Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, dalam menjatuhkan vonis kepada eks-Menteri Sosial Juliari Batubara menyisakan banyak catatan masalah. Seperti yang dilansir oleh Kontan.CO.ID (24/08/2021), Permasalahan tersebut dapat dilihat dari hasil Putusan Majelis Hakim, yang hanya menjatuhkan Juliari Batubara dengan vonis 12 Tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp. 500 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Selain itu, Juliari Batubara divonis pidana tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp. 14.597.450.000 (Rp. 14,59 Miliar). Apabila denda tersebut tidak dibayar paling lambat selama 1 Bulan maka harta bendanya akan disita. Dengan catatan apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Selanjutnya vonis Pengadilan Tipikor terhadap Juliari Batubara menetapkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok. Sebeumnya, Juliari Batubara terbukti menerima uang Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid 19 wilayah Jabodetabek tahun 2020 sebesar Rp. 14,7 Miliar.
Majelis Hakim meringankan vonis Juliari Batubara dengan pertimbangan bahwa terdakwa cukup menderita setelah mendapatkan cacian hingga hinaan dari publik sebelum ada vonis hukuman dari pengadilan. Dalam poin tersebut, putusan hukum Pengadilan Tipikor menuai banyak kontrovrsi.
Kelemahan Filosofis dalam Putusan Hukum Juliari Batubara
Putusan Hukum Juliari Batubara oleh Majelis Hakim Tipikor Jakrta Pusat lemah secara filsafati. Bila dilihat dari aliran Filsafat Hukum Utulitarianisme Jeremy Bentham, sebuah putusan hukum harus mengkristalkan dua unsur utama. Pertama, hukuman harus dapat mencegah terhukum untuk tidak mengulangi kejahatan/pelanggarannya kembali di masa mendatang. Kedua, hukuman harus memberikan rasa puas bagi korban maupun orang lain. Ciri khas hukuman dalam aliran filsafat hukum utulitarianisme ialah bersifat preventif/pencegahan (Fois: 2012, 304).
Majelis Hakim terkesan tidak memiliki itikad baik dalam mencegah Juliari Batubara untuk tidak mengulangi perbuatannya (korupsi) di masa yang akan mendatang. Sebab dalam amar putusannya, Majelis Hakim masih memberikan kesempatan Juliari Batubara untuk menduduki kembali jabatan publik. Meskipun harus terintrupsi selama 4 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok. Dalam putusan tersebut sama sekali tidak memberikan kepastian hukum bahwa terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya (korupsi) di masa yang akan mendatang.
Disisi yang lain, Putusan Hukum kepada Juliari Batubara tidak memberikan rasa puas bagi korban. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah Civil Society yang menyesali hasil Putusan tersebut. Gelombang kritik dari masyarakat tersebut sama sekali tidak dapat mengetuk keberpihakan Majelis Hakim kepada keadilan. Dan justru hal tersebut digunakan oleh Majelis Hakim dalam meringankan terdakwa.
Selayang Pandang Perihal Filsafat Hukum Aliran Utulitarianisme
Filsafat Hukum Aliran Utulitarinisme, berakar pada prinsip dasar etika Utulitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila tindakan tersebut memiliki implikasi baik untuk sebanyak mungkin orang. Dalam konteks diskursus filsafat hukum, Utulitarinisme memandang hukuman (yang adil) harus memperhatikan akibat-akibat yang akan terjadi dari hukuman tersebut (Ohoitimur: 1997, 25). Atau dalam bahasa lain hukuman harus bersifat preventif.
Filsafat hukum aliran Utulitarianisme memberikan pemikiran alternatif perihal praktik hukuman yang hanya melihat sisi negatifnya saja terhadap subjek pelanggar hukum. Logika hukuman yang hendak dibangun oleh aliran Utulitarianisme adalah pandangan bahwa penerapan hukuman terhadap subjek pelanggar hukum bukan karena ia terbukti secar sah bersalah, namun untuk memberikan implikasi positif terhadap subjek pelanggar hukum, korban dan juga masyarakat secara luas (Ohoitimur: 1997, 24).
Jeremy Bentham memperjelas filsafat hukum aliran Utulitarinisme melalui The Greatest Happiness Theory. Dalam teori tersebut, Bentham memandang bahwa puncak pencarian tertinggi manusia, baik secara individu maupun komunal adalah kebahagiaan.
Oleh karena itu, kehadiran Filsafat Hukum aliran Utulitarianisme dipandang oleh Jeremy Bentham sebagai tools yang dapat mengantarkan kemanfaatan/kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Sebab, Utulitarinisme menurutnya didasarkan pada prinsip kemanfaatan (Principle of Utility). Hukuman harus memiliki relevansi positif-kontruktif bagi manusia. Jika tidak demikian, maka hukuman tidak memiliki makna dan tidak berguna (Fois: 2012, 303-304).
Karena sifatnya yang preventif, Putusan Hukum yang berdimensi Aliran Utulitarianisme akan memunculkan, setidaknya tiga karakteristik hukuman. Pertama, hukuman yang diterima oleh subjek pelanggar hukum barakibat pada hilangnya kemampuan untuk mengulangi kejahatan/pelanggarannya kembali. Hal tersebut bisa berbentuk penjara seumur hidup, potongan tangan, atau bahkan divonis mati.
Kedua, subjek pelanggar hukum di upgread/diperbarui dalam sisi mental dan psikisnya. Atau dengan bahasa lain hukuman bercorak restorative. Yang lebih menekankan pada penyedaran atau mempengaruhi subjek pelanggar hukum untuk membiasakan diri hidup normal dalam masyarakat, sesuai dengan etika dan norma. Proses transformasi tersebut dilakukan dan disesuaikan dengan proses hukum selama berada dalam penjara.
Ketiga, hukuman harus memiliki efek jera bagi subjek pelanggar hukum dan hukuman juga menjadi alat pengontrol sosial bagi anggota masyatakat secara luas, untuk tidak ikut melakukan kejahatan/pelanggaran. (Fois: 2012, 304-305). Hukuman bagi Subjek Pelanggar Hukum harus memuat ancaman kepada orang lain untuk tidak melakukan kejahatan (Bean: 1981, 46). Aliran Utulitarianisme melihat produk hukum (hukuman) harus bersemangatkan Humanisme-Progresif.
Kecenderungan Filsafat Hukum di Indonesia
Berangkat dari studi kasus Putusan Hukum Juliari Batubara, menunjukkan fenomena kematian filsafat hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, secara filosofis hukum memiliki tiga sisi yang padanya harus melekat. Yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sedangkan Putusan Hukum Juliari Batubara menciderai bahkan tidak menggunakan aspek hukum secara filsafati.
Kecenderngan tersebut tidak terlepaskan dari political will yang terbangun di Indonesia. Dimana yudukatif seringkali menjadi alat pertautan kepentingan sekelompok pihak, yang justru melukai kepentingan masyarakat umum. Studi kasus Putusan Hukum Juliari Batubara cukup menjadi bukti kuat perihal ceos-nya political will di Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa selain menjabat sebagai Menteri Sosial, Jualiari Batubara juga menjadi salah satu petinggi Partai Politik di Indonesia yang sedang berkuasa.
Masa depan dunia hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh kualitas filsafat hukumnya. Ketidak teraturan (dis-order) sosial merupakan konsekuensi logis dari kematian filsafat hukum indonesia. Hal tersebut merupakan tantangan terbesar dunia hukum di Indonesia. -a luta continua-