Sabtu, April 20, 2024

Jubah Kehabiban yang Harus Dilepas Bahar bin Smith

Yahya Fathur Rozy
Yahya Fathur Rozy
Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir

Kabar duka sebagai luka kembali datang dari salah satu Habaib yang sedang trending di tanah air kita tercinta ini. Ialah Habib Bahar bin Smith, pria kelahiran Manado 33 tahun silam, resmi ditetapkan sebagai tersangka setelah melalui rangkaian pemeriksaan oleh Direktorat Badan Reserse Kriminal Polri (BARESKRIM) Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (6/12/2018) dengan durasi 11 jam terhitung sejak pukul 11.30 WIB. Atas kasus ujaran kebencian (hate speech) yang secara eksplisit dialamatkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jakarta, Kompas.com, 06/12/2018, 23.30 WIB).

Tak kepalang tanggung, sang “Habib Bule“ terjerat 5 pasal sekaligus yaitu; Pasal UU Nomor 1 Tahun 1946 KUHP No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 207 KUHP, Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b angka 1, serta Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2), atas laporan oelh 2 pihak yakni Jokowi Mania (Joman) dan Cyber Indonesia (detiknews, Jumat 30 November 2018, 06.27 WIB).

Di sini, saya tidak akan menyinggung lebih jauh mengenai ada tidaknya unsur/intervensi politik dalam penangkapan Habib Bahar yang kebetulan terjadi pada musim kampanye para paslon presiden yang sedang gencar-gencarnya dan juga tidak mengafirmasi pembelaan sedemikian rupa oleh kubu opposan petahana atas tindak tanduk Habib Bahar. Namun, akan saya singgung disini mengenai kelayakan beliau melontarkan ujaran tersebut dalam kapasitasnya sebagai Habib sekaligus Ulama.

Untuk lebih jelasnya, berikut ialah ujaran yang dilontarkan Habib Bahar yang ditujukan ke Jokowi:

“Penghianat bangsa, penghianat negara, penghianat rakyat kamu Jokowi“

“Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu, jangan-jangan haid  jokowi itu, kayaknya banci itu“ (detiknews, Jumat 30 November 2018, 06.27 WIB ).

Jika kita menilai Bahar bin Smith ditilik dari kaca mata ke-habib-an nya, jelas ujaran-ujaran tersebut sangatlah tidak pantas dan layak diucapkan oleh seorang yang mendaku memiliki keterkaitan nasab langsung kepada Rasulullah SAW. ujaran-ujaran yang dilontarkan jelas mengandung unsur penghinaan dan pelecehan terhadap fisik yang bersifat kodrati secara langsung.

Jika sang habib menganggap itu sebagai oto-kritik presiden, maka sesungguhnya kalimat-kalimat yang dilontarkan sangatlah jauh dari essensi kritik yang sebenarnya. Kritik memang berupa kecaman atau tanggapan terhadap suatu hal, namun harus bermuatan dan sarat akan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya (Kinerja Presiden/Pemerintahan), pendapat (Presiden) dan sebagainya, bukan melecehkan secara fisik (KBBI ). Jadi kritik harus ditujukan oleh hasil kinerjanya, bukan berupa penghinaan secara fisik.

Rasulullah SAW, telah memberikan tuntunan yang baik dalam etika memberi kritik. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas ibn Malik tersebut dikisahkan, seperti biasa Nabi Muhammad SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah perjalanan, Nabi bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mangawinkan pohon kurma. Melihat hal itu, nabi memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut.

Saat memberikan tanggapan, nabi tidak menggunakan kata-kata yang tidak menyebutkan kepastian. Nabi menyampaikan: “Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon itu juga akan tumbuh baik.”.

Maka masyarakat Madinah pun menaati titah Nabi dan meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun. Selang beberapa waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan.

Hingga akhirnya Nabi pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya. Dengan segala kerendahan hati, Nabi pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut.

“Antum a’lamu bi amri dunyakum” (kalian lebih mengetahui urusan duniamu) (Alvin, 2016).

Maka dari hadis diatas, setidaknya ada beberapa poin yang bisa kita jadikan pelajaran dan contoh agar kita bisa menyampaikan pendapat secara etis.

Pertama,berikanlah kritik dengan cara yang baik, saran dan tanggapan dengan cara yang baik. Sebaik apapun kritik atau saran yang akan disampaikan, jadi tidak berguna bila tidak disampaikan dengan baik. Kritik yang salah alamat dalam wujud penghinaan fisik hanya akan menyakiti orang yang diberi kritik.

Keduaberilah kritik dan berpenapatlah sesuai dengan kapasitas Anda. Jika suatu permasalahan yang Anda tanggapi bukanlah bidang yang Anda kuasai, maka diam adalah hal yang baik.

Maka fardhu ain hukumya seorang Habib, mengikuti sunnah rasul, bukan mengikuti hawa nafsu yang menjerumuskan kepada hal-hal yang kontra produktif.

Terlebih dalam konteks ke-Indonesia-an, yang mana gelar “ ke-habiban “ selalu diidentikkan dengan kultus “ke-ulama-an“ sehingga munculnya isu seperti “Bela Ulama”, “Ijtima’ Ulama”, “Fatwa Ulama “.

Sebagai contoh ialahi Habib Rizieq Shihab, Habib syeh Assegaf, Habib Luthfi bin Yahya dan lain sebagainya mereka ialah golongan Habaib-cum-Ulama. Memang, di Indonesia makna “ Agamawan” selalu disamakan dengan makna “ke-ulama-an”. Dalam hadist Nabi dinyatakan al-Ulama warasatul Anbiya (ulama itu penerus para Nabi). Pertanyaannya, mengapa ulama dinyatakan sebagai pewaris Nabi, bukan dikatakan sebagai pewaris Rasul?

Dengan meminjam pembacaan kontemporer Muhammad Shahrur penting untuk menjernihkan makna ulama. Maka meminjam gagasan Shahrur yang tertuang dalam karya besarnya yaitu Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qiraah Muashirah. Sharur membedakan antara Nubuwah (Kenabian) dan Risalah (Kerasulan). Karena itu ia menyatakan “Dan karena Rasulullah SAW adalah seorang rasul sekaligus Nabi, maka kitab—wahyu—yang diwahyukan kepadanya mencakup risalah dan nubuwwah-nya.”

Risalah adalah kumpulan pemberitahuan yang mewajibkan manusia terikat dengannya, meliputi: ibadah, hukum dan akhlak. Adapun nubuwwah yakni kumpulan penjelasan-penjelasan yang memuat pengetahuan alam, sejarah, politik dan bukti hakikat eksistensi objektifDengan kata lain nubuwwah memuat penjelasan atas hakikat kejadian obyektif dan membedakan haq dan bathil. Sedangkan risalah meliputi kaidah-kaidah tabi’at kemanusiaan dan membedakan halal-haram (Azaki, 2018 ).

Maka, sebagai seorang habib-cum-ulama seseorang harus meneladani dan mengikuti titah/sunnah Nabi sebagai agamawan sejati yang pandai menjaga etika sopan santun dalam mengkritik dan sebagai ilmuwan paripurna yang mengetahui problematika kehidupan, terkhusus dalam masalah politik supaya kritik yang dilontarkan kepadanya berbobot dan esensial. Semua kriteria tersebut tidak tercermin dalam diri Bahar bin Smith dan oleh karenanya, diharapkan untuk sudi melepas jubah kehabibannya.

Sumber gambar okezone

Yahya Fathur Rozy
Yahya Fathur Rozy
Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.