Mungkin sebagian besar kaum tua dan juga anak muda berpikir bahwa saat ini akan sulit sekali menemukan anak-anak muda, khususnya para mahasiswa yang masih mau mengaktifkan dirinya dalam sebuah gerakan sosial atau gerakan mahasiswa. Apalagi gerakan mahasiswa tersebut berurusan dengan sangat dekat dan intensif dengan petani, pertanian, dan gerakan petani.
Sebab, anak muda dan mahasiswa milenial dan generasi seterusnya saat ini, lebih akrab dengan start-up dan sibuk berbisnis sambil berkomunitas yang seoalah jauh dari realitas sosial. Nongkrong di kafe-kafe sepulang dari kampus-kampus mereka selain tinggal di kos-kosan, ketimbang berkeringat dan berlumpur bersama para petani di sawah atau di lahan-lahan pertanian lainnya. Apalagi, demonstrasi mahasiswa di jalanan juga sudah mulai surut bahkan menghilang di Indonesia.
Namun bagaimana ketika anggapan dan pemikiran itu ternyata tidak sepenuhnya benar? Setidaknya, ternyata masih bisa ditemui bahwa ada mahasiswa di Indonesia yang masih berusaha membangun gerakan, bahkan mencoba untuk mengintegrasikan perjuangan mereka bersama para petani.
Mereka adalah Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia yang disingkat dengan GEMA TANI, merupakan organisasi kemahasiswaan yang dibentuk berdasarkan keputusan rapat pleno Serikat Petani Indonesia (SPI) dan ditetapkan dalam Surat Keputusan Nomor 04/Rapat Pleno/DPP-SPI/VIII/2016 tentang Pembentukan Lembaga Serikat Petani Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2016.
Sebagai bagian dari upaya untuk menyatukan mahasiswa lintas kampus, lintas disiplin ilmu, dan lintas angkatan (senior-junior) untuk berjuang bersama petani dalam menyuarakan reforma agraria dan cita-cita kedaulatan pangan di Indonesia, bahkan dunia.
Kesadaran yang coba dibangun bersama melalui Gema Tani adalah bahwa Indonesia adalah negara besar dengan ciri dan karakter agraris. Indonesia mampu memproduksi berbagai kebutuhan primer manusia, dan menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.
Masalahnya kemudian adalah terjadi pergeseran arah pembangunan bermodel kapitalistik (sistem ekonomi neoliberal dengan ciri deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) global, yang berdampak pada ditinggalkannya model pembangunan agrikultur, menggerus identitas agraris, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh para pemodal besar, dan membuat sekitar 80 % masyarakat Indonesia mengalami ketertindasan. Terjadilah ketimpangan besar kesejahteraan dan kemakmuran, serta krisis keadilan sosial.
Kesadaran berikutnya adalah bahwa mahasiswa merupakan salah satu unsur dari masyarakat yang ikut menentukan perubahan. Keterlibatan mahasiswa dalam perubahan tidak hanya hidup dalam gagasan, namun juga secara nyata dalam gerakan. Tidak hanya di Indonesia saja, di berbagai negara di dunia, keterlibatan mahasiswa dalam perubahan sosial melalui gerakan mahasiswa sendiri maupun berinterrelasi dan berintegrasi dengan gerakan rakyat dalam berbagai sektor juga terjadi.
Berbagai kesadaran atas realitas global tersebut kemudian dimanifestasikan dalam gerakan yang diharapkan mampu bersifat mondial oleh Gema Tani Sumatera Barat di Indonesia. Kelahirannya dibidani oleh SPI Wilayah Sumbar yang dideklarasikan pada tanggal 13 Mei 2018 dengan menghimpan para mahasiswa dari tiga kampus besar di Kota Padang, yaitu Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, dan Universitas Putera Indonesia.
Keberadaan kader-kader baru generasi milenial dalam gerakan mahasiswa petani Indonesia bersifat global bukan hanya retorika belaka. SPI sendiri adalah satu-satunya serikat petani dari Indonesia yang selama ini bergabung dengan gerakan petani transnasional bernama La Via Campesina (LVC). Sebuah gerakan petani global yang beranggotakan 182 organisasi/serikat petani dari 81 negara di dunia dan didalamnya tergabung lebih dari 200 000 000 petani.
Gema Tani Sumbar pun menyelenggarakan pengenalan dan pendidikan organisasi untuk kader calon benih pada Sabtu-Minggu (30-31 Maret 2019) yang bertempat di Sekretariat SPI Sumbar dengan tema ” Menjadi Gerakan Mahasiswa yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkarakter sebagai anak bangsa”. Dalam pendidikan yang diikuti oleh belasan mahasiswa dari tiga kampus (UNAND, UNP, dan UPI) tersebut dipelajari beragam materi dengan beragam narasumber yang kompeten.
Diantaranya adalah Pengenalan Diri oleh Nurdin Hamzah Hidayat (Aktivis Mahasiswa Gema Tani), Dinamika Kemahasiswaan oleh Diki Sikumbang (Sosiolog dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat), Gerakan Sosial oleh Bima Jon Nanda (Akademisi Program Studi Hubungan Internasional, FISIP, Unand), Ekonomi Kerakyatan oleh Rustam Efendi (Ketua DPW SPI Sumbar), Tentang SPI oleh Heri Purwanto (DPP SPI), dan Tentang Gema Tani oleh Ali Paderi (Inisiator Gema Tani Sumbar).
Keberadaan Gema Tani dan pendidikan yang mereka selenggarakan tersebut menarik untuk diapresiasi dan didukung sebagai kader milenial gerakan petani global. Pertama, petani dan pertanian tidak mungkin dibiarkan hilang atau musnah keberadaanya di muka bumi selama manusia masih membutuhkan pangan.
Kedua, regenerasi petani di Indonesia dan juga di dunia secara umum mulai tidak mudah dilakukan karena dianggap tidak menyejahterakan secara produksi ekonomi dan tidak bergengsi sebagai profesi. Ketiga, ketika kebijakan-kebijakan tentang pertanian justru menjadikan produk pertanian menjadi mahal untuk diakses dan juga nasib para petani terabaikan, maka gerakan petani dan kaderisasi gerakan petani memang harus terus ada di manapun. Semoga para kader milenial gerakan petani yang baru ini benar-benar menjadi harapan umat manusia di tingkat global!