Akibat penayangan cerpen berjudul ‘Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya’ itu, situs daring suarausu.co sempat ditutup selama hampir sepekan oleh rektorat Universitas Sumatera Utara (USU). Terakhir, hari Senin (25/3/2019), seluruh jajaran redaksi Suara USU diberhentikan, karena tak mau menuruti perintah untuk mencabut cerpen tersebut.
Melihat reaksi petinggi rektorat USU yang demikian, saya yakin, mereka pasti belum pernah membaca karangan pengarang-pengarang besar di Indonesia yang isinya bertabur kata-kata jorok dan tak jarang mengandung konten LGBT, yang lulus sensor di Indonesia dan laris manis di pasaran.
Bagaimana saya tidak menyimpulkan demikian. Sekadar membaca kata ‘sperma’ saja, mereka sudah kalang kabut. Mereka menganggap cerpen itu terlalu vulgar, dan–yang menggelikan–mempromosikan LGBT karena tokoh dalam cerpen itu seorang lesbian.
Rektorat USU memang tidak sampai membubarkan lembaga Suara USU; mereka hanya “memecat” para kru redaksinya saja. Tapi, tindakan itu tetap tak dapat dibenarkan. Dalam hal ini, USU bukan hanya konyol soal LGBT, tapi juga represif terhadap kebebasan berpikir. Ini jelas akan membunuh atmosfer kekritisan mahasiswa mereka sendiri.
Sikap panik petinggi USU atas beredarnya isu LGBT di kalangan kampus mereka seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Pada Februari 2016 lalu, saya berkesempatan membuat reportase mengenai keberadaan komunitas LGBT di USU. Komunitas itu bernama LGBT of USU dan mendeklarasikan diri di Facebook. Rektor USU, Runtung Sitepu (saat itu baru beberapa bulan menjabat) menegaskan bahwa LGBT melanggar peraturan akademik.
“Sanksi pertama berupa peringatan. Jika masih belum mengindahkan, kami skors. Kalau sudah diskors masih juga tak mengindahkan, akan kami pecat. Pecat secara tidak hormat,” katanya kala itu dengan berapi-api saat saya konfirmasi.
Sikap Rektor USU itu sejalan dengan imbauan Menristek Dikti Mohamad Nasir saat itu yang memang melarang LGBT di seluruh kampus di Indonesia, menyusul keberadaan SGRC (support group and research center) untuk LGBT di beberapa kampus.
Yang pasti, USU hanyalah satu dari sekian banyak kampus yang panik berlebihan terhadap masalah LGBT. Tahun 2017 lalu, misalnya. Kita masih ingat ketika Universitas Andalas (Unand) di Padang, geger lantaran mencantumkan persyaratan menjadi mahasiswa di Unand yang salah satunya mewajibkan calon mahasiswa untuk menandatangani surat pernyataan bebas LGBT saat pendaftaran ulang.
Pada level ini, itu berarti kampus memandang LGBT sama bahayanya dengan narkoba. Kalau sudah begitu, saya usulkan kepada negara agar membentuk lembaga yang bertugas untuk membasmi sekaligus mengecek seseorang LGBT atau tidak. Ya, semacam Badan Narkotika Nasional (BNN) gitu deh, yang berwenang mengeluarkan surat bebas narkoba. Setelah memeriksa, lembaga itu akan mengeluarkan surat bebas LGBT kepada terperiksa. Surat itu nantinya bisa dipersyaratkan kepada calon mahasiswa, calon abdi negara, dan boleh juga untuk calon-calon menantu yang mencurigakan.
Tunggu apa lagi? Ini peluang bisnis. Satu surat bisa dihargai Rp 290 ribu. Atau kalau bisa lebih mahal dari itu, kenapa tidak? Kan lumayan, untuk dikorupsi, eh, untuk menambah khas negara. Ingat, ini LGBT, jadi wajar saja kalau mahal.
Tapi, awas, jangan sampai salah bikin nama lembaga. Kalau bisa namanya jangan Badan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Nasional (B-LGBT-N), seperti halnya BNN. Sebab dikhawatirkan, nanti bukannya membasmi, malah menimbun dan memasok LGBT pula. Bikinlah nama lembaga yang agak kreatif sekaligus sangar, semisal Badan Pembasmi Bencong, Gay, Lesbian dan Sejenisnya.
Namun, yang gasal bagi pikiran: mengapa kampus bisa sepanik itu menghadapi LGBT? Tanpa bermaksud mengajukan pembelaan maupun pembenaran terhadap LGBT, bukankah kampus seharusnya menjadi tempat yang terbuka bagi semua jenis keadaan manusia? Bukankah kampus itu habitat di mana segala kemungkinan dalam hidup dapat diterima dengan tangan terbuka, melalui kajian dan riset yang terus-menerus?
Sepengetahuan saya, kampus adalah tempat di mana kebebasan berpikir dijunjung tinggi. Jikapun sebuah kampus hendak melarang keberadaan LGBT di lingkungannya, akan lebih adil jika itu dilakukan setelah melalui proses kajian ilmiah. Bukan diputuskan secara saklek berlandaskan moral ataupun dogma.
Misalnya (ini misalnya lho ya), setelah diteliti, orang-orang LGBT punya potensi untuk menjadi psikopat, lalu menjadi pembunuh berdarah dingin. Atau, setelah dikaji-kaji, orang-orang LGBT ternyata bisa menularkan penyakit menular seksual kepada setiap orang yang mereka sentuh, sehingga orang yang terkena sentuh tidak hanya ketularan menjadi LGBT, tapi juga akan mati perlahan-lahan seperti pengidap HIV/AIDS.
Kalau sudah begitu, barulah kiranya cocok untuk melarang LGBT masuk kampus. Barulah wajar jika rektorat panik berlebihan begitu mendengar orang-orang LGBT berkeliaran di kampus, atau ketika ada mahasiswa yang nulis novel tentang LGBT.
Kalau tidak ada temuan yang seperti itu tapi tetap panik? Ya, itu lucu namanya. Kampus kepanasan ketika mahasiswanya berpikir soal kesetaraan gender, sementara cuek saja melihat mahasiswa dan dosennya tidak mampu menulis dan meneliti dengan baik.
Kampus adalah institusi sains dan ilmu pengetahuan, bukan lembaga agama. Bukan gereja atau masjid. Atau, kalaupun memang tetap ingin mengadopsi prinsip-prinsip agama, kampus perlu mengganti rektornya dengan uskup agung atau imam besar. Biar kafah, biar nggak setengah-setengah.
Jika pun LGBT semata-mata memang harus dipandang dengan kaca mata moral atau agama, penolakan terhadapnya rasa-rasanya kok, ya, akan jauh lebih manusiawi dan religius jika tidak sampai pada tindakan diskriminatif–apalagi dengan kekerasan, seperti yang sering kita dengar. Lagipula, bukankah inti dari ajaran agama sejatinya adalah mengajarkan kelembutan, cinta kasih, dan keadilan?
Soal kebenaran, soal apakah LGBT itu benar-benar dibenci Tuhan atau tidak, saya kira hanya Tuhan yang tahu. Bukankah (seharusnya) begitu, Bapak-Ibu petinggi kampus yang saleh lagi bermoral?