Senin, Oktober 7, 2024

Jusuf Kalla (JK) dan Simpatisan Oposisi Negara

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember

Tanggapan mantan Wakil Presiden Indonesia dua periode, Jusuf Kalla (JK), tentang penerapan ‘New Normal’ oleh pemerintah menuai pro-kontra. Dalam sebuah wawancara, bapak bangsa yang sekaligus menjabat ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini mengingatkan pemerintah untuk pertama kali membuka masjid terlebih dahulu. Pembukaan masjid dilaksanakan guna masyarakat mempunyai roh keagamaan dan agar masyarakat bisa berdoa untuk kebaikan bangsa dan negara.

Menurut JK, saran miliknya berkaitan erat dengan perayaan Hari Pancasila pada 1 Juni lalu. Sila pertama pada Pancasila yang berbunyi ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya digunakan sebagai landasan pemerintah dalam merumuskan kebijakan. Sebagai dasar negara, Pancasila seyogyanya memiliki andil fundamentalis yang digunakan pemerintah untuk sarana penyematan ideologi konsep dalam sebuah kebijakan. Namun, apakah pemerintah salah untuk tidak memprioritaskan pembukaan masjid?

Membaca tanggapan JK tentang penerapan AKB, terdapat sebuah kontradiksi antara saran JK dan tujuan pemerintah dalam dikotomi AKB. Usulan JK secara konseptual memang dapat dibenarkan namun agak kurang pas dengan konteks. Tujuan pemerintah dalam melaksanakan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) ini sebenarnya adalah memulihkan stabilitas ekonomi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai impresi dari kendornya kurva ekonomi masyarakat akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lalu.

Implementasi ‘New Normal’ atau AKB adalah kebijakan anyar pemerintah setelah PSBB resmi dicabut pada 04 Juni 2020 lalu. Pemerintah mencoba mengevaluasi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi akibat PSBB dan selanjutnya membenahinya dalam kebijakan AKB ini. Secara kontekstual, krisis ekonomi dan moneter adalah polemik paling urgen yang dihadapi seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu, AKB lebih condong terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai preferensi utamanya.

Sementara dari tanggapan JK, terlihat opini ini hanya terkesan asumsi oportunis yang kebetulan saja bertepatan dengan perayaan hari kesaktian Pancasila. Pemerintah sebagaimana posisinya dalam sebuah birokrasi, pastinya memiliki data konkret dan rumusan konflik yang dapat dipertanggungjawabkan secara resmi. Himpunan data tersebut secara konseptual mentasbihkan pemerintah sebagai sebuah elemen yang paling memahami negara.

Di samping itu, baik JK maupun masyarakat sebagai kaum yang berada di luar pemerintahan tidak memiliki pengetahuan tersebut secara universal melebihi pemerintah. Dengan landasan yuridis serta konstitusional, masyarakat memang mendapatkan hak untuk berekspresi dan berpendapat. Namun, hak ini juga tidak baik jika terlalu mengkritisi terhadap pemerintah.

Jika ditelaah lebih lanjut, asumsi JK juga tidak bisa dikatakan memiliki kebenaran yang absolut. Pasalnya, sila pertama dalam Pancasila sudah diaplikasikan dalam internalisasi kehidupan masyarakat. Tanpa peraturan dari pemerintah, setiap warga negara yang beragama telah melaksanakan kewajiban beragamanya meski dari rumah. Konteks ini juga berarti, masyarakat pada hakikatnya tidak melupakan substansi sila pertama.

Kehidupan agamis setiap individu masyarakat tidak pernah tercoreng dengan kebijakan PSBB. PSBB yang dalam hal ini dikategorikan sebagai kebijakan pemerintah sebenarnya sudah selaras dengan syariat (Islam). Pemerintah melalui MUI telah menjabarkan adanya sebuah adagium ulama’ yang membolehkan muslim untuk tidak berjama’ah di kala pandemi virus seperti dewasa ini. Masyarakat tetap diperbolehkan menjaga keimanan masing-masing dan sila pertama tidak pernah hilang.

Pemerintah beserta jajarannya telah menyusun setiap rangka kebijakan yang akan diluncurkan dengan pertimbangan yang matang dan tidak sembrono. Dalam sistem kabinet, terdapat beberapa elemen yang menyeleksi serta memformulasikan sebuah proyek kerja. Proyek kerja tersebut sudah berdasarkan analisis konsep serta analisis kasus. Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama’ Indonesia pastinya turut serta dalam pembahasan.

Mengenai kebijakan yang sudah tersusun secara sistematis tersebut, membuat setiap kebijakan yang diusung oleh pemerintah seakan tidak ada cela. Meski sebagian pihak beranggapan bahwa dalam setiap kebijakan tersebut tersemat sebuah stigma politik, toh pemerintah telah mendeklarasikan proyek kerjanya hanya untuk kemaslahatan rakyat. Setiap kegiatan dan aktivitas manusia dalam tatanan duniawi memang selalu erat dengan teorema politik.

Ketika negara sedang dalam keadaan genting seperti ini, warga masyarakat termasuk eks pejabat seakan berlomba lomba menilai kinerja pemerintah. Terlepas dari tujuan yang mereka kampanyekan yakni membangun Indonesia maju, penulis meyakini terdapat konstruksi citra diri di mata publik dalam substansi opini tersebut. Entah disadari atau tidak, para kritikus negara khususnya eks pejabat mulai aktif berkomentar setelah ia sudah tak lagi menjabat.

Fakta ini bisa menimbulkan kecurigaan dari setiap warga masyarakat yang menyadari fenomena terkait. Bukan hanya JK, mantan presiden Republik Indonesia ke-6 pun dan beberapa eks pejabat lainya juga mulai aktif berpendapat. Secara pengalaman, mungkin mereka lebih mumpuni namun secara kemampuan belum tentu mereka lebih unggul dari pemerintah saat ini.

Tetapi kehadiran mereka bisa saja menciptakan keadaan negara yang dinamis. Dalam kabinet Indonesia Maju Jilid II ini, peran oposisi memang terlihat begitu lemah dibanding periode-periode lalu. Untuk menjaga stabilitas kontrol terhadap negara, para eks pejabat tersebut cocok jika kemudian diapresiasi dan disebut sebagai simpatisan oposisi.

Terlepas dari pembahasan dan analisa di atas, acuan ‘New Normal’ yang kini sedang digaungkan pemerintah, secara esensial sebenarnya bukanlah suatu keadaan yang baru. Fenomena ini merupakan rumusan kehidupan normal yang sudah sewajarnya dilaksanakan. Masyarakat harus sadar akan pentingnya hidup sesuai protokol kesehatan juga termasuk menjaga jarak ketika berkerumun. Pemerintah hanya mengampanyekan protokol kesehatan untuk kita laksanakan melalui ‘New Nomal’  ini.

Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya bersikap koordinatif terhadap kebijakan serta kinerja pemerintah. Apalagi saat pemerintahan sedang terombang-ambing seperti saat ini, kritik tanpa solusi kita hanya akan menjadi beban psikologis yang mengganggu mereka. So, just be the real country man!

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.