Akhir-akhir ini lembaga mahasiswa mengalami apa yang dinamakan sebagai sebuah kemunduran. Kemunduran lembaga kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tentu sangat merisaukan. Kerisauan yang muncul didasari karena peran besar kedua lembaga tersebut dalam mengakomodir aspirasi mahasiswa. Bagaimana tidak?
Sebagai lembaga kampus yang punya otoritas dalam menjalankan suara mahasiswa seharusnya betul-betul berjalan dalam kooridor yang sesuai dengan nilai-nilai mahasiswa. Sumpah mahasiswa yang setiap tahun didengungkan kepada mahasiswa baru (Maba) seharusnya tidak hanya berdiam sebagai hafalan isi kepala semata.
Lembaga mahasiswa punya peran penting sebagai medium utama menjembatani suara mahasiswa kepada birokrasi kampus. Bukan menjadi lembaga yang berdiam dan dikungkungi oleh birokrasi. Hal ini menjadi persoalan bagi lembaga mahasiswa jika berada dalam area yang dikangkangi birokrasi.
Jika berkaca dari pergerakan mahasiswa selama ini, pergerakan yang dilakukan mahasiswa hanya bergeming dalam urusan memenuhi panggilan sebagai agen of controll terhadap pemerintah. Tetapi dalam internal mahasiswa, justeru panggilan untuk menjembatani apalagi mengontrol birokrasi kampus belum sepenuhnya dilakukan.
Sebagai mahasiswa yang punya perhatian besar kepada lembaga mahasiswa, saya meyakini mahasiswa hari ini masih menyimpan perasaan takut terhadap birokrasi kampus. Perasaan tersebut makin mengakar dalam diri mahasiswa dan semakin menggeliat hingga tidak mampu menjadi mahasiswa yang benar-benar menerobos batas-batas kemahasiswaan.
Maksudnya, mahasiswa dengan sikap seperti ini malah berdiam di dalam ketek para birokrasi. Sudah menjadi kekhawatiran kita bersama, lembaga mahasiswa kehilangan arah dan tidak mampu meneruskan aspirasi mahasiswa.
Jika ingatan kita kembali berkiblat pada pesta demokrasi kampus, biasanya setiap calon selalu mengusung gagasan yang menarik. Slogan dari para calon memenuhi hampir semua majalah dinding (Mading) dan bahkan ramai di media sosial. Ini dilakukan demi mendulang suara dari mahasiswa.
Dalam kampanye akbarnya, setiap calon menyuguhkan program kerja yang menarik. Tidak kalah menariknya sampai-sampai ada calon yang bahkan menyuguhkan terobosan baru seperti akan menurunkan keuangan kampus.
Langkah mereka terbilang ekstrim sekaligus dipertanyakan. Tetapi terlepas dari semua itu, hak mereka sebagai calon tidak bisa diganggu gugat. Namun kenyataannya, meskipun tidak bisa diganggu gugat, nyatanya setiap calon tidak mampu menjalankannya.
Lembaga kampus benar-benar kehilangan orientasi nyata dalam memenuhi panggilan sebagai media aspirasi mahasiswa. Kita tentu berharap lembaga mahasiswa bisa menyadari akan peran besar yang diemban oleh mahasiswa. Kenyataannya harapan tersebut menjadi layu dan bahkan mengikis hingga mati.
Lembaga mahasiswa hanya berdiam tetapi tidak nyaring. Taring lembaga telah keropos karena kesadaran mahasiswa untuk menjaga marwah lembaga mahasiswa hanya sebatas pada euforia demokrasi. Selebihnya, lembaga hanyalah sebuah nama dan ruangan yang tidak melahirkan ide dan gagasan baru.
Di sini sebetulnya apa yang saya bilang tadi, orientasi lembaga semakin buram. Artinya keberadaan lembaga mengalami keredupan yang cukup memprihatinkan dalam menyerap aspirasi mahasiswa. Kita benar-benar menjadi mahasiswa yang semakin dininabobokan dengan minimnya ide.
Rekonstruksi Kesadaran
Hal mendasar yang paling dibutuhkan ditengah merebaknya kesadaran mahasiswa akan lembaga kemahasiswa, ialah melalui jalan rekonstruksi. Merekonstruksi kesadaran mahasiswa sangat penting bagi terwujudnya lembaga mahasiswa yang punya orientasi memantapkan lembaga.
