Sabtu, Maret 1, 2025

Judicial Activism MK dalam Perselisihan Hasil Pilkada 2024

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
- Advertisement -

Pada Senin (24/2), Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengeluarkan putusan terhadap perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang masuk ke tahap pembuktian sebanyak 40 perkara. Angka tersebut setara dengan 12,90% dari 310 perkara perselisihan hasil Pilkada yang diterima oleh MK. Mayoritas perkara berujung dengan putusan dismissal dengan alasan tidak dapat diterima yang mencapai 227 perkara atau setara dengan 73,22%.

Angka perkara yang berlanjut ke tahap pembuktian tersebut lebih rendah daripada perselisihan hasil Pilkada 2020 yang mana terdapat 34 perkara berlanjut ke tahap pembuktian dari 151 perkara perselisihan hasil Pilkada yang diajukan ke MK. Situasi rendahnya jumlah perkara yang berlanjut ke tahap pembuktian tersebut merupakan akibat ambang batas selisih suara perselisihan hasil Pilkada. Keberadaan ambang menjadi alasan adanya tahapan dismissal untuk menolak mengadili suatu kasus Perselisihan Hasil Pilkada jika dalam pemeriksaan pendahuluan tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan hakim.

Ambang Batas Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada dan Judicial Activism

Pasal 158 UU Pilkada mengatur secara terperinci mengenai ketentuan ambang batas permohonan perselisihan hasil Pilkada dengan mengatur ambang batas berdasarkan tingkatan daerah dan banyak penduduknya. Pengaturan tersebut diatur secara berjenjang dengan rumus klasifikasi ambang batas berupa semakin besar penduduk semakin kecil ambang batas selisih suara sah untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada.

Pengaturan ambang batas perselisihan hasil Pilkada dalam UU Pilkada tidak dapat dipisahkan dari situasi sosial – politik yang berkembang kala itu terhadap kedudukan MK untuk menangani perkara perselisihan hasil Pilkada dikarenakan adanya krisis kepercayaan masyarakat dikarenakan kasus korupsi Akil Mochtar selaku Ketua MK dalam perkara perselisihan hasil Pilkada (Ayuni, 2018). Hal ini mendorong dibentuknya ambang batas guna memfilter permohonan perselisihan hasil Pilkada untuk mencegah terulangnya kasus tersebut sekaligus mengurangi jumlah permohonan kasus perselisihan hasil pilkada (Lailam dan Anggia, 2020).

Keberadaan ambang batas tersebut berdampak pada orientasi perselisihan hasil pilkada berfokus pada selisih suara saja yang menunjukkan bahwa MK hanya memenuhi keadilan procedural Pilkada semata (Ayuni, 2018). Di sisi lain, kondisi tersebut menimbulkan kritik  MK telah melakukan distorsi demokrasi dan mengabaikan keadilan substansi dalam perselisihan hasil Pilkada dengan hanya berpatokan pada selisih suara semata tanpa memperhatikan dalil maupun kasus posisi yang menjadi landasan terjadinya perselisihan (Sudarma & Abidin, 2018).

Kondisi ini direspons oleh MK dengan melakukan Judicial activism sejak perselisihan hasil Pilkada 2020. Istilah tersebut merupakan suatu tindakan di mana lembaga peradilan melakukan aktivisme jika kita terjemahkan secara literal dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Aktivisme yang dimaksud tersebut dilakukan melalui adanya putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan melakukan ekstensifikasi terhadap regulasi atau yurisprudensi peradilan yang telah ada. Ekstensifikasi tersebut dilakukan sebagai terobosan yang diambil oleh Hakim untuk mewujudkan keadilan substansial dalam memutus perkara (Kmiec, 2004).

