“Tidak ada tempat bagi kelompok intoleran di Indonesia”. Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara ini. Apalagi dnegan cara-cara kekerasan”, kata presiden Joko Widodo terkait pelbagai peristiwa intoleransi yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir (12/2/2018)
“Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan” (Paus Fransiskus, 27/11/2015)
Pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan para santri di Yogyakarta dan Paus di atas disampaikan ketika berkunjung ke Benua Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Di tangan kaum muda inilah sebuah bangsa akan maju dan berkembang, sekalipun para elitnya bergelimang kekuasaan dan harta kekayaan.
Kita tentu tidak ingin negara ini bergelimang darah karena pertumpahan warga sesama anak bangsa bahkan sodara setanah air. Kita tidak ingin yang terjadi di Timur Tengah, Afrika maupun di beberapa negara eropa seperti Perancis, Turki dan Irlandia melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengataskan namakan kesucian Tuhan buat mereka. Kita telah dibuat ngeri melihatnya. Kita tak sanggup melihat kekejaman yang dipraktekkan atas nama Tuhan.
Timur Tengah dan beberapa negara Eropa bergolak. Indonesia tidak boleh terjadi seperti itu. Salah satu kuncinya adalah sesama umat beragama menghindarkan sikap arogan, menindas, menelikung serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir, sesat serta harus pula dimusnakahkan. Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan pada kita, akan kafir atau beriman. Beriman atau kafir akan mendapatkan tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk sorga atau neraka. Itu hak Tuhan belaka.
Kaum Muda sebagai Penentu
Sebagai penggerak masa depan kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda merupakan masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam “kesesatan pikir” dan kesesatan tindakan atas nama agama/Tuhan. Kaum muda karena itu perlu mendapatkan pemahaman dan pendidikan inklusif yang memadai. Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam lingkaran setan intoleransi yang terus menggunung dan mengepung.
Kaum muda dengan begitu perlu diberi arahan yang matang tentang berbangsa dan bernegara. Kaum muda perlu mendapatkan pemahaman kondisi social ekonomi politik dan historis yang memadai sehingga memiliki gambar yang jelas tentang sebuah fenomena sebuah negara. Kaum muda tidak boleh dibiarkan memahaminya sendiri tentang bangsa yang sedang kacau dan karut marut. Hal ini akan menyesatkan dan mengarahkan dengan mudah pada tindakan anarkhis bahkan teroris.
Disinilah tugas kaum elit agama memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif sehingga kaum muda mampu memiliki pandangan dan asikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati keyakinan keagamaan yang berbeda dengan keyakinan yang dimilikinya.
Elit agama tidak bertugas menyiram bibit radikal serta intoleransi kepada kaum muda dengan doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan tidak lengkap sesuai konteks social historisnya. Kaum elit agama harus memberikan contoh yang nyata dalam berkata-kata (berdakwah) dengan santun, bijaksana dan bertindak dengan damai dan menentramkan. Tidak sembarangan berkata dan bertindak.
Intoleransi harus Dihindarkan
Bibit toleransi kaum muda seperti dikemukakan para psikolog social dan ilmuwan social sekurang-kurangnya disebabkan karena empath al utama; yakni pertama, soal kesiapan mental yang belum matang, sehingga anak anak muda gampang terpengaruh oleh hal-hal yang disampaikan dari orang yang dianggap lebih tua, lebih pintar, serta lebih “berkuasa” dalam hal keagamaan. Mental kaum muda pendeknya masih mencari figure siapa yang akan dijadikan “pedoman” dalam kata-kata dan hidup.
Kedua, ketimpangan politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses memadai padahal mereka menjadi tulang punggung politik seperti di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat kaum muda kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan mendapatkan siraman kebencian maka yang muncul adalah kebencian pada salah satu agama tertentu padahal yang berpolitik di Indonesia bukan hanya salah satu agama.
Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan. Disebabkan karena hidup susah yang diderita, pekerjaan sulit didapatkan dan pengangguran menunggu di depannya, ketika ada sekelompok atau seseorang menyiramkan bibit kebencian dan masuk sorga segera tanpa basa-basi mereka kaum muda mengikutinya. Kasus pengantin bom dan pemboman yang dilakukan di Indonesia lima tahun terakhir adalah anak muda bukan kaum sepuh (old citizenship) menjadi buktinya.
Oleh sebab itu, gap ekonomi tidak boleh terjadi apalagi pada saat rakyat kesusahan sementara para elit bergelimang kekayaan, termasuk karena hasil korupsi. Indonesia tidak boleh lagi terjadi gap ekonomi antara rakyat dan penguasa sekalipun penguasa terus berusaha membodohi rakyat dengan janji dan tipu muslihat.
Keempat, masalah pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa direproduksi oleh para pemberi “mandate terror” dan para “mandate intoleransi” bahwa agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik yakni mati sebagai martir atau mati disebuah ujung pedang, mati disebuah granat atau bom Molotov. Semuanya dianggap sebagai jihad yang sesungguhnya maka tak segan anak-anak muda yang masih kurang paham agamanya segera melaksanakan.
Hal itulah yang perlu mendapatkan perhatian oleh para pengelola negara dan pendakwah agama. Para pengelola negara dan pendakwah agama perlu merefisi kembali pemahamannya tentang doktrin jihad, doktrin iman, doktrin, takwa bahkan doktrin sorga dan neraka sehingga memberikan kerangka yang relative utuh pada kaum muda harapan bangsa kita. Agamawan harus mendorong sikap dan tindakan toleransi antar umat beragama yang sekarang tampak semakin hampa.
Sikap toleransi itu sendiri merupakan kesediaan untuk menerima adanya perbedaan teologi, perbedaan keyakinan, menghargai, menghormati yang berbeda sebagai sesuatu yang nyata adanya dan diyakini oleh mereka yang memang berbeda dengan kita. Dengan sikap toleransi inilah akan lahir sikap hidup rukun dalam perbedaan, tidak saling menghujat, membenci, mengkafirkan apalagi hendak membunuhnya karena berbeda dengan kita.
Itulah pesan yang sangat penting dari pemimpin sedunia umat Katolik seperti kita sampaikan diawal tulisan bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh warga manusia yang mengaku beragama. Beragama dengan demikian bukan untuk saling membenci, menghardik, atau menghakimi. Beragama adalah memanusiakan manusia serta menghargainya sebagai Ciptaan itulah Kodrat Ilahi.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang sangat beragam dalam hal kepercayaan dan keyakinan beragama tampak sekali perlu memperhatikan seruan suci Bapak Suci Paus Fransiskus sehingga negeri ini tidak berada dalam gelimang konflik kekerasan atas nama agama. Kedepan tidak boleh lagi Indonesia mendapatkan gelar sebagai negara dengan intoleransi tertinggi di muka bumi.
Jika kita sebagai umat beragama tetap hendak melakukan tindakan intoleransi dengan cara mengkafirkan yang berbeda, menghukum yang minoritas, membunuh yang dianggap “lain” serta bertindak biadab lainnya maka bukan tidak mungkin Tahun 2019 mendatang kita tetap akan mendapatkan gelar sebagai bangsa yang tingkat intoleransinya tertinggi di muka bumi.
Selamat tinggal tahun 2018 yang penuh kelabu intoleransi menuju tahun 2019 yang penuh kedamaian dan kemanusiaan. Kita semuanya harus menjadi santri sebab santri itu menjaga Indonesia dan membela negara dan bangsa bukan merusaknya. Seperti disampaikan Presiden Jokowi saat jelang hari santri di Surakarta 20 Oktober 2018.