Gambaran Jokowi yang identik melekat pada anak muda memang menjadi ciri khas gaya politiknya saat ini. Inilah keunggulan Jokowi dari segi kedekatan dengan anak muda. Tak dapat dipungkiri, Jokowi sukses mencitrakan dirinya sebagai sosok presiden milenial dengan identitas yang dibangunnya lewat gaya berbusana, yang lebih casual dengan jaket bomber dan sepatu sneaker.
PSI yang identik sebagai partai anak muda, menganggap Jokowi sebagai sosok yang sejalan dengan semangat PSI. Figur presiden yang memiliki keberpihakan kepada anak muda. Stigma Jokowi yang dekat dengan milenial-lah, yang merapatkan barisan PSI kepada sosok calon presiden petahana ini.
Ulang tahun PSI yang ke-4 pada 11 November 2018, yang diselenggarakan di ICE BSD Tangerang, dihadiri Presiden Joko Widodo. PSI menampilkan Jokowi menjadi versi dengan gaya mereka dan mengukuhkan bahwa PSI adalah Jokowi.
Dalam pidatonya, Ketua Umum PSI, Grace Natalie, mengatakan bahwa Jokowi mampu mendobrak gaya berpolitik lama dengan gaya berpolitik baru. Politik yang optimis, bukan politik yang menakut-nakuti rakyat.
PSI hadir membawa semangat dan harapan masyarakat Indonesia, dengan membawa narasi ‘Melawan Korupsi’, ‘anti-intoleransi’, ‘anti-diskriminasi’ ‘transparansi’ dan ‘solidaritas’. Gebrakan-gebrakan yang masif dihadirkan PSI sebagai loncatan jauh ke depan, bahwa Indonesia harus bergerak ke arah perubahan.
Jokowi dan kedekatan dengan kaum milenial memberikan ruang gerak bagi PSI untuk menanamkan pengaruhnya kepada kaum milenial. Kaum milenial tidak hanya dijadikan sebagai target pemilih tapi diberikan ruang gerak untuk berkarya . Jokowi dan PSI sadar akan potensi mereka sangat luar biasa. Mereka tidak suka dibohongi atau mudah percaya hoaks begitu saja. Pendekatan Jokowi kepada mereka hanya dilakukan secara alami. Jokowi menjadi apa adanya dirinya, yaitu lewat hobinya, musik favoritnya, dan juga gaya berpakaiannya. Apa yang disukai Jokowi, mudah untuk mereka contoh dan diikuti.
Muncul pertanyaan bagaimana PSI melihat Jokowi sebagai figur utama arah politiknya? dan apa yang PSI lakukan untuk menangkis lawan politiknya dan tantangan apa saja ke depannya?. PSI butuh sosok-sosok yang memiliki nama besar untuk mengangkat citra politiknya agar siap melangkah ke arena politik yang memiliki segudang hambatan yang harus dihadapi.
Jokowi dalam bingkai kaca mata PSI
PSI sadar betul bahwa mereka ini adalah partai baru. Belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan PDI, PPP, Golkar yang merupakan hasil dari fusi partai nasionalis, Islam, dan Sekber Golkar di era Orde Baru. Begitu juga partai-partai lain yang lahir pada era Orde Reformasi. Untuk itu, PSI harus menggunakan taktik berbeda untuk meraih simpati masyarakat Indonesia.
Apa yang dilakukan PSI adalah menjadi garda depan barisan pendukung Joko Widodo-Ma’aruf Amin. Bahkan belum lupa ingatan kita, dalam pembukaan Asian Games pada Agustus 2018, aksi Jokowi yang sedang mengendarai motor sport dan lincah dalam melakukan manuver, menuai kontroversi.
Jokowi dianggap melakukan kebohongan publik jika atraksinya itu tak lain hanyalah peran stuntmant. Akibat aksinya itu, kubu oposisi beramai-ramai mencibir laga Jokowi sebagai politik pencitraan Pilpres 2019. Politisi Gerindra, Fadli Zon, mengritik jika aksi Joni lebih heroik, ketimbang laga akrobatik Jokowi yang menggunakan stuntmant dalam pembukaan Asian Games.
