Rabu, Februari 12, 2025

Joki Strava, Fenomena Haus Validasi di Era Digital

Amanda Zahra
Amanda Zahra
Mahasiswa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Di era digital saat ini, tren dan fenomena baru terus bermunculan, termasuk jasa yang tidak biasa seperti “Joki Strava”, seseorang dibayar untuk melakukan aktivitas olahraga menggunakan aplikasi Strava atas nama orang lain. Fenomena ini telah menjadi viral di media sosial, memunculkan berbagai pertanyaan tentang motivasi dan dampak dari praktik ini.

Strava, aplikasi yang diluncurkan pada tahun 2009, dirancang untuk melacak aktivitas olahraga seperti lari, bersepeda, dan hiking. Aplikasi ini memanfaatkan GPS untuk mencatat pergerakan pengguna dan menghasilkan data seperti jarak tempuh, jumlah langkah, rute yang dilalui, dan kecepatan bergerak. Popularitas Strava meningkat seiring dengan semakin banyaknya pengguna yang membagikan hasil olahraga mereka di media sosial.

Namun, tujuan awal Strava sebagai alat pelacak kesehatan dan kebugaran kini bergeser menjadi ajang sosial, di mana orang-orang berlomba-lomba menunjukkan seberapa aktif mereka. Di sinilah jasa joki Strava menemukan pasarnya.

Fenomena joki Strava mengungkap sisi gelap dari budaya haus validasi di era media sosial. Banyak orang yang merasa perlu memamerkan aktivitas olahraga mereka, meskipun itu bukan hasil usaha mereka sendiri. Mereka rela membayar seseorang untuk berolahraga atas nama mereka, demi mendapatkan pengakuan dan pujian dari teman-teman di media sosial.

Praktik ini menimbulkan pertanyaan etis dan moral. Apakah penting untuk mendapatkan validasi dengan cara yang tidak jujur? Mengapa pengakuan dari orang lain di media sosial begitu penting hingga orang merasa perlu menggunakan jasa joki Strava?

Dampak Negatif dari Fenomena Ini

Fenomena joki Strava bukan hanya soal validasi palsu, tetapi juga memiliki dampak negatif yang lebih luas. Pertama, ini menurunkan nilai kejujuran dan usaha pribadi. Ketika seseorang memamerkan hasil olahraga yang bukan usahanya sendiri, mereka merusak esensi dari pencapaian pribadi yang seharusnya diraih dengan kerja keras dan dedikasi.

Kedua, ini bisa mempengaruhi kesehatan mental. Terjebak dalam siklus mencari validasi eksternal dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Ketika pengakuan dari media sosial menjadi tujuan utama, individu mungkin kehilangan motivasi intrinsik untuk berolahraga demi kesehatan dan kesejahteraan mereka sendiri.

Olahraga seharusnya menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Strava dan aplikasi serupa dirancang untuk membantu orang melacak kemajuan mereka dan mencapai tujuan kesehatan. Menggunakan joki Strava justru mengaburkan tujuan tersebut.

Penting bagi kita untuk mengembalikan esensi olahraga sebagai aktivitas yang dilakukan demi kebaikan diri sendiri, bukan demi pengakuan dari orang lain. Validasi sejati datang dari pencapaian pribadi dan usaha yang tulus, bukan dari hasil yang dibeli.

Fenomena joki Strava adalah cerminan dari budaya haus validasi di era media sosial. Ini menimbulkan pertanyaan penting tentang kejujuran, etika, dan nilai sejati dari pencapaian pribadi. Sebagai masyarakat, kita perlu mendorong nilai-nilai yang lebih sehat dan autentik, di mana usaha dan pencapaian pribadi dihargai karena kerja keras dan dedikasi, bukan karena validasi palsu. Dengan demikian, kita bisa mengembalikan olahraga ke esensinya sebagai aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental kita.

Amanda Zahra
Amanda Zahra
Mahasiswa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.