Jumat, April 19, 2024

“Kadeudeh” Oligarki dan Kapitalisme dalam Demokrasi Politik Pilkada

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.

Pilkada di Indonesia ini sungguh istimewa, terutama pilkada Jabar. Selain menjadi salah satu point penting dan kawasan paling strategis dalam eskalasi poros ekonomi politik Indonesia, politik pilkada di Jabar mengundang banyak “drama” politik.

Kawin silang pasangan calon yang berubah-rubah hingga negosiasi dan transaksi politik partai yang sulit diduga membuat pilkada Jabar menjadi seksi dan menegangkan sejak awal dimulainya pesta demokrasi ini, mulai pendaftaran calon, kampanye hingga pasca pencoblosan di bilik suara dan proses perhitungan cepat yang tidak kalah meriah layaknya pesta. Kemeriahaan seperti apa dan untuk apa yang ditunjukan dalam pesta demokrasi pilkada Jabar ini?

Kawasan yang meriah akan kaya sumberdaya alam dan manusia dan tentu saja bernilai tinggi, maka tidak heran jika Jabar diperebutkan secara politik dan kapital. Pilkada menjadi arena pertarungan dalam tajuk pesta demokrasi untuk memperebutkan kawasan ini. Pesta yang paling banyak menggunakan anggaran tapi dampaknya tidak begitu signifikan terhadap sistem pemerintahan baik yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk publiknya.

Can Democracy Survive Global Capitalism, buku karangan Robert Kuttner (2018) yang memaparkan untuk memahami dinamika ekonomi dan politik kontemporer yang sedang dialami saat ini termasuk di Indonesia dalam konteks (pesta) demokrasi yang sedang berlangsung dalam wujud pilkada. Kutipan menarik dalam buku ini mencoba mengambil poin penting atas eskalasi politik  yang terjadi dalam pesta demokrasi bertajuk pilkada tersebut.

“To its enthusiasts, capitalism is democratic in two key respects. Capitalist norms and democratic norms are said to converge via transparency and rule of law. But there is a fundamental divergence between the core democratic principle of “one person/one vote” and the basic market norm of “one dollar/one vote.” Democracy thrives to the extent that the raw power of money is contained.”.

Politik uang dalam bentuk yang lebih halus, serangan fajar dalam bentuk fisik maupun melalui sosial media, unjuk pamer penghargaan hingga penyebaran hoax menjadi santapan sehari-hari warga Jabar dalam momentum pilkada ini. Belum lagi ditambah penetrasi politik visual jalanan berupa poster, baligo yang riuh menambah pertunjukan lansekap visual kota semakin carut-marut.

Maka, dalam ranah ini, tiada kawan dan lawan yang abadi, semua bertaruh unjuk kepentingan, unjuk kekuatan dan unjuk peranan  dalam politik transaksional yang ujung pangkalnya untuk melanggengkan poros oligarki atau menciptakan oligarki baru. Ibaratnya, elitnya berteman, pionnya disuruh bermusuhan.

Publik yang kadung bermusuhan akan menanggung resiko sosial-politik dalam relasi narasi keseharian kewargaannya. Para bandar akan berhitung untung-rugi, para pion kandidat akan resah menanti hasil yang akan menentukan beban politik mereka kedepan dan tidak lupa para komprador dan pemburu rente sudah siap dalam posisi gigi satu dan tancap gas untuk cepat melakukan manufer dengan kacamata kuda dengan menyalip atau mengubah dukungan agar tidak keteteran dalam perebutan kue-kue pembangunan dimasa mendatang.

Menang-kalah akan berdampak kepada logistik yang ditariknya, jika kalah harus mengembalikan logistik yang digunakan dalam termin tertentu yang kadang bisa membuat kandidat bangkrut. Tapi jika menang pun akan tersandera, karena juga akan mengembalikan nilai yang serupa berupa imbal jasa dalam bentuk yang lebih halus berupa proyek-proyek pembangunan, atau saya menyebutnya “kadeudeuh politik”.

Lantas siapa yang diuntungkan dalam pesta demokrasi pilkada ini? Tentu saja publik, tapi publik yang berwajah bandar dan oligarki dalam jubah kapitalisme. Lantas dimana publik itu berada dalam riuh pesta demokrasi pilkada ini? Menjadi pertanyaan menarik, karena publik kemudian disodorkan untuk mengikuti pesta demokrasi ini atau tidak sama sekali alias “golput”.

Publik, dari mulai buruh, petani, seniman hingga akademisi digiring menuju ladang balot elektoral saat pemilu/pilkada. Namun tetap saja demokrasi kotak suara hanya janji manis oligarkis. Demokrasi politik liberal yang bersekutu dengan ekonomi kapitalis neoliberal telah menciptakan krisis partisipasi publik.

Diadopsinya ideologi neoliberal secara masif dalam politik elektoral yang dianut oleh para kandidat bertujuan untuk mentransformasikan seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar bebas yang telah menjadi warga negara mengalami depolitisasi dengan cara mengubah secara reduktif political citizenship menjadi economical-consumers.

Perana politik warga negara sengaja dilucuti melalui politik kotak suara yang seolah dianggap demokratis yang sebenarnya sebagai praktik negosiasi untuk mengeliminasi potensi kritisnya terhadap tatanan ekonomi politik yang berlaku dan tersedia. Mempertanyakan bahkan menolak  pemilu merupakan  jalan pertama untuk membangun imajinasi baru mengenai demokrasi popular, demokrasi kerakyatan, demokrasi partisipatoris dan demokrasi deliberatif.

Situasi ini tengah berkembang dibeberapa negara dengan sistem demokrasi yang diusungnya, termasuk di Indonesia. Tingginya angka golput  dari warga negara yang tidak mau menggunakan hak politinya dalam kotak suara menunjukan bahwa mulai berkembangnya ketidak percayaan publik/warga negara terhadap sistem demokrasi elektoral yang terjadi. Situasi demokrasi Indonesia yang dikenal dan dialami sekarang ini, sebagai demokrasi elektoral elitis yang pada hakikatnya sebagai jalan menuju oligarki dan plutokrasi.

Dibanyak tempat, demokrasi model representatif yang diwakili oleh partai-partai sedang mengalami krisis dan mungkin hanya di Indonesia saja yang tidak bahkan membesar layaknya gurita oligarki. Nyatanya, gagasan ‘perwakilan’ itu sendiri kini telah kehilangan makna karena partai-partai politik lama bahkan yang baru pun ternyata hanya bekerja demi kepentingan sendiri atau demi kepentingan kekuatan korporasi yang dibelakangnya sebagai bakingan oligarki dan bancakan komprador dan rente.

Namun, semua praktik demokrasi yang seperti ini sedang digugat-sebuah gejala yang sebenarnya juga sedang mulai menguat di Indonesia pasca demokrasi yang dihasilkan dari reformasi 98 tidak berkontribusi signifikan terhadap hak ekonomi-politik, hak sosial-politik bahkan hak ruang hidup keseharian warganya sebagai warga negara.

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.