Sabtu, April 20, 2024

Kampanye Digital di Indonesia, Berebut Suara Rakyat

Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas, Praktisi IT yang tinggal bahagia bersama keluarganya di Klaten dan kadang di Jakarta.

Peter Thiel dalam bukunya Zero to One, menyebutkan adanya perbedaan yang tegas antara globalisasi dan inovasi. Inovasi adalah suatu hal yang sama sekali baru. Sesuatu yang dapat mengubah tatanan keadaan menjadi hal baru yang diadopsi secara massal.

Globalisasi, bisa disederhanakan adalah sekedar copy paste apa yang terjadi di bagian dunia lain yang bisa berjalan (meskipun juga hal baru), ke dalam konteks lokal tanpa adanya (minim) proses pelokalan.

Sebagai contoh, bila di Jepang sudah menggunakan kereta super cepat, Indonesia meskipun hal baru tidak bisa dikatakan sebagai inovasi. Lain halnya dengan Gojek, meskipun di Amerika Serikat sudah lazim orang menggunakan Uber sebagai alat transportasi alternatif sehari-hari, namun Gojek membawa ini ke ranah baru, dengan akulturasi budaya Indonesia.

Di mana kepemilikan sepeda motor di Asia Tenggara, termasuk Indonesia mencapai lebih dari 80%. Maka yang ditiru dari Uber adalah proses bisnisnya. Akan tetapi eksekusi gagasannya menjadi sangat Indonesia sekali, mendaringkan Ojek Pangkalan! Ini baru layak disebut inovasi, membuat suatu perbedaan di mana suatu gagasan atau metode dari Zero (tidak berhasil) menjadi One (berhasil).

Seperti disebutkan pada artikel sebelumnya, pemilihan suara pada era ini nampaknya tidak bisa terlepas dari dunia digital. Lantas apa inovasi yang dapat dilakukan dalam konteks ini, dari sudut pandang kontestan politiknya?

Tentu saja, iklan daring seperti iklan di Facebook, Twitter, atau Google dan membayar suatu artikel yang dibuat dalam media digital terpilih sudah pula dipikirkan oleh kontestan lawan. Maka hal-hal tersebut di atas, sangatlah jauh bila disebut sebagai inovasi dalam rangka pemilihan suara. Ini sama saja memindahkan poster-poster, spanduk-spanduk, serta baliho baliho super besar yang tercecer di jalanan ke dunia digital. Secara intuisi hal ini terlihat produktif, tapi sebenarnya sangat kontra produktif.

Kenapa iklan digital itu kontra produktif dalam hal pemilihan suara? Pola pikir iklan sebagai alat marketing disalahartikan sebagai cara memenangkan pemilihan suara dalam pemilu atau pilkada (mendapatkan suara). Alat dan cara tentunya berbeda. Alat marketing dalam hal ini iklan digital, harus diposisikan sebagai alat yang paling dasar untuk mendapatkan popularitas, bukan alat untuk mendapatkan elektabilitas.

Dalam ilmu bisnis terdapat perbedaan mendasar antara marketing dan sales, di mana marketing hanya berbicara tentang value, sedangkan sales berbicara tentang hasil akhir penjualan. Hal ini berlaku juga untuk pemilihan suara.

Iklan sebagai alat marketing harusnya berbicara tentang value dari kontestan politik (sehingga mendongkrak popularitasnya), bukan sebagai alat untuk mendapatkan suara dari calon pemilih. Marketing (dalam hal ini termasuk iklan daring) dalam hal kampanye digital seharusnya diposisikan sebagai pondasi untuk mendapatkan data calon pemilih serta meningkatkan popularitas kontestan politik tapi tidak untuk meningkatkan elektabilitas.

Iklan daring yang berdiri sendiri serta tidak kohesif dengan program kampanye secara umum, ibarat pasukan kavaleri yang lari tunggang langgang sendiri menerjang ke medan perang, tanpa didukung oleh jenis pasukan lain. Hal ini tentu sangat tidak efektif dan bersifat menghamburkan uang saja.

