Selasa, Oktober 8, 2024

Jum’at Siang di Riverbanks

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Saat itu waktu menunjukkan pukul 11. 45. Setelah berpamitan dengan istri dan si kecil, Alesha, saya melangkahkan kaki menuju ruang ibadah di Riverbanks, tempat perbelanjaan semacam ITC di Jakarta. Dibandingkan dengan Jakarta, tempat perbelanjaan tersebut memang empat kali lebih kecil. Sementara jarak antara rumah kontrakan saya yang berada persis di belakang kampus Ateneo De Manila menuju Riverbanks sekitar 300-an meter.

Dengan berjalan kaki, kurang lebih 10 menit saya sampai di Riverbanks. Dengan sikap yang penuh tahu, saya langsung menuju ke arah kanan dan melewati beberapa ruko yang menjajakan asesoris kecantikan, salon, dan apotik. “Ups” ujar saya dalam hati ketika ingin memasuki sebuah ruko besar yang biasanya dijadikan tempat ibadah komunitas muslim di Riversbank. Tempat ibadah itu ternyata telah ditutup sejak 30 September 2010, karena sang pemilik belum membayar uang sewa. Niat ingin salat Jumat pun saya batalkan. Saya kemudian bergegas menuju rumah kontrakan dan berencana menunaikan salat Zuhur saja sebagai penggantinya.

Sesaat kemudian, dengan penuh rasa penasaran saya langsung membalikkan badan masuk lebih dalam ke arah pertokoan-pertokoan lainnya untuk menelusuri dimanakah kiranya komunitas Muslim di Riversbank ini salat Jumat. Patokan awal pencarian saya saat itu adalah toko-toko sepatu di area tengah, di mana dahulu banyak muslimah berjilbab menjajakan dagangannya. Hampir 15 menit saya mencari. Namun, tidak satupun saya temukan perempuan berjilbab yang berjualan sepatu. Tempat mereka berjualan sudah digantikan dengan ruang perbelanjaan yang lain, yang lebih berkelas dan berselera agak tinggi. Mesin dalam otak saya berputar seketika itu menerka di mana toko-toko sepatu itu berada. “Apakah mereka sudah pergi dari Riverbanks”, dalam hati saya bertanya. Jika iya berarti pupus harapan saya untuk salat Jumat dan bertemu mereka sebagai sesama Muslim.

Tiba-tiba saya teringat dengan satu tempat di mana saya dan isteri saya pernah melewatinya karena tidak bisa pergi ke SM (Save More) Mall melewati jempatan sungai, yaitu gedung sisi kiri Riverbanks yang persis berada di depan sungai. Saya bergegas menuju ke sana. Sesampainya di tempat itu, saya langsung celingak-celinguk mencari sosok perempuan yang berjilbab. Ya, akhirnya saya ketemu. Tanpa ragu, saya langsung bertanya, “Excuse me, Do you know a place where I can pray for Jumat?”. Dengan bahasa tubuh yang meminta saya untuk mengikutinya, perempuan setengah baya itu bertanya kepada saya, “Are you Moeslim?”. “Yes, I’m”, ujar saya pelan. Ia lalu menunjukkan ke arah luar gedung di mana ada banyak orang yang berjumlah sekitar 200-an orang dengan khusus mendengarkan ceramah Sang Khatib di pelataran gedung tersebut. Dengan mengucapkan salam dan terima kasih, saya langsung bergabung dengan barisan lainnya untuk mendengarkan siraman ruhani tersebut.

Jujur. Sebelumnya, selama 9 bulan tinggal di Filipina (2009-2010) saya baru sekali salat Jumat di ruang Faculty of Islamic Studies, University of The Philippines (UP), bersama Bondan Widyatmoko, teman dari Indonesia yang saat itu sekelas dalam menempuh Gelar Master International Peace Studies, Dual Campus Ateneo De Manila dan University for Peace, Costa Rica. Selebihnya, saya biasa menggantinya dengan salat Zuhur. Alasannya, selain relatif jauh untuk mencari ruang ibadah untuk melaksanakan salat Jumat, jadwal perkuliahan yang bertabrakan juga menjadi pertimbangan mengapa saya menggantinya. Tentu saja, sikap malas untuk memudahkan perkara juga menjadi alasan yang kuat saat itu. Dengan demikian, ini kali kedua saya salat Jumat di negeri yang mayoritas beragama Katholik.

Meskipun durasinya cuma dua kali, jika disuruh memilih manakah yang lebih nyaman untuk salat Jum’at di antara kedua tempat tersebut, saya lebih memilih Riverbanks dibandingkan dengan ruang Islamis Studies UP. Meskipun dari segi bahasa di UP menggunakan bahasa Inggris yang memudahkan saya untuk mengerti isi dari khutbah sang Khatib, sementara di Riverbanks, sang Khatib menggunakan bahasa Moro yang sangat sulit saya mengerti. Kuantitas orang yang beribadah, rasa persahabatan sesama Muslim, dan kedekatan jarak dengan tempat tnggal saya inilah yang menjadikan acuan mengapa saya cenderung memilih Riverbanks. Selain itu, keingintahuan menngenai komunitas muslim di Riverbanks merupakan alasan kuat mengapa saya mesti salat Jumat di sana.

Sependek amatan saya, kurang lebih ada 250-an orang yang salat Jumat di Riverbanks dan hampir sebagian besar mereka adalah pedagang, mulai dari penjual VCD Bajakan, Sepatu, Pakaian, telepon genggam, dan pernak-perniknya. Awalnya, lewat referensi bacaan yang saya dapatkan ketika kuliah dahulu, saya beranggapan bahwa bahwa mereka yang salat Jumat di sini adalah komunitas Muslim bangsa Moro yang berasal dari Mindanao. Mereka bermigrasi ke Manila untuk mencari penghidupan yang layak akibat tanah air mereka yang tak lagi bersahabat. Begitu juga dengan jerat kemiskinan yang seakan mengintai mereka sehari-hari. Pilihan keluar dari Mindanao merupakan hal yang sangat realistis.

Namun, anggapan saya ini terpatahkan seusai salat Jumat ketika berkenalan dengan Abdullah. Ia adalah laki-laki setengah baya dengan kopiah haji, berpakaian putih ala Muslim Pakistan dan berjenggot panjang dengan kelebatan rambut yang minimal. Ia adalah seorang muslim Filipina, yang sebelumnya beragama Khatolik. Ia menyebut dirinya kepada saya sebagai “A New Muslim”. Sementara kalau orang yang sudah lama beragama Islam dikategorikan sebagai “An Old Muslim”. Memang, percakapan saya dengannya tak lama. Karena ia harus segera lekas pergi untuk menyelesaikan satu urusan. Meskipun saya melihat dari raut wajahnya, ada banyak hal yang ingin diceritakan.

Ah, saya jadi sangat tertarik dengan komunitas Muslim di Riverbanks. Ada ragam dan mozaik informasi yang bisa saya dapatkan mengenai mereka, dari mulai mereka bermigrasi, alasan memilih tempat Riverbanks untuk berdagang, membuat “Mesjid” di Riverbanks, meskipun akhirnya harus ditutup sementara karena belum membayar uang kontrakan, dan strategi survival mereka untuk mempraktikan keislaman di satu sisi, dan mendapatkan nilai ekonomi, di sisi yang lain.

Semoga salat Jum’at yang akan datang saya bisa lebih kenal dengan komunitas Muslim tersebut. Selain untuk menjalin persaudaran sesama Muslim, juga mengetahui sisi lain di balik Muslim Bangsamoro dan Muslim Filipina yang relatif jarang diungkap.

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.