Jumat, Maret 29, 2024

Jilbab dan Tipu Daya Tafsir Patriarkis

Elyulie Khamidah
Elyulie Khamidah
Mahasiswi Islamic studies

Kebanyakan diskursus soal isu perempuan dalam Islam bermula dengan topik tentang kerudung atau jilbab, yang kerap dianggap sebagai instrumen pengendalian. Jilbab dibela habis-habisan dan diserang dengan ganas baik oleh muslim maupun non muslim.

Selama berabad-abad, jilbab digunakan untuk menampilkan kaum Muslimah dalam gambaran stereotipikal. Akhir-akhir ini jagat netizen Indonesia mulai meributkan jilbab lagi sebagai respon atas salah satu statement tokoh Muslimah Indonesia Hj. Sinta Nuriyah Wahid Ibu Negara Indonesia keempat.

Kini, jilbab telah mendapatkan makna penting secara simbolis maupun politis. Namun, bagaimana sebenarnya al-Qur’an memaknai jilbab? Benarkah jilbab merupakan norma sebagai Muslimah perempuan yang disahkan kitab suci al-Qur’an?

Kali ini penulis akan mencoba menjabarkan dalam perspektif tafsir untuk menjawab argumen muslim awam mengapa jilbab sebenarnya tidak wajib? Karena argumentasi pembela garis keras jilbab selalu menggunakan ayat sebagai justifikasi argumen mutlak mereka, maka penulis di sini akan memberikan pandangan dalam perspektif tafsir al-Qur’an secara sederhana.

Dalil andalan ketika menjustifikasi keabhsahan jilbab sangat sering menggunakan surah al-Ahzab (59) Padahal untuk menjadikan ayat al-Qur’an sebagai dalil, tidak serta merta hanya dari terjemahan tekstual saja.

Jika memang cara seperti ini dibenarkan maka ketika melihat ayat potong tangan terhadap pencuri pun seharusnya juga dibaca mentah-mentah seperti menjustifikasi ayat jilbab. Nyatanya tidak demikian.

Budaya pemikiran di Indonesia yang masih sangat patriarkis membuat hal-hal dogmatif yang mencakup isu perempuan selalu kaku dan normatif. Ayat qishos yang demikian kerasnya hukuman seperti potong tangan bagi pencuri ketika ditafsirkan secara lebih fleksibel  tidak menyurut perhatian masyarakat patriarki Indonesia.

Namun beda jika penafsirannya berkaitan dengan isu perempuan, bahkan hanya tentang penutup kepala pun menciptakan ribuan panitia neraka dan surga. Panitia-panitia surga neraka ini pun juga tidak sedikit yang berasal dari kalangan pesantren.

Padahal seringlah kita biasa mendengar penggalan ayat yang sangat populer لا اكراه في الدين  (tidak ada paksaan dalam agama islam). konteks ayat ini adalah untuk memeluk agama islam. maka untuk berislam saja tidak ada paksaan, apalagi menutup kepala?

Beberapa kaum patriarkis menyangkal dengan alasan bahwa syariat qisos beda dengan syariat jilbab. Karena hukum memotong tangan sama saja menciderai Hak Asasi Manusia. seolah-olah kaum perempuan dipisahkan dari jenis manusia, bagi kaum patriarkis merenggut kebebasan membuka penutup kepala tidak berarti menciderai Hak Asasi Manusia.

Tafsir-tafsir tradisional al-Qur’an mungkin telah merendahkan kesetaraan perempuan. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa mengaitkan komitmen kita terhadap al-Qur’an dengan kesetaraan bagi siapa saja laki-laki maupun perempuan.

Surat al-Ahzab ayat 59 yang mana artian tekstual dalam versi Kemenag  adalah :

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun , Maha Penyayang’’.

Ayat di atas ketika hendak dipahami maka yang pertama kali adalah historisitas (asbabun nuzul) ayat tersebut baik mikro maupun makro. Dalam asbabun nuzul mikro dengan mengambil pendapat Sayyid Quthb dijelaskan bahwa ayat ini turun merespon perilaku cat calling masyarakat pria arab terhadap perempuan-perempuan merdeka yang hendak buang air besar di gurun pasir.

