Baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan penangkapan teroris oleh Densus 88. Sebab Densus menangkap seorang yang disebut sebagai Amir kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Padahal, belakangan, Densus banyak menangkap anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok yang tahun lalu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditetapkan sebagai organisasi terlarang.
Penangkapan Amir JI berinisial PW alias Abang di Bekasi Sabtu 29 Juni 2019, memunculkan pertanyaan lama, “Apakah JI masih ada?”
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga tanki pemikir berbasis di Jakarta berjudul The Re-Emergence of Jemaah Islamiyah yang dirilis April 2017 menjawab pertanyaan itu. Meski tak menyebut secara vulgar adanya kelompok JI, IPAC mencatat PW sebagai Amir baru JI.
PW menurut laporan itu didaulat sebagai amir pada rapat yang dilaksanakan di Surabaya pada 2008. Kelompok PW ini kemudian dikenal dengan sebutan “Neo JI”. PW tak sendiri menjalankan roda organisasi, dia ditemani oleh Khairul Anam alias Bravo sebagai komandan militer JI.
Duet keduanya kemudian disebut berhasil membangun kembali kelompok JI yang pada 2007 hancur akibat lebih dari 40 anggotanya ditangkap aparat. Peristiwa itu terjadi saat JI bentrok dengan polisi di Poso, Sulawesi Tengah pada tahun yang sama.
Tapi mantan senior JI Abu Rusydan alias Hamzah menampik jika JI masih eksis. Pria yang pernah mengenyam pelatihan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ini dalam wawancara dengan Gatra pada 2009 mengatakan jika setelah 1999 JI secara struktural tak terwujud.
Alasanya, Abu Rusydan bilang karena tak pernah ada pengangkatan Amir setelah Ustaz Abdullah Sungkar. Sebab tak ada lagi pengangkatan amir yang sesuai dengan Syariat Islam dan ketentuan Pedoman Umum Perjuangan JI (PUPJI). PUPJI juga tak mengatur adanya “Amir Darurat” atau “Pelaksana Tugas Harian Amir”.
Terkait kabar Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang disebut-sebut sebagai Amir JI pasca wafatnya Ustaz Sungkar, Abu Rusydan mengaku jika memang ada beberapa pihak yang mencoba mengangkat Ustaz Ba’asyir sebagai amir. Tapi keputusan itu, kata Rusydan bukan hasil kesepakatan bulat dari seluruh unsur yang ada di JI.
Lalu bagaimana dengan pengangkatan PW sebagai Amir JI di Surabaya? Apakah sesuai dengan PUPJI? Dan disepakati seluruh anasir JI?
Tentu hanya anggota JI yang bisa menjawab pertanyaan itu. Sementara itu, mantan anggota JI lainnya, Nasir Abbas pada diskusi di Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) tahun lalu mengatakan jika JI masih ada. Hanya saja mereka tak lagi menggunakan nama JI, sebab nama itu telah tercemar (sudah diketahui). Kini mereka menjadi tanzim siri atau organisasi bawah tanah. Tanpa nama.
Hingga sekarang, Nasir bilang mereka terus bergerak. Berbeda dengan JI sebelumnya, kali ini mereka lebih fokus di bidang dakwah. Di bidang dakwah ini termasuk pengajian umum, dan membangun pusat-pusat pendidikan.
Ada dua tujuan dakwah mereka. Pertama mensosialisasikan agar masyarakat senang dengan Islam. Hal ini tentu saja kewajiban semua muslim untuk melakukan itu. Kedua, mensosialisasikan betapa pentingnya negara Islam. Pada poin kedua ini, Nasir bilang JI terbantu dengan kelompok lain yang memiliki visi yang sama.
Proses dakwah sendiri tak hanya sampai di situ. Tujuan besar dakwah mereka adalah perekrutan anggota. Ada proses ketat yang mesti dilewati sebelum menjadi anggota. Pertama adalah tabligh, lalu tamrin, tamyiz, selanjutnya baru masuk ke baiat.
Dakwah mereka, Nasir bilang tak hanya dilakukan kepada bukan anggota tapi juga bagi anggotanya. Ada pembinaan personal dan pembinaan teritori. Pembinaan personal untuk terus menjaga motifasi para anggota. Sementara pembinaan teritori, mereka akan menggunakan segala fasilitas yang ada dan masuk ke dalam semua ranah itu dan mendapat dukungan dari masyarakat.
Meski memfokuskan ke dakwah bukan berarti mereka mengabaikan pengembangan sayap militer. Bagi mereka yang sudah berbaiat selanjutnya akan diseleksi apakah akan berada di sayap dakwah atau militer. Sebab di JI kedua bidang itu harus berjalan beriringan dan bersamaan. Kelompok lain selain JI belum mampu mencapai konsep ini.
Jika masuk ke sayap militer maka akan ada diklat dan tazmid. Diklat dilakukan di dalam negeri dengan memberikan konsep-konsep pelatihan militer. Sementara tazmid sudah menjadikan seseorang sebagai tentara. Menjadi perwira atau eksekutor. Nah yang ini, Nasir bilang perlu ke berlatih ke luar negeri.
Jika JI hanya fokus ke dakwah, lalu kapan militer atau kekuatan bersenjatanya akan digunakan?
Nasir menjelaskan JI akan melakukan proses dakwah lebih dulu di suatu wilayah kecil yang mereka pilih hingga mendapat banyak dukungan masyarakat untuk membentuk negara Islam. Selanjutnya mereka akan mendeklarasikan wilayah itu sebagai negara Islam dan memisahkan diri dari Indonesia.
Setelah itu jika Pemerintah Indonesia menggunakan kekuatan militer untuk merebut kembali daerah itu, maka itu lah saatnya kekuatan militer akan digunakan untuk mempertahankan wilayah yang mereka kuasasi.
Ini, Nasir bilang seperti yang dilakukan NII Kartosuwiryo yang memilih wilayah Garut dan bukan memilih seluruh wilayah di Indonesia.
Sayangnya, Abu Rusydan pesimis jika JI akan kembali efektif seperti masa masih dipimpin Ustaz Sungkar. Dia bilang ada tiga hal utama yang bisa membuat JI kembali eksis. Pertama adanya keterkaitan pemikiran dasar. Kedua kaitan sejarah. Ketiga kaitan struktural institusi yang efektif.
Syarat terakhir ini yang tak lagi dimiliki JI saat ini, kata Abu Rusydan. Yang tersisa kini hanya anasir JI yang memiliki kaitan historis dan pemikiran dasar saja.
Namun terlepas ada atau tidaknya JI, Indonesia tetap harus waspada terhadap segala upaya disintegrasi dan ancaman teror. Baik yang mungkin akan dilakukan oleh JI ataupun bukan JI.Tulisan lain :
Kala Anggota ISIS Minta PulangDeportan ISIS Paling BerbahayaMenjawab Radikalisme di Tubuh KPK