Rabu, April 24, 2024

Jokowi dan HAM

Zahra Amalia Syarifah
Zahra Amalia Syarifah
Akademisi dan peneliti sosio-politik | Social Sciences Department at the University of Chicago

Kemenangan Jokowi di tahun 2014 sempat memberikan angin segar untuk penegakan HAM, tapi di bawah kepresidenannya banyak kasus HAM yang mangkrak. Mulai dari kasus Novel Baswedan yang menggantung sampai penggunaan pasal penistaan agama untuk mempersekusi kaum minoritas. Hal ini jelas mengecewakan pendukung Jokowi.

Apalagi program Nawacitanya dengan gamblang menyatakan komitmen pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam empat tahun lebih kepresidenannya, pendukung Jokowi di pemilu 2014 harus mengikhlaskan harapan atas janji penegakan HAM yang digadaikan demi stabilitas pemerintahan.

Walaupun berhasil menang atas Prabowo Subianto dalam pemilu 2014, koalisi partai pendukung Jokowi hanya menduduki 37% kursi di DPR. Sejak menginjakkan kakinya di Istana Jokowi mendapat tekanan dari koalisi Merah-Putih Prabowo.

Namun pada tahun 2016 Jokowi berhasil melebarkan koalisi dan mendongkrak kursi partai pendukungnya di DPR hingga 69%. Demi dukungan partai politik lawannya Jokowi harus rela mengesampingkan idealismenya dan membangun koalisi ‘pelangi’ dengan PAN, PPP dan Golkar.

Selain idealismenya, isu HAM juga harus dikorbankan demi melebarkan basis pendukungnya di kelompok militer. Pada tahun 2016 Jokowi sempat berusaha melakukan rekonsiliasi korban pembantaian anti-komunis 1965.

Sayangnya, meskipun seksi di mata pemilihnya, isu HAM merupakan momok bagi beberapa orang dalam lingkaran Jokowi. Hasilnya, upaya penyelesaian kasus-kasus HAM terhenti setelah ditentang oleh kelompok militer. Munculnya hembusan isu tentang hubungan keluarga Jokowi dengan Partai Komunis Indonesia belakangan inipun makin menjadikan penyelesaian kasus 1965 angan belaka.

Selain mengabaikan upaya rekonsiliasi korban 1965, Jokowi juga membiarkan menguatnya cengkeraman militer pada pemerintahannya dan kehidupan masyarakat sipil dengan mendukung program Bela Negara.

Program inisiatif Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang merupakan seorang pensiunan militer tersebut ditujukan untuk menanamkan patriotisme pada kelompok yang dianggap berhaluan ekstrim. Dalam program ini paham komunisme, radikalisme, dan homoseksualitas menjadi sasaran pemerintah. Langkah ini makin melukai kebebasan sipil dan HAM di Indonesia.

Meskipun berhasil menggaet dukungan partai politik dan kelompok militer demi stabilitas pemerintahannya, tantangan baru muncul dari kelompok Islam. Saat Jokowi melangkah ke Istana pada tahun 2014, posisi gubernur Jakarta beralih ke Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama.

Namun isu penistaan agama yang menjerat Ahok di tahun 2016 turut menyeret Jokowi yang dianggap melindungi sang ‘Penista Agama’. Pada puncaknya, ratusan ribu massa Aksi Bela Islam berkumpul dan menuntut Ahok dipenjarakan. Dalam tekanan massa yang begitu besar Jokowi hanya dapat menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat mengintervensi proses hukum yang berjalan dan membiarkan Ahok dipenjarakan.

Aksi Bela Islam tersebut menjadi titik penting diterimanya Islam garis keras dalam diskursus politik nasional Indonesia. Dalam rangkaian aksi tersebut Habib Rizieq dari FPI menjadi orang yang paling vokal menuntut Ahok dipenjarakan. Rekam jejak kekerasan dan intoleransi FPI serta dukungan Fahri Hamzah PKS, Fadli Zon dari Gerindra dan Amien Rais dari PAN pada aksi-aksi gerakan Bela Islam menunjukkan bahwa tak hanya partai agamis, tapi partai beraliran nasionalis tak lagi ragu menggandeng kelompok Islam garis keras.

Partai-partai pendukung Aksi Bela Islam inilah yang menjunjung Prabowo sebagai lawan Jokowi dalam pemilu 2019. Dari kelompok ini jugalah teror atas komunisme dan LGBT serta diskriminasi atas kelompok non-Muslim terus dihembuskan.

