Minggu, November 24, 2024

Jurnalisme Klik, Narsisme, dan Masokisme Pembaca

Fariz Muntashir Billah
Fariz Muntashir Billah
Seorang Penulis yang konsisten memegang prinsip "JOMBLO REVOLUSIONER" dan Weaboo garis keras sejati
- Advertisement -

“Hegel berkata bahwa aku eksis karena aku berifikir, ini menjelaskan Kondisi saat itu yang menuntut rasionalitas untuk menumukan kebenaran informasi bagi manusia. Zaman Now aku eksis karena akulah yang benar ini menjelaskan informasi yang sudah terbuka tidak membuat manusia menggunakan rasionya namun sensasi narsislah yang di cari” (Refleksi Sigmund Freud, Gejala Narsisme)

Pernahkah kita membaca suatu berita yang menjadi kontroversi dan top trending namun isi tidak terlalu penting sebagai infomasi publik, pernahkan kita meributkan masalah pribadi orang lain yang semestinya tidak perlu dibicarakan dan pernahkah kita memandang seseoang hanya dari statusnya tanpa kita setarakan posisi kita saat berbicara?

Inilah fenomena narsis yang ada disekeliling kita, urusan pribadi seseorang dengan mudah menjadi eksis hanya karena unik ataupun kontroversi, orang yang disorot akan semakin narsis sehingga sifatnya egois butuh perhatian lebih oleh publik. media publik yang seharusnya memberitakan kepentingan publik (orang banyak) namun menjadi panggung orang-orang narsis yang ingin tetap eksis.

Kita ambil contoh “Heboh Aksi Ridwan Kamil Panjat Pintu Toilet Karena Terkunci” (Detiknews, 2018) penilaian bagi penggemarnya pasti beranggapan “wah, keren ya Gubernur Kita, gak ogoan sampai gak perlu manggil regu penyelemat” tetapi coba kita pikirkan lagi seandainya toilet itu tidak beratap tidak sedikit diantara kita melakukan hal yang sama alasannya karena biar gak telalu lama terkurung, namun yang terkurung adalah Gubenur ditambah gayanya milenialis akhirnya jadi eksis dalam media publik.

Tidak kalah anehnya berita “Dokter Ani Hasibuan Marahi Andre Rosiade: Enggak usah sok berjuang” (Media.com, 2019) berita ini sangat viral usai Pilpres 2019, berita ini menjadi aneh karena apa yang bisa didapat untuk publik, jika di analogikan berita tersebut ibarat istri yang marah kepada suami karena selingkuh yang sedang ditonton didepan umum, dalam urusan partai mau tidak mau urusan saling meyelingkuhi pasti terjadi karena memang arena permainan ini mengandalkan “the survival of the fittest” agar tujuannya tercapai yaitu “Menang sendiri bukan menang bersama” apa buktinya? Koalisi partai terpilih pasti ribut soal kursi menteri.

Masih banyak berita-berita aneh yang viral, entah karena kesukaan publik yang seperti itu atau berita tersebut terus muncul dihalaman utama hingga publik mudah terpancing untuk mengkliknya. Coba kita perhatikan fenomena apa yang terjadi pada setiap isi berita daring sensasional dengan contoh  judul “Ternyata beginilah nasib….” “Heboh Prabowo…” “Pemain ini mulai memanas..” Apakah hal tersebut memenuhi kaidah Jurnalistik?

Berita yang ditulis oleh seorang Jurnalis setidaknya harus memberikan informasi utuh dan akurat kepada publik karena mereka berperan sebagai penyedia informasi publik, namun fakta yang kita temukan dari peralihan media cetak menjadi Online bukanlah konvergensi isi berita  menjadi online, faktanya berita malah ditambah-tambah sehingga banyak penulis kurang mempertimbangkan akurasi data dan keutuhan informasi. seperti contoh berita diatas.

