Sabtu, April 27, 2024

Jika Uni Eropa Berperang dengan Rusia

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah.

Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock mengeluarkan suatu pernyataan yang mengejutkan pada saat pidatonya di Majelis Parlemen Eropa, bahwa Uni Eropa sedang berperang dengan Rusia. Pernyataan yang secara tidak langsung merupakan indikasi peperangan langsung dengan Rusia, yang membahayakan dan akan semakin membawa konflik geopolitik di Eropa Timur meluas ke Eropa Barat, dan perang dunia pun terjadi.

Pernyataan gegabah politisi Partai Hijau tersebut sejatinya adalah sebuah bentuk generalisasi dan pembentukan orkestrasi kebencian di internal Uni Eropa terhadap Rusia.

Kecaman datang dari berbagai pihak. Melalui akun twitternya, Sahra Wagenkneht politisi Partai Kiri Die Linke sekaligus anggota Bundestag, mengkritik pernyataan Menteri Luar Negeri Baerbock dengan mengatakan bahwa ucapannya tidak cocok dengan pekerjaan yang diembannya.  Alice Weidel anggota Bundestag sayap kanan dari Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) juga melontarkan kritikannya.

Bahkan negara anggota Uni Eropa seperti Prancis melalui juru bicara kementerian luar negerinya, Anne-Claire Legendre, membantah pernyataan menlu Jerman tersebut dengan menegaskan bahwa Uni Eropa tidak sedang berperang dengan Rusia dan pengiriman senjata bukan berarti perang terhadap Rusia. Dalam tulisan ini saya akan melakukan analisis terhadap bagaimana pengaruh Annalena Baerbock dalam kabinet koalisi Olaf Scholz dan asumsi politis jika terjadi perang antara Uni Eropa dan Rusia.

Pengaruh Politik Annalena Baerbock Dalam Kabinet Scholz

Pasca berakhirnya pemerintahan Kanselir Angela Merkel dari partai Demokrat Kristen (CDU), pemilu tahun 2021 di Jerman dimenangkan oleh Partai Demokrasi Sosialis (SPD). Olaf Scholz menjadi tokoh Partai Demokrasi Sosialis yang paling berpeluang menjadi calon kanselir Jerman menggantikan Merkel. Namun, untuk membentuk suatu kabinet perlu dilakukan koalisi dengan partai lain di Parlemen.

Kekuatan yang dilirik oleh SPD pada saat itu adalah Partai Hijau dan Partai Freie Demokraten (FDP), yang secara perolehan suara menempati posisi ketiga dan keempat, menyusul SPD di posisi pertama dan Demokrat Kristen di posisi kedua. Untuk memuluskan Olaf Scholz menjadi kanselir, maka membentuk pemerintahan koalisi dengan kedua partai tersebut adalah suatu keharusan bagi SPD. Maka terbentuklah kabinet koalisi antara Partai Demokrasi Sosialis (SPD), Partai Hijau dan Partai Freie Demokraten (FDP).

Sebagai wakil pemimpin Partai Hijau, Annalena Baerbock mendapatkan jabatan strategis dalam kabinet koalisi Scholz yakni menjadi Menteri luar negeri. Sebagai Menteri luar negeri wanita pertama, Baerbock tentu saja diharapkan menjadi semacam tonggak diplomasi dan hubungan luar negeri Jerman ditengah berbagi problematika internasional yang sedang melanda.

Secara politik, Annalena Baerbock menjadi pendukung Ukraina yang paling teguh. Tidak heran apabila dalam kabinet koalisi Scholz, Baerbock menjadi orang yang mendukung untuk terus dikirimkannya bantuan militer ke Ukraina. Dalam kabinet koalisi, Partai Hijau yang direpresentasikan oleh Baerbock berusaha menekan Kanselir Olaf Scholz untuk mengirimkan bantuan militer berupa pengiriman tank Leopard 2 ke Ukraina. Sehingga dalam pertemuan kabinet 23 Januari lalu, Kanselir Olaf Scholz memutuskan mengirimkan 14 tank Leopard ke Ukraina.

Namun keputusan Olaf tersebut tidak serta merta disetujui oleh seluruh pihak, bahkan Menteri pertahanan Boris Pistorius menjadi salah satu orang yang tidak menyetujui keputusan tersebut. Sebagai orang yang ada dalam kabinet koalisi, Pistorius menunjukan tentangannya terhadap kebijakan Kanselir dengan mengatakan bahwa Ia heran mengapa ada pihak yang merayakan pengiriman tank tersebut yang justru akan semakin memperpanjang perang.

Saya berpendapat, bahwa realita yang terjadi di internal kabinet koalisi Scholz menunjukan beberapa hal.

Pertama, pengaruh politik Annalena Baerbock dan Partai Hijau cukup besar sehingga berhasil menekan Kanselir untuk menyetujui sarannya atas pengiriman tank ke Ukraina.

Kedua, posisi dilematis Olaf Scholz, dimana apabila ia tidak menyetujui saran Partai Hijau ada kemungkinan pemerintahan koalisi akan bubar dan terpecah, dan jika menyetujuinya maka akan membawa perang menjadi lebih panjang dan secara tidak langsung membawa Jerman lebih jauh lagi memasuki medan konflik.

Pada akhirnya Scholz memilih opsi kedua ketimbang memilih pilihan pertama yang akan berimplikasi pada Partai Hijau yang menarik diri dari kabinet koalisi. Dapat disimpulkan bahwa Annalena Baerbock memiliki pengaruh yang signifikan dalam kabinet koalisi Scholz.

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.