(Foto: KOMPAS.com/Muhamad Syahri Romdhon)
Sengketa tanah adat di Tanah Air kembali menyembul ke permukaan. Kali ini, sengketa tersebut menimpa Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di daerah Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, pada 24 Agustus 2017 silam, PN Kuningan melaksanakan eksekusi atas tanah adat yang diklaim sebagai tanah waris oleh Penggugat/Pemohon Eksekusi yang memenangkan perkara. Proses eksekusi tersebut mendapat perlawanan keras dari komunitas Sunda Wiwitan dan akhirnya dinyatakan gagal oleh PN Kuningan.
Objek eksekusi itu sendiri adalah tanah dan bangunan seluas 224 meter persegi yang terletak di Blok Mayasih. Pemohon Eksekusi, yang merupakan salah satu keturunan dari pendiri komunitas Sunda Wiwitan, mengklaim sebagai ahli waris yang sah dan menyatakan bahwa objek eksekusi itu bukanlah tanah adat, melainkan tanah waris.
Menurut salah satu pemuka adat, Pemohon Eksekusi sebelumnya juga pernah menjual aset tanah adat yang lain, yakni tanah “Leuweung Leutik” di kawasan Lumbu. Atas tindakan tersebut, para pemuka adat mengajukan gugatan ke PN Kuningan. Namun, PN Kuningan memutuskan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Hingga saat ini, sengketa tanah adat tersebut masih membayang-bayangi komunitas adat Sunda Wiwitan Cigugur yang tengah mempersiapkan Upacara Adat Seren Taun pada tanggal 22 Rayagung 1950, bertepatan dengan tanggal 14 September 2017 yang akan datang.
Perlawanan keras masyarakat adat Sunda Wiwitan dalam perkara tersebut didasarkan pada keyakinan mereka bahwa tanah-tanah adat yang diwarisi oleh leluhur mereka merupakan hak-hak komunal yang tidak dapat diprivatisasi oleh siapapun, termasuk keluarga dan keturunan pendiri komunitas Sunda Wiwitan.
Sejak masa silam, komunitas adat ini tunduk pada hukum atau ketentuan yang ditulis sesepuh adat mereka, yang disebut dengan manuskrip (nawala). Dalam manuskrip itu disebutkan bahwa kepemilikan tanah oleh sesepuh adat adalah milik komunal dan tidak dapat dibagi waris. Tujuan kebijakan tersebut adalah dalam rangka menghindari penguasaan aset secara pribadi yang dapat berdampak pada hilangnya kesadaran mempertahan dan melestarikan keberlangsungan komunitas yang didasarkan atas nilai sejarah dan budaya luhur.
Dalam keyakinan masyarakat Sunda Wiwitan, tanah adat yang mereka pertahankan itu tidak hanya berdimensi sosiologis, yakni untuk kesejahteraan anggota komunitas, tetapi juga berdimensi religius. Keyakinan yang terakhir ini bertautan erat dengan ajaran “Igama Djawa Pasundan” atau “Agama Djawa Soenda” yang dikembangkan oleh leluhur mereka, Pangeran Sadewa Alibassa Kusumah Widjaya Ningrat atau yang dikenal dengan Pangeran Madrais atau Kyai Madrais.
Ajaran itu didasarkan pada ajaran Leluhur Sunda lama yang dikenal dengan sebutan “Pikukuh Tilu” atau “Tri Tangtu”, yaitu hubungan trilogis antara Tuhan, Manusia dan Alam. Filosofi dasar di balik ajaran ini adalah komitmen menjaga keseimbangan dalam kehidupan baik secara vertikal maupun horizontal. Ajaran ini antara lain tercermin dalam doktrin teologi lingkungan (eco-theology) Sunda Wiwitan yang membagi ekosistem ke dalam tiga bagian; “Leuweung Larangan”, “Leuweung Tutupan” dan “Leuweung Garapan”.
Doktrin inilah yang menjadi salah satu katalisator bagi mereka untuk mempertahankan tanah adat secara mati-matian dalam proses eksekusi lahan di Blok Mayasih, termasuk memperjuangkan kembali penguasaan atas tanah “Leuweung Leutik” di kawasan Lumbu yang dijual oleh Pemohon Eksekusi.