Maka pada artikel sebelumnya, disebutkan bahwa external tool maupun outsource kampanye digital tidaklah disarankan karena hal ini. Minimalnya follow up dalam hal eksekusi iklan daring.

Ada banyak teknik yang bisa dilakukan seperti memilih audience yang tepat, analisa perilaku audience seperti bounce rate dan stickiness dari konten iklan. Rekomendasi aksi daring selanjutnya bisa dilakukan remarketing yang lebih efektif dan efisien dari eksekusi iklan sebelumnya.

Termasuk dalam aksi lanjutan ini adalah memberikan rekomendasi tentang apa yang terjadi di ranah digital kepada sang kontestan, sehingga terjadi dinamika strategi dan taktik yang mengikuti keadaan nyata yang berdasarkan data kuantitatif.

Maka untuk para kontestan politik, harus menjangkau metode yang lebih besar dari pada iklan daring di mana hasil akhirnya adalah tentang keberadaan digital (digital presence) serta popularitas.

Tentu meninggalkan iklan daring sama sekali adalah sebuah kesalahan, tapi kesalahan yang lebih besar bila menganggap iklan daring ini adalah satu-satunya alat dan senjata pamungkas. Iklan daring adalah pondasi, sebuah permulaan dari strategi yang lebih besar yang kohesif.

Salah satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam menyusun strategi yang kohesif ini adalah adanya proses akulturasi dan pelokalan. Meniru apa yang dilakukan kampanye Donald Trump tentunya tidak menjamin kontestan terpilih. Contohnya media yang dipilih sebagai corong komunikasi digitalnya dalam menyampaikan program-programnya.

Pondasi dunia digital di Amerika Serikat selain website (yang juga didukung oleh perilaku warganya yang gemar membaca juga) adalah email. Kombinasi penjabaran program di website itu harus, dikarenakan secara desain dan interaksi jauh lebih menarik bila dibaca dan ditelaah di sebuah website.

Sedangkan untuk meningkatkan kepastian dari jalur komunikasi satu arah menggunakan media email (didukung dengan perilaku membaca email yang juga tinggi). Di Indonesia sendiri, kampanye digital menggunakan corong media email tidaklah begitu efektif karena beberapa hal, namun yang utama adalah karena budaya email orang Indonesia tidak tinggi, lain hal nya bila corong yang dipilih adalah media seperti aplikasi chatting seperti WhatsApp atau Line seperti data yang di paparakan di sini.

Tentu saja karena hal tersebut metode bagaimana caranya sangat beragam, entah dengan membangun aplikasi yang terkoneksi ke mesin chatting tersebut (beberapa mesin aplikasi chatting menyediakan API untuk dapat dihubungkan dengan aplikasi sang kontestan).

Dalam melakukan analisa terhadap data-data digital yang didapatkan dari ranah digital juga harus melalui proses akulturasi, sebagai contoh tentu saja pendefinisian kriteria swing voter di negara lain, berbeda dengan kriteria swing voters di Indonesia bila ditilik dari demografi, perilaku, dan sebagainya di ranah digital.

Sehingga dibutuhkan analisa data yang tidak hanya melulu tentang demografi umum, tapi analisa bisa ditarik dari perilaku digital dari audience-nya. Hal ini dilakukan juga oleh Donald Trump dalam kampanye digitalnya, dengan menerbitkan kuis digital “This is Your Digital Life”, tujuan utamanya adalah mendapatkan analisa psikologi dari calon pemilihnya dalam model OCEAN.

Lagi-lagi, analisa yang lebih mendalam terhadap data-datalah yang akan berperan besar dalam hal elektabilitas terutama dalam fase get out vote.

“If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle.”  – Sun Tzu

Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas, Praktisi IT yang tinggal bahagia bersama keluarganya di Klaten dan kadang di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.