Budaya musik Korea atau yang biasa kita sebut K-Pop selalu punya sisi menarik di setiap pembahasannya. Banyak stigma beredar di masyarakat kita yang menyebut kalau penggemar K-Pop itu alay, buang-buang waktu, suka mendewakan idolanya, dan suka menghamburkan uang hanya untuk memberi beragam merchandise idolanya.
Di samping itu, kita bisa melihat bagaimana seorang penggemar K-Pop punya loyalitas terhadap idolanya. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton video musik yang idolanya rilis. Penggemar K-Pop juga bisa menghabiskan uangnya untuk membeli beragam merchandise yang harganya tak masuk akal. Contohnya saja satu t-shirt bergambar sang idola, bisa dibandrol dengan harga di atas lima ratus ribu rupiah. Padahal jika kita pikirkan kembali, biaya produksi untuk satu t-shirt tidak mungkin semahal itu.
Praktisnya, kita akan berpikir hal ini dilakukan karena kecintaan yang besar terhadap sang idola semata. Coba saja perhatikan bagaimana idola-idola Korea mengemas musik yang mereka bawakan dengan sangat menarik. Wajah tampan dan cantik sang idola dipadukan dengan musik dan tarian yang enerjik, seakan menjadi paket komplet untuk memikat hati penontonnya. Namun pernahkah terpikirkan apa yang menyebabkan K-Pop bisa punya pengaruh besar terhadap seseorang?
Masifnya dominasi industri K-Pop tidak bisa dilepaskan dari globalisasi dan perkembangan teknologi. Kemudahan akses ini memungkinkan K-Pop bisa dinikmati di berbagai belahan dunia. Musik-musik K-Pop bisa dengan mudah ditemukan di berbagai platform seperti YouTube dan Spotify. Tak sampai di situ, aplikasi lain seperti V LIVE yang menyediakan fitur khusus siaran live idola dari negeri ginseng itu pun bisa kita unduh dengan mudah.
Teknologi sungguh punya peran penting atas berkembangnya musik K-Pop di berbagai negara, salah satunya di Indonesia. Penggemar K-Pop seakan dimanjakan dengan beragam kemudahan untuk mengakses budaya Korea termasuk membeli barang-barang yang diproduksi oleh agensi idola Korea.
Kita pasti pernah menemukan seorang penggemar K-Pop membeli barang-barang yang berkaitan dengan idolanya. Beberapa di antaranya ada album, photocard, lightstick, pakaian, dan masih banyak hal lainnya. Salah satu situs resmi yang menjual K-Pop stuffs ini adalah Ktown4u. Di website ini, kita bisa menemukan berbagai merchandise dari beragam grup K-Pop yang dijual secara global. Namun, jangan kaget ketika melihat bandrol harga yang tertera di sana. Meski mayoritas dijual dengan harga yang tinggi, K-Pop stuffs selalu laku terjual di pasaran.
Hal ini mengingatkan saya pada konsep industri budaya yang diusung oleh Theodor W. Adorno dan Max Hokheimer dalam “Culture Industry Reconsidered” (1975). Budaya dijadikan sebagai komoditas dengan sistem produksi massal yang kemudian direproduksi dan disebarkan dengan motif keuntungan layaknya dalam sistem industri lainnya.
Industri budaya ditandai dengan tiga karakteristik, yaitu standarisasi, massifikasi, dan komodifikasi. Komoditas industri budaya cenderung memiliki kemiripan yang sama. Dalam konteks musik, Adorno melihat bagaimana musik maupun lirik yang diproduksi cenderung sama. Karya identik ini kemudian membentuk sebuah standar yang dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk selera masyarakat. Jadi, pada hakikatnya selera tidak terbentuk secara alamiah tapi melibatkan campur tangan industri budaya dengan tujuan mengontrol dan mendominasi pasar.