Kicauan-kicauan tersebut merupakan bukti, Jokowi berhasil mencuri perhatian. Dengan lantang PSI bersuara bahwa apa yang dilakukan Jokowi adalah bukti dari kreativitas dan hiburan semata. PSI memang tidak main-main dalam memberikan arah dukungan partainya kepada Jokowi, meski sempat kecewa di awal akibat Mahfud MD tidak jadi dicalonkan sebagai Cawapres.
Kubu oposisi berusaha betul mencari celah, isu apa yang bisa digoreng untuk menurunkan elektabilitas Jokowi. Isu komunis kembali digoreng oleh Fadli Zon dengan membuat lagu plesetan Potong Bebek Angsa. Fadli Zon membantah apa yang dilakukannya sebagai bentuk kreativitas dan berdemokrasi. Politisi PSI, Rian Ernest, tidak tinggal diam, mantan staff hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini melaporkan Fadli Zon atas tuduhan mengganggu stabilitas politik karena berpotensi memecah belah bangsa.
Dalam perayaan Festival 11 PSI yang dilaksanakan pada 11 November silam, Jokowi melihat PSI adalah ‘unicorn dunia politik’. Unicorn sendiri adalah istilah pada perusahaan rintisan atau start up yang memiliki nilai investasi 1 miliar dolar AS. Jokowi meminjam istilah pada dunia start up ini, karena PSI sebagai partai muda mampu menciptakan inovasi dan lompatan-lompatan yang luar biasa. PSI mampu berinovasi dan membuat pembeda bahwa PSI mengadopsi gaya politik baru, bukan gaya lama. Gaya baru di sini adalah PSI berupaya untuk menyegarkan dunia politik dengan gagasan dan ide-ide baru yang revolusioner.
PSI tidak pernah absen tampil menunjukkan eksistensinya bahwa “kami kecil-kecil cabe rawit, jangan remehkan kami”. Begitulah kira-kira diksi yang ingin dilontarkan oleh kubu PSI yang sering mendapat hantaman keras dari barisan pendukung kubu oposisi. Mulai dari fitnah, cacian, dan hoaks menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan, dicerna lalu dibuang lewat saluran pencernaan. Ancaman terhadap apa yang dilakukan PSI tidak membuat partai yang mengusung konsep ke-bhinnekaan dalam solidaritas ini menjadi redup.
Tantangan yang dihadapi PSI
Generasi muda era sekarang ini berbeda dengan generasi muda di era tahun 1945-an, saat Soekarno menandatangai teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tantangan yang dihadapi juga akan berbeda. Jika generasi muda era kemerdekaan baru merasakan suasana kebebasan, yang di mana Indonesia mampu mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Namun, generasi muda era setelah reformasi, mengalami kebebasan yang kebablasan, akibat tidak berjalannya kehidupan demokrasi pada era Soeharto. Kebebasan di era rezim tersebut terpaksa dibungkam. Reformasi lahir untuk menciptakan perbaikan dan perubahan dalam segala tatanan sosial, ekonomi, hukum, dsb.
Kemajuan teknologi yang dirasakan tidak menutup kemungkinan munculnya dampak negatif atas penyebaran berita yang tidak benar atau hoax yang memanfaatkan kecanggihan teknologi media digital. Beredarnya berita kebohongan akan mudah diserap oleh orang awam, karena tidak dan hanya menelan mentah-mentah informasi yang ada, tanpa adanya proses verifikasi terlebih dulu.
Inilah tantangan besar bagi PSI, bahkan negara ini. Tantangan bukan lagi ancaman serbuan bangsa asing yang ramai diisukan saat ini, tapi hoaks mampu meluluhlantakkan identitas bangsa yang sudah susah payah dibangun oleh para founding fathers kita. Institusi dan lembaga politik yang hadir sekarang ini harus mampu melawan politik kebohongan yang merayap dan bersinergi menghancurkan pilar-pilar bangsa.
Partai politik yang dibutuhkan saat ini harus mampu memberikan politisi yang berkarakter, bukan politisi pintar, politisi genderuwo, atau politisi sontoloyo. Politisi yang berkarakter ialah berani mengatakan salah jika memang dihadapkan pada sesuatu yang tidak benar. PSI harus mampu menghadirkan kader-kader yang berkarakter, yang tidak lahir dengan begitu saja, butuh proses untuk menempa mereka semua. Manusia yang berkarakter tahu bagaimana caranya menghargai orang lain.