Konflik pertanahan yang menimpa komunitas Sunda Wiwitan ini semakin menambah ‘daftar hitam’ diskriminasi negara terhadap hak-hak komunitas adat. Seperti dikeluhkan oleh salah satu pemuka adat Sunda Wiwitan, dalam konflik pertanahan yang menimpa mereka, pengadilan melihat sengketa dengan kerangka hukum waris kolonial, bukan dengan kerangka hukum adat lokal. Dengan kata lain, pengakuan pemerintah terhadap hukum adat masih setengah hati.
Padahal, eksistensi hukum adat memiliki landasan konstitusional yang kuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hukum adat itu sendiri merupakan salah satu sub-sistem hukum nasional—selain hukum Islam dan hukum Barat—yang diakui dalam bingkai pluralisme hukum nasional sebagaimana diatur dalam butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Selain itu, hak-hak komunal masyarakat adat juga diakui dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang lebih dikenal dengan istilah “hak ulayat”. Meskipun demikian, secara faktual hak-hak konstitusional masyarakat adat kerap ‘dikebiri’ oleh pemerintah.
Dalam kasus sengketa tanah adat komunitas Sunda Wiwitan, pengadilan cenderung memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan menggunakan kerangka hukum waris dan berpaku pada bukti-bukti formal, seraya meminggirkan legitimasi hukum adat, mengabaikan peraturan perundang-undangan lain seperti UUPA dan membungkam hak-hak masyarakat adat untuk meraih keadilan substantif. Padahal, Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman secara tegas menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Fakta ini sekaligus mendemonstrasikan bahwa kebanyakan hakim di negeri ini masih terkungkung dalam logika hukum positivistik dengan semangat formalisme hukum yang kaku, hening dan tertib, namun kekurangan kompleksitas, detail, dan konteks (Hawkins, 1986: 1181). Tamanaha menggambarkan tradisi ini sebagai “mitos yurisprudensi mekanis” di mana hakim menemukan hukum dan memutuskan kasus secara mekanis (Tamanaha, 2009: 694). Alhasil, hakim cenderung menjadi “mesin ajudikasi berbasis buku” (Burt Neuborne, 1992: 420-421), yang mendasarkan ketaatan pada aturan yang ketat dan penafsiran literal dalam rangka memenuhi kehendak mereka untuk memiliki hukum yang konsisten dan hasil kasus yang dapat diprediksi (Posner, 2008: 239-240).
Ironisnya, jangankan memperoleh keadilan substantif, upaya masyarakat Sunda Wiwitan untuk meraih keadilan prosedural dalam proses persidangan juga ‘dikebiri’ oleh pengadilan. Dalam proses persidangan, kesaksian dari para Pupuhu Adat tidak dijadikan pertimbangan hukum karena mereka tidak disumpah dengan alasan menganut Agama Leluhur Sunda Wiwitan. Dengan kata lain, keyakinan yang dianut oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh pemerintah sehingga sumpah mereka tidak diterima oleh Majelis Hakim.
Perlakuan diskriminatif semacam ini pada dasarnya kerap dialami oleh penghayat kepercayaan pada umumnya. Salah satunya dapat dilihat dalam kebijakan pengosongan kolom agama pada KTP bagi penghayat kepercayaan, yang seringkali menghambat pemenuhan hak-hak dasar mereka. Perlakuan diskriminatif terhadap keyakinan masyarakat adat ini jelas bertentangan dengan semangat Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 28I ayat (2) jo. Pasal 28E ayat (2) jo. Pasal 29 UUD 1945.
Berkaca pada peristiwa tersebut, sudah saatnya pemerintahan memenuhi hak-hak komunal masyarakat adat melalui kebijakan reforma agraria berbasis kearifan lokal dan menjamin hak-hak konstitusional mereka untuk memeluk agama dan keyakinan sesuai hati nurani mereka. Janji telah terucap, tinggal mewujudkannya dalam perbuatan.