Jumat, April 19, 2024

Jual Beli Jabatan dan Imbasnya Pada Pelayanan Publik

irma
irma
Kepala Bidang Penanganan Laporan, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Lulusan S I Hukum UI, peserta training of trainer di Belanda yang diselenggarakan IDLO dan Universitas Vrije Amsterdam

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, itulah kalimat yang tepat diucapkan ketika seminggu yang lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Penyidik KPK di Surabaya terhadap tokoh politik dan beberapa pejabat pada Kementerian Agama.

OTT tersebut terkait dengan suap untuk mempengaruhi hasil seleksi jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama. Hampir bersamaan kita juga mendengar kabar tentang banjir bandang yang dialami oleh saudara-saudara kita di Jayapura. Selain bencana alam kita pun di uji dengan bencana integritas, pertanyaanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidakkah cukup kita bersedih dengan bencana alam yang menimpa negeri ini.

Banyak yang menyikapi OTT KPK tersebut merupakan sebuah berita gembira, terutama bagi golongan tertentu yang sedang sibuk-sibuknya menyusun agenda pemenangan dalam pemilu 2019. Tapi bagi sebagian orang, hal ini musibah, bukan terkait TKN atau BPN tetapi karena ini merupakan bencana integritas.

Tindakan KPK tersebut patut diapresiasi. Sebagai lembaga korupsi tentu OTT menjadi pembuktian betapa efektifnya lembaga anti rasuah ini dalam penindakkan. Namun di sisi lain ini merupakan bencana dan berita yang sangat menyedihkan yang terus kita terima berulang – ulang tanpa tahu kapan berhenti, jadi wajar jika kalimat istirja’ di atas kita ucapkan.

Jual beli jabatan sebenarnya bukan penyakit baru birokrasi. Terutama ketika sistem otonomi daerah diterapkan, kepala daerah memiliki kewenangan penuh terhadap pengangkatan jabatan. Pengangkatan dan mutasi pejabat tergantung pada like or dislike pimpinan berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan atau besaran uang yang dapat diberikan.

Hasilnya? Sebagaimana bencana alam, bencana integritaspun menjadikan manusia sebagai korban. Pengangkatan Jabatan atau promosi pegawai seyoyanya bersandar kepada integritas, profesionalitas, dan prestasi pegawai bukan dengan tolak ukur materi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kompetensi dan kebutuhan organisasi.

Akibatnya, banyak dijumpai penyalahgunaan wewenang, penyimpangan, pembiaran dan bentuk bentuk maladministrasi lainnya dalam mejalankan roda pemerintahan, termasuk dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Salah satu upaya pemerintah mewujudkan pelayanan publik prima adalah dengan membuat sistem rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN) secara transparan dan profesional. Harapanya akan lahir aparatur yang berkompeten, jujur, bersih dan loyal terhadap tugas serta fungsi yang diberikan.

Pemerintah telah membentuk Komisi Aparatur Sipil Negara pada tahun 2014 dengan tujuan untuk menciptakan pegawai ASN (PNS, PPPK, dan anggota TNI/Polri yang ditugaskan dalam jabatan ASN) yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Selanjutnya Komisi ASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Fungsi tersebut merupakan pembentukan Aparatur Sipil Negara yang profesional dan memiliki integritas.

Sedangkan Sistem merit mengubah manajemen ASN dengan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Namun dengan tingkah pola oknum yang justru dari kalangan petinggi dan mempunyai pengaruh lah yang merusak sistem yang telah dibuat dengan baik.

Seseorang yang meraih jabatan karena uang, maka ia akan mengerjakan segala sesuatunya dengan ukuran uang. Ia akan berpikir bagaimana mengembalikan uang suap dengan kewenangan yang ia miliki. Kepentingan rakyat sudah tidak terlihat lagi dipandangannya, yang ada hanya kepentingan diri sendiri.

Tentu ini sangat membahayakan bagi penyelenggaraan pelayanan publik. Asas – asas penyelenggaraan pelayanan publik yang tercantum dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 diantaranya yaitu kepentingan umum, kepastian hukum, keprofesionalan, keterbukaan dan akuntabilitas hanya menjadi falsafah pajangan. Semua pelayanan diukur dengan bisnis, seberapa menguntungkan pekerjaan yang dilakukan bagi diri penyelenggara pelayanan, semakin rajin ia mengerjakan.

Tapi jika sebaliknya, jangan harap memperoleh pelayanan yang cepat, mudah dan terukur. Padahal dengan pelayanan publik yang cepat, mudah, terukur dan terjangkau, kesejahteraan masyarakat bisa terwujud. Problem diskriminasi, merasa dipinggirkan dan apatis terhadap pemerintah pun dapat bisa diatasi.

Jual beli jabatan pengaruh buruknya bukan hanya sesaat,  bukan hanya terhadap lingkungan terdekatnya, tetapi jangka panjang dan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Kebiasaan “setoran” dari bawahan kepada atasan menjadi salah satu akibat praktek jual beli jabatan. Karena ia seperti piramida rantai makanan. Tingkat paling atas akan memakan tingkat di bawahnya, demikian seterusnya dan lagi – lagi masyaraktlah yang berada pada tingkat paling dasar yaitu menjadi korban.

Seperti dalam kasus jual beli jabatan pada Kementeria Agama, imbasnya ke kampus – kampus yang dinaungi Kementerian agama dengan dugaan maladministrasi pada pemilihan rektor, diantaranya UIN Jakarta. Mahasiswa merasakan bahwa Rektor kerap kali membuat kebijakan sepihak yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan merugikan mahasiswa.

Masyarakat sebagai pengguna layanan akhirnya hanya bisa mengeluh, berdemonstrasi dan menyalurkan kekecewaanya kepada lembaga negara pengawas pelayanan publik, seperti Ombudsman, Komnas HAM, Komisi ASN dan lain lain. Jika permasalahan pelayanan terletak pada moral hazard dari pimpinan penyelenggara pelayanan publik maka penanganan pengaduan masyarakat menjadi layaknya pemadam kebaran.

Dalam menyikapinya, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Perlu peran masyarakat dan para ASN untuk ikut membersihkan praktek haram ini. Salah satu caranya adalah dengan melapor kepada instansi terkait, menolak jika diberi peluang dan tegas menjauhi oknum – oknum yang tak pernah kehilangan cara untuk membujuk.

Integritas menjadi harga mati bagi orang – orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan amanah dalam jabatannya. Karena taruhannya bukan hanya bagi keselamatan dirinya di dunia maupun akhirat, namun juga bagi kondisi pelayanan publik yang bisa jadi semakin buruk, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin rendah, pertumbuhan ekonomi terhambat dan kesejahtraan masyarakat tidak terwujud.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bencana integritas dan bencana alam sama – sama menjadikan manusia menjadi korban dan meninggalkan kerusakan yang tidak mudah untuk dibangun ulang. Tentu harapan kita bersama, agar peristiwa OTT ini terutama dalam hal jual beli jabatan, menjadi pelajaran berharga dan peringatan bagi semua pihak, karena kalau tidak, alih alih menjadi OTT terakhir, justru OTT ini adalah episode awal dari 1000 episode lagi yang akan tayang, bahkan bisa lebih.  Jangan sampai.

 

irma
irma
Kepala Bidang Penanganan Laporan, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Lulusan S I Hukum UI, peserta training of trainer di Belanda yang diselenggarakan IDLO dan Universitas Vrije Amsterdam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.