Jumat, April 26, 2024

Kampanye Atraktif

Damianus Edo
Damianus Edo
Generasi Milenial, aktif menulis literasi media

Saat ini, kita berada pada situsasi arus tanpa batas. Banyak ahli atau penulis menyatakan era industri 4.0. merupakan arus tanpa batas media yang sulit lagi dibendung. Ada yang meraihnya dengan hal-hal positif dan ada juga negatif. Mungkin, kita perlu meratifikasi kembali, arus tanpa batas dengan fenomena komedi. Untuk itu, saya berpikir, untuk menawarkan sejarah singkat, lagu-lagu daerah seluruh Indonesia dengan sedikit berkomedi. Taat keasyikan.

Kita semua mengetahui, kedua pasangan capres-cawapres, Jokowi-Ma’ruf Amin mendapatkan nomor urut satu. Prabowo-Sandi Uno mendapatkan nomor urut dua. Masing-masing calon memiliki kekhasan tertentu, terutama saat mereka mengunjungi masyarakat atau wacana yang mereka sampaikan ke publik atraktif, meskipun masih adanya yang diwaspadai.

Dikatakan atraktif, karena mereka menyampaikan diksi yang menggenitkan, yang menyebabkan masyarakat menjadi riuh. Ada yang simpati, ada yang memuji, ada pula yang antipati. Presiden Jokowi misalnya, saat berpidato membuat ilustrasi film, “Avanger: Infinity War”, di hadapan World Economic Forum on ASEAN di National Convention Center, Hanoi, Rabu (12/9/2018). Maupun diksi Presiden Jokowi soal film “Game of Thrones” di Bali, acara IMF.

Hal yang sama pun dilakukan oleh Sandi Uno. Meskipun dalam genre yang berbeda. ”Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya udah hampir sama dengan kartu ATM,” ujar Sandi di Kediaman Prabowo Subianto, Jumat (7/9/2018).

Kampanye atraktif yang dilakukan pasangan calon presiden dan wakil presiden hemat saya, atraktif yang dimainkan untuk memunculkan keriuhan publik. Dengan kata lain, mereka sedang menekankan aspek perumpamaan dengan permainan diksi, sehingga memunculkan wacana publik yang signifikan.

Memori Kolektif

Ini bukan tanpa sebab. Lagu Bungong Jeumpa di Aceh, Cikalalepongpong di Sumatra Utara, Cubak-cubak Suweng di Jawa, Ammac Ciangdi Sulawesi, Ampar-ampar Pisang di Kalimantan, Macepet-cepetetan di Bali, Bolelebo di Nusa Tenggara Timur, Lembe-lembe di Maluku dan Sajojo di Papua. Inilah media pemersatu bagi kita. Mengolah kebisingan media akhir-akhir ini.

Kita mungkin berlari dari tahun-tahun dahulu kala, sejak leluhur kita ada di bumi Indonesia, zaman kerajaan, masa kolonial, masa Orde Baru, Orde Lama sampai Reformasi. Metodologi sederhana itu, semakin hari menjarak, bukan lagi romantisme. Pendidik media, busur yang tak didengar, hingga sentimentil mendominasi dinding media sosial.

Kita mungkin terlalu banyak menikmati mitos-mitos Yunani kuno sementara, nenek moyang kita, (cerita Gajah Mada) sedang sibuk mempersatukan bangsa. Mereka mengharapkan hanya mengenang atau menghadirkan kembali dongeng pemersatu itu kembali.

Kini, catatan itu hanya senilai waktu berjalan, tanpa diingat lagi. Usang termakan zaman. Dan catatan nyata – bukan sampah paperbags yang baik. Guru-guru sejarah mengajarkan sejarah kuno dalam cara yang tidak bisa dibedakan dari ratusan tahun sebelumnya.

Media massa tidak hanya akan layu dan lenyap, pendidikan media memasuki tahap kedua-fase inokulasi. Seperti dokter akan menyuntikkan tubuh kita dengan kuman mati.

Komunikator disuntikkan ke media massa yang mungkin saja konyol. Ini adalah upaya untuk menyuntik atau melindungi kita dari kuman berbahaya saat ini, yakni budaya media. Tapi mereka hanya disuntikkan mati atau konyol terhadap pesan media, syarat hoaks dan ujaran kebencian.

