’d wa al-Wa’id, di mana janji dan ancaman ilahi dipastikan berjalan secara adil, proporsional, dan konsisten dengan prinsip rasional Mu’tazilah.