Keberlimpahan Informasi yang tidak memiliki makna edukasi maupun sebagai makna publik inilah yang para jurnalis sebut sebagai “jurnalisme klik atau Jurnalisme umpan balik”. Yaitu pergeseran fungsi berita yang semula untuk baca lalu pahami menjadi klik, like dan subscribe (Romeltea Media, 2018)

Mengutip perkataan seorang sosiolog dunia asal Prancis bernama Jean Baudrillard berbicara tentang media daring menjadi alat produksi masal informasi: “We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning” (Jean Baudrillard, 1994)

Media daring mempruduksi masal informasi hingga berlimpah, keberlimpahan diperbanyak lagi melalui reproduksi (share dan copy-paste) menjadi tidak terbendung dan banjir, kebanjiran informasi ini hanya menjadi komoditi yang dikonsumsi secara lahap oleh pembaca namun mereka tidak memaknai apapun bahkan tidak paham terhadap apa yang dikonsumsi.

- Advertisement -

Kutipan ini sesuai dengan kasus jurnalisme klik yang sehari bisa memproduksi ataupun mereproduksi (copy paste berita) ribuan berita, hingga ditemukannya 43.000 situs abal-abal yang menjadi rawanpula penyebaran berita nonakurat (Menkominfo, 2017).

Kulutur Membaca Membaca Digital Menjadi Masalah

Dalam Concets of Reading in Digital Era yang diterbitkan oleh Oxford Research Encyclopedias memberikan pandangan bahwa terdapat masalah serius mengenai budaya membaca digital dengan membaca teks buku tertulis, tulisan yang dimuat Lutz Koepnick menyebutkan bahwa masalah tersebut ialah adanya perbedaan daya tahan orang yang membaca digital dengan teks buku.

Pembaca digital akan lebih suka membaca essay yang ringkas ketimbang membaca e-book sedangkan para pembaca tulisan cetak terbiasa membaca buku maupun majalah yang isinya lebih detail dan halaman yang banyak (Lutz Koepnick, 2016)

Daya tahan membaca akan sangat berpengaruh dalam daya tangkap pembaca, pembaca yang terbiasa membaca berita dengan digital akan sulit memahmai secara utuh terhdap isu yang diangkat karena informasi yang terpotong-potong menjadi berita ringkas sehingga butuh mengklik berita lainnya untuk menyempurnakan informasi, sedangkan pembaca media cetak seperti Koran, Majalah dan buku akan menemukan informasi yang utuh karena berita yang disajikan lengkap, akurat dan cukup detail walaupun publikasinya tidak secepat daring.

Pembaca menjadi Masokis

Perlu dipahami Masokisme dalam pandangan Erich Fromm dalam bukunya The Art Of Loving tidak hanya dimakai sebagai orgainisme penyakit seksual yang senang disiksa namun lebih dari itu masokisme (pasif) bisa diderita oleh siapapun yang sudah jinak pada penindasan sehingga bisa bersatu dengan penindas (aktif).

Contohnya berita-berita nonsanse (tidak sesuai dengan kepentingan publik) yang hanya menjadikan publik sebagai perwakilan kalkulasi rating agar iklan bisa masuk tidak lebih menjadikan pembaca sebagai kerumunan pasif.

Dalam pendekatan Sosiologi ini yang disebut sebagai kekerasan simbolik karena hanya menjadi pembaca sebagai “rating” bukan sebagai “manusia” yang mesti dicerdaskan namun para pembaca yang tidak menyadari pentingnya hak mendapat informasi utuh dan media edukasi benih-benih masokisme rawan bisa saja masuk.

Kesimpulan

Jurnalisme Klik seperti yang sudah dijelaskan diatas memiliki resiko tidak hanya berdampak pada hilangnya akurasi kredibilatas berita jauh lebih buruknya dampak bagi pembaca yang terinternalisasi benih masokisme karena mereka menjadi pasif bahkan menikmati bentuk ketertindasan melalui kebiasaan mengklik berita nonsanse.

Jean Baudrillard seorang yang nihilis beranggapan bahwa akhirnya kita akan menerima semuanya karena memang inilah konsekuensi dari derasnya budaya media digital. namun kita yang masih muda jangan dulu berfikir nihilis kita perlu menjadi manusia filantropis yang mencintai kemanusiaan dan kritis dengan cara apa?

Tentu saja dengan membuat media alternatif, tidak sedikit saat ini media alternatif yang memiliki konten berita utuh, kritis dan tajam kepada para pembaca agar mereka akal mereka bisa diselamatkan melalui konsumsi berita sehat.

Fariz Muntashir Billah
Fariz Muntashir Billah
Seorang Penulis yang konsisten memegang prinsip "JOMBLO REVOLUSIONER" dan Weaboo garis keras sejati
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.