Rabu, April 24, 2024

Karen’s Diner: Representasi Era Fifties yang Kelam

Lugina Nurul Ihsan
Lugina Nurul Ihsan
Mahasiswa paruh waktu. Hidup untuk bekerja, bekerja untuk hidup.

Baru-baru ini, Karen’s Diner telah resmi dibuka di Jakarta. Karen’s Diner, sebuah restoran unik yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini membuat saya penasaran akan eksistensinya. Apalagi, konsep yang diusung terbilang aneh dan para pelanggan yang mengunjunginya pun bisa dikatakan aneh pula.

Saat pertama kali melihat potongan video pelayanan di Karen’s Diner, saya terdiam keheranan. Bagaimana bisa para pembeli yang datang kegirangan saat dimarahi oleh pelayan-pelayan yang jutek. Walau, sepertinya saya pun akan ikut tertawa seperti pengunjung lainnya kalau sudah tahu bahwa yang dilakukan para pelayan tersebut hanyalah gimmick semata. Guna mem-branding restorannya yang memiliki motto: Great Food, Terrible Service.

Sesuai motto-nya itu, Karen’s Diner memiliki pelayanan yang buruk khususnya yang tecermin dari para pelayannya. Alih-alih melayani, pelayan-pelayannya malah berbuat hal yang kasar: melempar menu dan makanan ke meja, memaki atau memarahi pelanggan, serta berdebat dengan para pelanggan.

Sosok pelayan dengan karakter buruk itu diadaptasi dari “Karen”, cercaan atau slur untuk wanita kulit putih berusia sekitar 30 – 50 tahun yang tinggal di pinggiran kota di Amerika Serikat. Pelayannya pun memang dipanggil dengan sebutan Karen. Karen memiliki stereotype negatif, karena ia membuat kericuhan, dikenal rasis, merasa paling benar, egois, bias kelas, arogan, juga sering berlaku seenaknya. Tak heran, jika ada orang yang menyebalkan, seringkali idiom yang satu ini muncul: “your such a Karen”.

Sumber lain ada yang mengatakan bahwa cercaan Karen digunakan oleh orang kulit hitam untuk orang kulit putih selama masa perang saudara dahulu. Saya pikir ini ada hubungannya pula dengan mengapa Karen’s Diner mengusung desain interior bergaya Amerika di tahun 1950.

Mengapa cercaan Karen relevan dengan gaya desain restorannya? Ada apa dengan Amerika di tahun 1950-an?

Di masa itu, selepas Perang Dunia II, Amerika Serikat memasuki kejayaan ekonominya. Kalau kata Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, “Amerika saat ini berada di puncak dunia,”. Sepertinya prediksi yang ia katakan tahun 1945 itu benar adanya. Perekonomian Amerika Serikat berkembang cepat, ini terlihat dari kesejahteraan ekonomi warganya, khususnya kelas menengah ke atas. Mereka membangun rumah baru di pinggiran kota, membeli mobil, dan memakai pakaian mewah. Sampai-sampai, parkiran siswa di sekolah pun diisi penuh oleh mobil-mobil yang berjejeran (Cosgrove, 2014).

Para sejarawan menggunakan kata “boom” untuk mendeskripsikan dekade ini. Boom ini bukan hanya mengacu pada perkembangan perekonomian dan pinggiran kota saja, khususnya juga bagi ledakan bayi yang terjadi. Di masa itu, para warga Amerika memiliki optimisme yang tinggi akan masa depan kehidupannya, alhasil mereka ingin mempunyai anak yang banyak. Dalam satu dasawarsa itu, sekitar 4 juta bayi muncul ke dunia setiap tahunnya. Ledakan bayi ini akhirnya mereda pada 1964 dengan terlahirnya hampir 77 juta “baby boomer”. Karen sendiri merupakan seorang boomers.

Selain itu, masih banyak kejadian penting lain di tahun 1950-an, termasuk catatan hitam terkait Amerika Serikat. Ialah soal gerakan hak sipil yang didengungkan. Di masa ini, sayangnya yang mengalami perkembangan ekonomi hanya orang kulit putih saja, tidak dengan orang kulit hitam yang terpinggirkan. Ada ketidakadilan, yang sebenarnya telah ada sejak lama. Diskriminasi yang telah mengakar.

Tahun 1950, Mahkamah Agung Amerika Serikat menetapkan segregasi antara sekolah bagi orang berkulit putih dan yang berkulit hitam. Jangankan sekolah, di masa ini penumpang bus saja dibeda-bedakan. Rangkaian diskriminasi terus bergulir diiringi dengan perlawanan (Lewis, 2020). Gerakan hak sipil kemudian diperjuangkan, sekelompok orang Amerika melawan diskriminasi rasial yang terjadi kepada ras Afrika-Amerika yang telah berlangsung selama berabad-abad itu.

Meski perang dunia telah berakhir, di masa ini peran lelaki dan perempuan yang erat dengan masa itu juga ternyata malah dipatenkan. Lelaki bekerja, dan perempuan di rumah. Muncul budaya patriarkis. Jadilah kehendak perempuan dibatasi, diambil haknya, perempuan hanya sebagai objek kepuasan lelaki.

Mirisnya, hal ini pula menjadi representasi dari kasus-kasus yang terjadi di Karen’s Diner. Restoran yang sudah sukses di empat negara: Australia, Inggris, Amerika Serikat, dan New Zealand ini pernah merampas hak asasi pelayannya (Gracia, 2022). Seperti yang terjadi pada Molly Harris, yang tidak dihiraukan oleh Manajernya saat ia melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.

Saya kemudian bertanya-tanya mengapa Duo CEO: Aden Levin dan James Farrel mengusung restoran bergaya Amerika Serikat, apalagi, Amerika di tahun 1950-an? Katanya sih meski pelayanan yang disajikan dipoles citra buruk, mereka berharap pelanggan tetap mendapat pengalaman yang menyenangkan dengan menikmati humor bersama para stafnya di restoran ini. Ini berhubungan dengan waktu ketika gagasan terkait restoran ini muncul, yakni di masa pandemi Covid-19 tepatnya tahun 2021, untuk menawarkan suasana baru katanya.

Walau menurut Ahli Perilaku Aaron McEwan, hal ini bisa berpotensi berbahaya karena saat pandemi terjadi, pembatasan sosial secara internasional memunculkan masyarakat yang tersegmentasi sehingga riskan apabila mengusung konsep “marah-memarahi” di saat masyarakatnya memiliki keadaan mental yang kurang baik.

Disamping tujuannya tadi yang entah tercapai atau tidak, apalagi jika diterapkan di Indonesia nanti yang memiliki mental yang agak sensitif, saya hanya mempertanyakan satu hal.

Begini, sudah jelas restoran ini memang merepresentasikan tahun 1950-an yang kelam, tapi mengapa para pembeli dan warganet dunia banyak yang mewajarkan iklim yang dibawakan Karen’s Diner? Mengingat, meski ada peraturan khusus di Karen’s Diner untuk tidak rasial dan lainnya, tapi tetap saja adegan-adegan serupa tetap terjadi. Contoh kecil misalnya, pembeli yang datang masih saja dikomentari penampilannya. Bukankah seharusnya representasi sejarah semacam ini tidak dilanggengkan melainkan diperingati?

Walau sayangnya lagi, diskriminasi terhadap orang kulit hitam belum menjadi sebuah sejarah, sebab bukanlah kejadian masa lalu, masih ada dan masih terjadi.

Lugina Nurul Ihsan
Lugina Nurul Ihsan
Mahasiswa paruh waktu. Hidup untuk bekerja, bekerja untuk hidup.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.