Jokowi, sebagaimana para pendukungnya menyebut kemajuan indonesia di berbagai bidang terutama program Insfrastrukturnya ternyata tak selalu memuaskan banyak pihak. Di sisi lain, ada banyak hal yang perlu dikritisi. Jokowi bisa saja berbangga dengan beberapa kesuksesannya sebagai presiden, tapi terkait masalah hukum, cukuplah kita mengelus dada.
Persamaan rezim sekarang dari rezim terdahulunya memang selalu berkutat pada masalah yang sama: tidak ada kejelasan dalam kepastian hukum. Entah siapa yang bermain dengan hukum, yang pasti semua kemungkinan bisa disasarkan pada siapa saja. Karena pihak-pihak yang bermain curang dalam hukum juga selalu tuduh-menuduh, maling teriak maling.
Tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya Tuhan dan mereka yang terlibat yang tahu. Yang pasti, bukan cuma kepastian cinta dari doi saja yang butuh kepastian, kasus hukumpun harus menemukan kepastiannya.
Kasus penghinaan pancasila pada Habib Rizieq yang kini di dihentikan Polda Jabar memang membawa tanda tanya besar bagi sebagian orang. Begitupun dengan kasus-kasus lain yang menimpanya, mengambang-ngambang tidak ada kejelasan. HR masih bisa menghirup angin segar di luar negeri, tetap berkomunikasi dengan pendukungnya bahkan politisi bolak-balik mengunjunginya sedangkan kepolisian hanya jadi penonton tanpa tahu harus berbuat apa.
Walaupun kita tidak lantas menyebut ini sebagai grand design penguasa karena pasti ada pihak lain yang punya andil lebih besar dan bisa jadi tidak terkait dengan aktor yang selama ini dituduhkan sebagai pihak yang mengintervensi kasus hukum ini.
Dalam beberapa kasus lain, kita melihat berbagai permasalahan hukum yang terlihat sebagai bentuk ketegasan pemerintah, dalam hal ini kepolisian, tapi harus diakui bahwa masih banyak yang berakhir mengambang.
Yang paling menarik adalah jika kita memakai sudut pandang‘pro-jokowi’, maka kita akan melihat bahwa ternyata tidak semua yang dikatakan oposisi itu salah. Walaupun seorang politikus selalu memakai standar ganda dalam mengungkapnya pernyataan politisnya, tetapi kita bisa menyaring sedikit kebenaran.
Misalnya apa yang dulu dikatakan Gerindra dan wakil ketua DPR RI yang (paling) terhormat, bapak Fadli Zon yang sempat dipermalukan karena nunggak listrik ini ternyata tidak salah-salah amat. Bahwa memang ada permainan hukum yang patut dicurigai dalam setiap rentetan kasus-kasus hukum yang menimpa Indonesia selama 3 tahun terakhir ini.
Kasus Harry Tanoe mungkin bisa membuktikan hal itu. Sebagai orang awam, saya tidak mau berpikir macam-macam, apalagi ustad sekelas Abdul Somad pun pasti mengajak kita untuk selalu berhusnuzon alias berprasangka baik, terutama pada pihak-pihak yang selama ini kita dukung kebijakannya. Tapi mau dibilang apa lagi, nasi sudah menjadi bubur, tak banyak orang yang rela kehilangan kekuasaannya.
Sulit menerima jika tenggelamnya kasus Harry Tanoe sebagai tersangka SMS ancaman kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus sebagai sebuah kebetulan belaka. Pola-pola ajaib bak drama korea Hary Tanoe beserta kasus-kasusnya cukup mudah dikenali oleh orang awam seperti saya.
Dimulai dari Oppa Harry dilaporkan, jadi tersangka, kemudian pengajulan praperadialan, namun praperadilan ditolak dan sampai Jaksa Agung, Prasetyo menyatakan akan tetap melanjutkan kasus ini agar tidak menimbulkan anggapan bahwa ada politisasi. Setelah itu? Apa ada kelanjutannya? Hampir setahun kasusnya mengambang. Bahkan Prasetyo pun seakan menjilat lidahnya sendiri karena terbukti tidak mekelanjutan terhadap kasus HT sampai saat ini. Apalagi bertepatan dengan itu, HT secara dadakan mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi di Pilpres 2019.
Tidak seperti drama DOTS dan Goblin, kasus ini tidak menemukan klimaks yang indah. Silahkan pembaca searching di mbah google karena saya sudah berkali-kali, bolak-balik cari berita di beberapa media mainstream, dari media kepunyaan Pak Harry sampai media yang bukan miliknya dan sampai saat ini tidak menemukan kelanjutan kasus yang menimpa CEO MNC Group ini.
Kasus Hary Tanoe sebenarnya hanya sebesar upil. Masih banyak kasus lain yang lebih besar dan bisa diidentifikasi berdasarkan kasus hukum lama dan baru. Yang lama? tentu banyak. Ada kasus pembunuhan Marsinah, pembunuhan wartawan Udin, menghilangnya aktivis 98, pembunuhan Munir dan masih banyak lagi. Yang baru? juga banyak. Kasus Novel Baswedan saja entah kemana gerangan nasibnya.
Memang, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada sang penguasa, tapi cukuplah kita mengatakan bahwa presiden yang sekarang masih sama seperti presiden sebelumnya: belum ada yang mampu menyelesaikan kasus yang yang sudah menemukan titik karatan.
Sama seperti pernyataan saya diawal, bahwa kita tidak bisa menyalahkan pada satu pihak, apalagi dilemparkan sepenuhnya saja pada presiden. Dunia penguasa tidak selalu berada pada satu pihak tertinggi. Pasti ada pihak-pihak lain juga yang merupakan sang aktor dibalik layar, yang lebih tahu siapa yang bermain-main dengan hukum.
Mungkin sekarang mereka sedang menikmati kekuasaannya di dunia, berpesta atas penderitaan orang lain. Tapi tenang saja, kata ustadz, di akherat Tuhan pasti akan membalas semua perbuatan mereka. Terdengar menyejukan hati isi, bukan? Tapi apa kita rela orang-orang licik itu terus memainkan hukum seenak-enaknya di tanah air tercinta? Mau sampai kapan?