Perlu dipahami bahwa konteks masyarakat arab pada masa nabi masih belum ada toilet dalam. Maka,  perempuan muslim pada waktu itu ketika buang air besar dilakukan pada malam hari di padang pasir. Pada masa itu, tidak dipungkiri bahwa ada strata sosial yang berbeda antara muslim merdeka dan budak.

Laki-laki yang tidak bermoral seringkali menggoda dan melecehkan perempuan yang hendak buang air besar dan pembelaan atas perbuatan mereka seringkali menggunakan alasan bahwa yang mereka ganggu adalah budak-budak.

Suatu ketika istri Nabi pun menjadi korban pelecehan para lelaki ini sehingga turunlah ayat ini agar perempuan muslim merdeka membuat perbedaan cara berpakaian dengan budak perempuan muslim.

Sebenarnya ayat ini sama sekali tidak berbicara antara perempuan muslim ataun nonmuslim tapi perempuan merdeka dan budak. Tujuan atau maqasid ayat ini adalah agar perempuan merdeka terhindar dari pelecehan para lelaki durhaka.

Karena model pakaian arab jahiliyah masa itu adalah kain di atas kepala yang menjulur ke belakang tanpa menutup bagian depan sehingga ketika berjongkok akan terlihat belahan dada yang tentu saja masih belum ada istilah pakaian dalam yang menutup payudara.

Baik perempuan merdeka atau pun budak tidak berbeda dalam hal pakaian sebelum ayat ini turun. Maka ketika ayat ini turun berpesan agar dada ditutup dengan kerudung yang mana dalam aplikasinya tidak harus kain kerudung asalkan tertutup.

Dalam kaidah ilmu ushul fiqh menyatakan bahwa ‘ketetapan hukum  selalu bersamaan dengan illat dalam berlakunya hukum itu atau ketidakberlakuannya’, maka illat hukum yang disebut pada ayat di atas adalah  bertujuan untuk membedakan pakaian perempuan merdeka dan budak agar perempuan muslim merdeka tidak dilecehkan. Sedangkan jaman sekarang sudah tidak ada istilah perempuan muslim merdeka atau pun budak.

Selain itu, kasus-kasus pada masa ini yang menjadi objek pelecehan verbal maupun seksual bukan hanya perempuan namun juga laki-laki. Sehingga menjadikan ayat ini sebagai suatu hukum mutlak wajib berjilbab dengan alasan agar menjaga tidak dilecehkan agaknya sangat kurang relevan. Karena jika hanya mengatur korban maka pelaku tidak akan pernah merasa salah dan bertobat.

Focus utama agar pelecehan tidak terus terjadi bukan hanya mengatur korban pelecahan berpakaian namun juga dengan bagaimana agama memberikan sanksi keras dan Pendidikan karakter sejak dini  bahwa perilaku pelecehan adalah bentuk merendahkan ciptaan yang Maha Kuasa.

Mengkoar-koarkan wajib jilbab malah terkesan melindungi pelaku. Sehingga mereka tetap terus melakukan pelecehan karena mendapatkan justifikasi agama bahwa yang digoda tidak berjilbab.

Nah, karena  tidak adanya illat hukum yang mengharuskan jilbab begitu krusial wajib digunakan agar tidak dilecehkan, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib berjilbab secara Syariah agama. Hal demikian ini penulis juga mengambil dari pendapat mantan mufti Mesir Muhammad Sa’id Al-Asymawi.

Dan jika dikaitkan pada konteks sekarang berarti ayat ini mempunyai arti bahwa yang terpenting adalah memakai pakaian terhormat dalam konteks pakaian perempuan. Sesuai dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat yang tidak menjadikan mereka diganggu dengan pakaiannya itu.

menurut saya mewajibkan perempuan berjilbab agar tidak dilecehkan adalah penalaran keliru yang terkesan misogyny (merendahkan perempuan) ketimbang prinsip moral yang menegakkan semangat perempuan shaleh. Masyarakat patriarkis telah termakan tafsir bias gender sejak abad 7 M. Sedangkan tafsir feminis baru muncul sekitar abad 18. tentunya tidak mudah.

Elyulie Khamidah
Elyulie Khamidah
Mahasiswi Islamic studies
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.