Mulai dari tuduhan Jokowi simpatisan komunis, hingga ancaman bahwa LGBT dan aturan pemerintah yang menyudutkan Islam akan merajalela bila Jokowi kembali terpilih. Dalam mengatasi tuduhan tersebut, Jokowi telah jatuh dalam permainan kelompok ini. Mulai dari membiarkan menterinya menentang kelompok LGBT di kampus, razia buku kiri oleh anggota TNI, hingga mendiamkan penggunaan pasal penistaan agama untuk mempersekusi minoritas.

Memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presidennya di pemilu 2019 menjadi puncak dari upaya Jokowi dalam membendung oposisi. Posisi Ma’ruf sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dinilai sebagai langkah strategis Jokowi untuk memecah suara kelompok Islam. Namun dengan terpilihnya Ma’ruf agenda reformasi dan pembangunan yang tertuang di Nawacita makin terpucatkan nuansa agamis yang kini diusung Jokowi.

Langkah pemerintah merangkul MUI bukan pertama kali ini terjadi. Di tahun 2005 Presiden SBY mendukung MUI untuk mengambil posisi lebih dalam mengatur kehidupan beragama Indonesia. Pada tahun itu juga MUI menerbitkan fatwa yang mengharamkan paham yang dianggap tak sesuai dengan nilai Islam.

Dirangkulnya MUI oleh pemerintahan SBY tak hanya memberi ruang lebih bagi Islam untuk masuk ke ranah publik dan politik Indonesia, tapi juga membiarkan fatwa MUI tersebut membenarkan opresi kelompok minoritas. FPI adalah salah satu kelompok yang makin berani menekan kelompok yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Pada tahun 2008 penolakan FPI atas kelompok minoritas Ahmadiyah berujung pada pertumpahan darah di Monas dan penangkapan Habib Rizieq atas aksi tersebut.

Meskipun Ma’ruf tak secara langsung dapat disalahkan dalam hal ini, namun rekam jejaknya di MUI memberi tanda tanya akan masa depan kebebasan beragama dan bermasyarakat bila Jokowi kembali terpilih. Apalagi ini berarti pemerintah akan makin erat dengan MUI yang mampu mengklaim otoritas keagamaan Islam di Indonesia.

Seminggu sebelum pemilu presiden 2019, Jokowi bercuit di Twitter:

“Saya tidak datang dari lingkungan elite. Saya datang dari kampung. Hanya karena kehendak Allah jualah saya dapat menjadi Wali Kota, kemudian menjadi Gubernur, dan sekarang ini menjadi Presiden. Logika politik bisa saja tak masuk, tapi siapa bisa menentang kehendak Allah SWT?” – @jokowi

Narasi merakyat yang mengantarnya ke Istana di tahun 2014 kini berkawin dengan narasi keagamaan. Dalam cuitannya Jokowi berusaha mencengkeram secercah narasi kerakyatan yang masih menempel pada dirinya. Tapi jelas terasa warna berbeda di kampanye periode kedua Jokowi. Kemeja kotak-kotak Jokowi telah berganti baju koko putih, dan Jusuf Kalla berganti Ma’ruf Amin.

Hampir lima tahun menjabat sebagai presiden Jokowi harus rela menggadaikan janji-janji politiknya demi stabilitas pemerintahan serta dukungan partai politik dan elit militer di atas, hingga kelompok Islam di akar rumput. Pada akhirnya, meskipun pembangunan yang diagendakan dalam Nawacita Jokowi terus berjalan di tengah kritik oposisi, agenda lain seperti penegakan HAM harus dikorbankan.

Bila Jokowi terpilih lagi penegakan HAM mungkin akan tetap mandek, apalagi bila ia harus terus berusaha menstabilkan pemerintahannya seperti di periode pertama. Tapi tanpa prospek untuk terpilih lagi di pemilu berikutnya, mungkin Jokowi akan mampu bersikap lebih agresif dalam penegakan HAM.

Kompromi setengah-jadi di periode pertama Jokowi membuatnya terlihat lemah. Tapi selain ‘kelemahan’ Jokowi, apakah ‘ketegasan’ Prabowo menjadi opsi bijaksana dalam penegakan HAM, kebebasan sipil dan demokrasi di Indonesia?

Zahra Amalia Syarifah
Zahra Amalia Syarifah
Akademisi dan peneliti sosio-politik | Social Sciences Department at the University of Chicago
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.