Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja semakin banyak dibicarakan belakangan ini baik dari sisi akademis maupun praktik hukum karena pemerintah menggunakannya sebagai konsep aturan perundang-undangan yang bermetodekan “omnimbus law” dengan tujuan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Persoalan yang timbul dari Rancangan Undang-Undang ini adalah metode penggabungan begitu banyak Undang-Undang dalam satu Rancangan Undang-Undang. Di dalam Rancangan Undang-Undang ini terdapat 11 klaster dengan isi 174 pasal, tetapi menyisir kurang lebih seribu pasal yang ada dalam 79 Undang-Undang Multisektor.
Dengan bus yang kebesaran ini tentu ada banyak faktor yang terimbas hingga memunculkan perubahan paradigma yang sangat mendasar dan cara pandangan yang sangat besar pada sektor ini, yang dapat dikatakan juga cenderung inkonstitusional.
Sebagian besar dari sektor tersebut sudah banyak yang dianalisis, khususnya yang berkaitan dengan perizinan di klaster lingkungan, kehutanan, dan hal lainnya. Akan tetapi, jika dibaca dengan seksama, ada satu sektor yang tak kalah penting untuk dibahas ialah bagaimana jaminan atas memperoleh pendidikan warga negara di negaranya sendiri.
Secara umum, pengaturan pada sektor pendidikan yang menjadi persoalan pada RUU Cipta Kerja dimulai dari ketentuan Pasal 63 yang menghapuskan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang sebelumnya melekat dan menjadi kewajiban sebagaimana diatur melalui Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi yang selengkapnya bertuliskan: (a) akuntabilitas, (b) transparansi, (c) nirlaba, (d) penjamin mutu; dan (e) efektivitas dan efisiensi.
Prinsip nirlaba itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan Pendidikan.
Oleh karena itu penghapusan prinsip nirlaba ini menjadi persoalan serius karena apabila ketika prinsip nirlaba itu dihapus, maka sistem pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai “komoditi” sehingga tidak dapat lagi menjamin kebutuhan-kebutuhan warga negara untuk memperoleh pendidikan.
Sistem tersebut diletakan pada sistem ekonomi “kapitalis”, sistem yang didasarkan pada masyakarat yang mempunyai tingkat kapital ekonomi yang kuat maka dapat memperoleh pendidikan tersebut sehingga masyarakat miskin tidak lagi mendapatkan jaminan yang adil.
Selain wacana ketidakadilan dalam penghapusan prinsip nirlaba dalam pengelolaan pendidikan tinggi, komersialisasi pengelolaan pendidikan tinggi juga dikritisi oleh Derek Bok, salah satu dosen terkemuka di Harvard University, dalam bukunya “Universities In The Market Place, The Commercialization of Higher Education”.
Derek Bok berpendapat bahwa komersialisasi pendidikan tinggi dapat merusak nilai-nilai fundamental akademik yang ingin dicapai dalam sebuah pendidikan itu sendiri. Penelitian-penelitian akademik tidak lagi dapat objektif karena pendanaan pendidikan dapat saja terjadi dari pemegang kapital yang kuat.
Menilik persoalan yang telah dijelaskan di atas sesungguhnya peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memberikan rambu-rambu bahwa sistem hukum nasional mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan hukum warga negaranya untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Hal ini dapat dilihat dari Peraturan Perundang-Undangan yang paling tinggi di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalam alinea ke empat bagian Pembukaan menyebutkan, “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dari penggalan alinea keempat di atas, sejak saat dideklarasinnya kemerdekaan oleh Ir. Soekarno dan Bung Hatta, Indonesia sudah bercita-cita untuk meningkatkan kecerdasan bangsanya.
Cita-cita tersebut tampak pada Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang,.
(4) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Penghilangan prinsip nirlaba atau komersialisasi pengolaan pendidikan tinggi dalam RUU Cipta Kerja bermuara pada prinsip kapitalisasi yang tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional Indonesia dan internasional, akan tetapi juga memberikan ketidakadilan di masyarakat bahkan dapat juga merusak nilai-nilai akademik itu sendiri.
Pemerintah tidak dapat mengalihkan tugas dan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan kepada pihak lain mengingat sebagaimana amanat konstitusi bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai level dan jenis menjadi tanggung jawab pemerintah tanpa mengurangi hak masyarakat untuk berpartipasi. Prinsip nirlaba masih tetap diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan agar akses mendapatkan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara Indonesia tetap terlindungi.
Untuk itu, perbaikan draft RUU Cipta Kerja mutlak diperlukan, khususnya pada penyempurnaan ketentuan yang mengandung permasalahan konstitusional dan menyesuaikannya dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ada baiknya, DPR bersama Pemerintah tidak perlu terburu-buru, apalagi saat ini Indonesia masih mengalami pandemi Covid-19 yang butuh penanganan dan atensi yang khusus.
Pengayaan wacana publik dan diseminasasi, sosialisasi, dan aspirasi masih harus dilakukan terlebih dahulu. Ada pembicaraan kembali yang harus dilakukan atas logika RUU Cipta yang secara nyata bertentangan dengan konstitusi.