Saya mengakui, sebagai mahasiswa, saya belum sepenuhnya punya kesadaran untuk berkontribusi demi kemajuan lembaga mahasiswa. Minimnya kesadaran untuk menyumbang ide mengakibatkan partisipasi dalam urusan lembaga menjadi menurun.
Pada umumnya yang dibutuhkan dari mahasiswa merupakan kesadaran untuk terlibat dan melibatkan diri dalam mendukung kemajuan lembaga. Kondisi lembaga yang buruk tanpa didukung dengan kesadaran mahasiswa untuk mengembalikannya hanya akan sia-sia. Bahkan lembaga mahasiswa akan semakin tenggelam dalam arus ketidakpedulian mahasiswa sendiri.
Dengan kondisi seperti ini, ditengah merebaknya kesadaran tersebut, rekonstruksi kesadaran kian penting dan terus dilakukan. Tanggung jawab mahasiswa untuk mengembalikan marwah lembaga menjadi penting dan harus diupayakan. Lewat sikap seperti ini saya yakin, lembaga mahasiswa akan terus kita gaungkan bagi terserapnya aspirasi mahasiswa.
Sinergitas
Dalam urusan kemajuan lembaga mahasiswa, langkah konkrit yang perlu diupayakan adalah membangun sinergitas. Dalam hal ini lembaga mahasiswa dan birokrasi kampus perlu mengedepankan ruang sinergi dan komunikasi sehingga mewujudkan lembaga dan birokrasi yang sejalan.
Dalam kacamata saya, sinergitas yang berjalan antara lembaga mahasiswa dan birokrasi harus diupayakan dengan baik. Namun bukan berarti sinergitas antara keduanya akan menimbulkan keberpihakan lembaga mahasiswa kepada birokrasi. Hal ini tidak kita biarkan.
Di sini lembaga mahasiswa sebagai media yang menyerap aspirasi mahasiswa harus bisa menjadi kontrol penuh dan mengkawal birokrasi dalam urusan pemenuhan aspirasi mahasiswa. Sehingga bukan melahirkan lembaga yang mudah dikangkangi oleh birokrasi tetapi mampu memantapkan lembaga mahasiswa yang berdiri dengan bersandar pada mahasiswa.
Sebetulnya jika hal ini dilakukan oleh mahasiswa yang saat ini mengemban amanah mahasiswa, saya bisa memastikan bahwa lembaga mahasiswa akan mudah berjalan dalam kepastian bagi terwujudnya aspirasi mahasiswa.
Dalam konteks yang lebih luas, lembaga mahasiswa harus mampu mengambil sikap yang lebih sigap terhadap kebijakan kampus. Artinya, dalam setiap urusan kebijakan yang melibatkan mahasiswa, lembaga kampus harus hadir sebagai wahana yang mampu mendobrak kebijakan jika itu tidak berpihak pada mahasiswa.
Kesalahan yang paling memalukan bagi lembaga mahasiswa, ketika lembaga justeru hadir sebagai bayangan yang kehilangan diri sendiri. Bayangan lembaga dapat kita analogikan sebagai sebuah kehilangan arah lembaga untuk menjawab keresahan mahasiswa.
Di sini saya ingin menerangkan, bahwa lembaga mahasiswa perlu membawa dirinya ketengah-tengah mahasiswa bukan sebagai bayangan tetapi secara nyata. Di sana ada pekerjaan yang memang harus diselesaikan oleh lembaga mahasiswa terhadap keresahan mahasiswa. Di situlah saya berpikir tugas moral lembaga mahasiswa melekat dalam setiap mahasiswa yang punya otoritas untuk mengkawal aspirasi mahasiawa kepada birokrasi.
Pada akhirnya, kampus akan lebih bergeming jika lembaga mahasiswa juga ikut bergeming. Bukan menjadi lembaga berlabel yang muncul ditengah ritus-ritus perebutan pucuk pimpinan lembaga. Sementara selepas itu hadir hanya sebagai bayangan semu bagi mahasiswa.
Kita tidak mengharapkan lembaga mahasiswa muncul dengan sikap demikian. Karena yang paling urgen untuk diselesaikan ialah lembaga mahasiswa betul-betul hadir dengan aksi nyata bagi mahasiswa.