Fenomena Judicial Activism pada Perselisihan Hasil Pilkada 2024

Meskipun terdapat penurunan jumlah perkara yang dilanjutkan ke tahap pembuktian, perselisihan hasil Pilkada 2024 tetap menunjukkan adanya judicial activism sebagaimana yang terjadi pada perselisihan hasil Pilkada 2020. Hal tersebut dapat dilihat pada perkara – perkara yang berlanjut ke tahap pembuktian adalah perkara – perkara dengan permasalahan yang unik dan tidak hanya mendasarkan dalil permohonan pada permasalahan teknis pemungutan suara sebagaimana yang terjadi dalam perselisihan hasil Pilkada Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2020 yang lalu.

Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai perkara yang dilanjutkan ke tahap pembuktian seperti perkara yang terjadi dalam Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pilkada Kota Banjarbaru. Kedua Pilkada tersebut memang memiliki kasus posisi yang berbeda. Permasalahan perselisihan Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara menyangkut masa jabatan kandidat dikarenakan calon bupati petahana telah menduduki jabatan Bupati, termasuk saat menjadi Bupati untuk melanjutkan sisa masa jabatan periode sebelumnya. Kondisi tersebut rentan membuat calon bupati petahana terkena diskualifikasi dikarenakan terdapat Putusan MK Nomor 129/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa bupati yang tidak membedakan bentuk pengisian jabatan kepala daerah.

Perkara lebih problematik terdapat dalam perselisihan hasil Pilkada Kota Banjarbaru di mana suara tidak sah jumlah suaranya lebih besar daripada kandidat terpilih. Situasi ini muncul karena terdapat putusan Bawaslu yang membatalkan salah satu kepesertaan salah satu kandidat dikarenakan adanya pelanggaran administratif. Kondisi tersebut sayangnya tidak ditindaklanjuti dengan tepat oleh KPU Kota Banjarbaru dengan menyediakan kolom kotak kosong, melainkan menghitung suara yang diberikan kepada bukan kandidat tersisa sebagai suara tidak sah.

Penurunan angka permohonan yang lanjut ke tahap pembuktian tersebut menunjukkan bahwa judicial activism MK pada Pilkada 2024 tidak sekuat yang terjadi pada Pilkada 2020. Tren tersebut dapat dilihat dalam putusan dismissal MK turut memasukkan perkara yang secara matematis seharusnya dilanjutkan ke dalam proses pembuktian seperti yang terjadi di Pilkada Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Pilkada Kabupaten Buru Selatan.

- Advertisement -

Pada Pilkada Ogan Komering Ulu, selisih antara kandidat terpilih dengan kandidat di bawahnya hanya sejumlah 3.809 suara atau setara dengan 1,7% dari total 213.365 suara sah. Dengan besaran suara sah tersebut, selisih antara para kandidat mencapai yang memenuhi ambang batas sebesar 2,5%. Sayangnya, MK memutus perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke tahap pembuktian dengan alasan permohonan tidak jelas. Kondisi tersebut justru membingungkan dikarenakan ambang batas yang disyaratkan telah terpenuhi.

Situasi serupa terjadi di Kabupaten Buru Selatan di mana selisih antara kandidat terpilih dengan kandidat di bawahnya hanya sejumlah 377 suara atau setara dengan 0,09% dari total suara sah sebanyak 40.975 suara. Persentase tersebut tentu memenuhi ambang batas sebesar 2,5%. Namun, MK memutus perkara tersebut tidak dilanjutkan ke tahap pembuktian dikarenakan petitum pemohon saling bertentangan.

Kedua permohonan tersebut seharusnya dapat dilanjutkan dalam tahap pembuktian dikarenakan pembuktian mengenai petitum dan kejelasan gugatan perlu diperdalam lebih lanjut dalam proses pembuktian. Hal ini didorong dengan situasi di mana kedua perkara secara jelas memenuhi ambang batas permohonan perselisihan hasil kepala daerah sebagai syarat formil yang ditetapkan oleh undang–undang.

Oleh karena itu, keberadaan kedua putusan ini menjadi preseden penanganan perkara perselisihan hasil Pilkada di masa yang akan datang bahwa pemenuhan ambang batas tidak menjadi alasan mutlak suatu permohonan perselisihan hasil Pilkada dapat mencapai tahap pembuktian.

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.