Sejenak Komedi

Kita mungkin ingat, Sujiwo Tejo pada pentasan wayangnya, acara bersama Cak Nun melafalkan Al-Quran dengan nada kejawen. Atau seorang Pastor yang menikah, dan lagu –lagu Gereja dalam bahasa daerah. Tentu saja, saya berpikir memilih lagu-lagu seperti melafalkan motivasi, kedamaian (di mana liriknya pasti “Sha-na-na-na. Yip. Yip. Yip”) atau “Do re mi fa”untuk membuat semuanya lebih lucu dan semua orang pun merasakan kegembiraan.

Studi film Hollywood biasanya menampilkan video pemberontak, seperti Marlon Brando, James Dean, dengan pesan yang tak terelakkan bahwa, media populer yang mematikan generasi yang nakal.

Atau terlampau romantis, seperti saat Presiden Jokowi menonton film Dilan. Naik motor cooper. Prabowo pidato menggelegar, sambil membuka baju, layaknya ksatria. Belum lagi, perang tagar #2019GantiPresiden dan #JokowiDuaPeriode, tampang Bayolali, dan politisi Sontoloyo. Betul-betul itu, lucu- lucuan era zaman now. Entahlah.

Sikap mengolok-olok masing-masing pendukung kedua calon di media sosial pun terus bergulir. Ah, betul-betul itu adegan lucu yang membahayakan. Menggunakan media sebagai godaan untuk mendapatkan simpati atau antipati massa. Ini tentu model “pendekatan menghisap”.

Sekarang kita telah mendengar lagu dari Alang #2019GantiPresiden dan lagu #JokowiDuaPeriode, mari kita lihat, apakah yang itu dikategorikan dengan genre rakyat? Aah, lanjut ke alinea 2, lagu Bungong Jeumpa di Aceh, Bolelebo di Nusa Tenggara Timur, Cubak-cubak Suweng di Jawa dan Sajojo di Papua. Itu lebih mengasyikkan. Pembahasan tentang Jawa kuno, Gajah Mada dan era Kolonial. Membuka kotak pandora kolektif kita.

Atau mereka menunjukkan “Atraksi Asean Games Jokowi” dan “Dilan,” teknik bagaimana menonton kemeriahan dan romantisme yang menggairahkan kita membuatnya relevan? Studi tentang peristiwa dimulai pada ilmu-ilmu sosial dan anak muda, generasi bangsa diperbolehkan (jika tidak dianjurkan) harus membiasakan membaca koran (tapi hanya untuk berita, bukan untuk komik atau olahraga atau apa pun yang menghibur).

Semua ini terjadi dalam waktu akhir-akhir ini, di mana Jokowi menjadi Presiden. Mungkin sebenarnya, di banyak tempat itu masih berlangsung.

Atau akibat pendidikan media konsekuensi masa transisi? Saya mulai menyadari bahwa “Atraksi Asean Games” dan “Dilan” mungkin memiliki tema yang berbeda, masing-masing menangani tema dalam cara yang berbeda pula, dan dalam waktu yang berbeda, dengan teknik mendongeng berbeda. Terlepas dari perdebatan kreatif ala Hollywood. Tentu bukan, alias apolitis.

Ternyata kebanyakan orang Indonesia tidak mendapatkan informasi dari buku atau bahkan koran, tetapi dari televisi dan media sosial yang syarat akan bias. Dan saya berharap itu tidak mengabaikan fakta.

Ini adalah perjuangan yang sulit, karena masih ada orang-orang yang memilih untuk mengabaikannya, baik bersenang-senang, atau menggunakannya untuk menghisap jati diri bangsa, menyebarkan hoaks, SARA dan ujaran kebencian.

Dan kita perlu melakukan pendidikan media, lebih tradisional, juga walaupun mungkin kita bisa menghabiskan sedikit mendendangkan lagu-lagu daerah, dari Sabang sampai Merauke atau pementasan wayang, dan atraksi bernuansa budaya nusantara lainnya.

Pasti akan semakin menarik apabila pasangan nomor satu atau dua, mengedepankan kampanye tradisonal, khas Indonesia dengan kemasan anak muda. Jauh lebih atraktif dan mengasyikkan.

Damianus Edo
Damianus Edo
Generasi Milenial, aktif menulis literasi media
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.