Kita bisa melihat bagaimana budaya Korea atau Korean Wave ini bisa mendominasi pasar internasional. Sebut saja grup BTS yang berhasil memuncaki beragam tangga lagu internasional. BTS juga berhasil menjual album bertajuk MAP OF THE SOUL : 7 sebanyak 2,6 juta keping di hari pertama penjualannya. Kita juga sering menemukan fakta bagaimana idola K-Pop menggunakan barang-barang branded yang kemudian selalu habis terjual. Secara sederhana, fenomena ini bisa diartikan sebagai bentuk kecintaan penggemar pada sang idola. Ada rasa kebanggaan tersendiri ketika kita memiliki merchandise K-Pop apalagi memiliki barang yang sama dengan idola.
Di situlah industri budaya berhasil mengambil perannya. Industri budaya memunculkan kebutuhan dan kepuasan yang semu. Alih-alih menikmati musik, secara sadar atau pun tidak, penggemar K-Pop justru sedang membeli “citra” sang idola yang dikomodifikasi menjadi sebuah komoditas industri. Butuh atau pun tidak, penggemar K-Pop seperti punya kewajiban untuk membeli barang-barang yang terkait dengan idolanya sehingga jatuh pada fetisisme komoditas yang menumbuhkan budaya konsumeris.
Keberhasilan ekspansi budaya Korea (Hallyu) juga tidak bisa dipisahkan dengan dukungan penuh dari pemerintah Korea Selatan. Tae Young Kim dan Dal Young Jin dalam jurnalnya “Cultural Policy in The Korean Wave: An Analysis of Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches” menuliskan bahwa Korea Selatan berhasil membuat budaya menjadi komoditas ekspor yang berkaitan dengan kepentingan politis. Konsep ini dijelaskan Joseph Nye sebagai soft power atau status kesuksesan Korea Selatan memperlihatkan kedigdayaan negaranya melalui daya tarik. Soft power suatu negara didasarkan pada tiga sumber utama, yaitu kebudayaan (culture), nilai politik (political values) dan kebijakan luar negeri (foreign policies).
Hallyu mulai menunjukkan kepopulerannya dengan beragam produk budaya yang diekspor ke berbagai negara. Julia Valeiva dalam tulisannya berjudul “Cultural Soft Power Korea” menyebutkan komoditas industri budaya Korea sangat menyeluruh dengan istilah “from Kimchi to K-Pop”. Produk-produk tersebut memadukan gaya khas kultur Korea dan kultur Barat yang menjadi keunikan tersendiri sekaligus mempermudah proses penyebarannya. Jika kita lihat, lirik-lirik lagu K-Pop di era sekarang kerap mencampurkan bahasa Korea dengan bahasa Inggris yang dipadukan dengan musik modern. Musik-musik itu juga dikemas dengan berbagai versi bahasa seperti Mandarin dan Jepang untuk memperluas target pemasaran.
Korea Selatan bisa dikatakan sebagai negara yang menaruh perhatian besar di sektor budaya. Dalam hal ini, industri K-Pop hanya satu dari sekian banyak industri budaya yang ada di sekitar kita. Secara sadar atau tidak, para pelaku industri budaya telah berhasil mengobjektifikasi manusia untuk memperoleh keuntungan.
References
Adorno, T. W., & Rabinbach, A. G. (1975). Culture Industry Reconsidered. JSTOR.org.
Kim, T. Y., & Jin, D. Y. (2016). Cultural Policy in the Korean Wave: An Analysis of Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches. International Journal of Communication.
Suryani, N. P. (2014). KOREAN WAVE SEBAGAI INSTRUMEN SOFT POWER UNTUK MEMPEROLEH KEUNTUNGAN EKONOMI KOREA SELATAN. GLOBAL Vol 14.
Valieva, J. (2018). Cultural Soft Power Korea. Journal of History Culture and Art Research, 209.
Identitas diri:
Rita Puspita Rachmawati, Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran.
08381005844/ritarachma42@gmail.com